03 March 2016

Benarkah Dunia Telah 92 Tahun Menanti Khilafah?

Oleh Fahmi Ahmar 03/03/2017

Alhamdulillah, tulisan saya “80 Tahun Dunia Menanti Khilafah” (Republika 10 Maret 2004) telah mendapat banyak tanggapan. Selain yang langsung via email dan sms, Irfan Junaidi telah menulis tanggapan berjudul “Jalan Menuju Khilafah” yang dimuat di Republika 13 Maret 2004, sekalipun ada salah tulis nama saya di situ.

Beliau antara lain merasa bahwa istilah “negara khilafah” cukup mengganjal. Hal ini karena: (1) konsep khilafah adalah konsep ilahiyah, sedangkan negara selalu berjalan atas landasan akal manusia; (2) konsep khilafah tak pernah dibatasi secara geografis. Di akhir tanggapannya, Irfan menulis berbagai upaya menghadirkan kembali khilafah yang telah dilakukan. Salah satunya adalah Wali al-Fatah, tokoh Hizbullah yang telah membentuk “Jamaatul Muslimin” di Indonesia – yang sekalipun tak dikenal dan disambut dingin – namun oleh pengikutnya telah dibaiat sebagai khalifah.

Apa yang disampaikan Irfan adalah salah satu pendapat yang intinya barangkali pada skeptisme “Benarkah dunia telah 80 tahun menanti khilafah?”.

Pengikut Wali al-Fatah, juga pengikut Ahmadiyah, berpendapat, bahwa sekarang ini khilafah ada (jadi tak perlu dinanti lagi), dan khalifahnya adalah pemimpin spiritual mereka. Mereka menganjurkan semua orang berbaiat pada khalifah mereka itu. Bahkan untuk itu telah tersedia sebuah nomor telepon hotline untuk baiat.

Sementara itu sebagian kaum Arab nasionalis tak setuju bahwa khilafah runtuh 1924. Menurut mereka, khilafah telah tiada sejak Bagdad dihancurkan Tartar tahun 1258. Alasannya, pasca dinasti Abbasiyah, khalifah tidak lagi dari Quraisy, namun telah beralih ke Turki dari dinasti Utsmani. Sedangkan ada sebuah hadits yang berbunyi:

“Sesungguhnya urusan khilafah itu ada pada Quraisy”.

Sebagian ummat Islam lain yang mendambakan negara sempurna juga tidak setuju. Menurut mereka, khilafah hanya bertahan sampai dengan terbunuhnya Khulafatur Rasyidin ke empat, Ali bin Abi Thalib. Setelah itu adalah kerajaan-kerajaan monarki dengan penguasa absolut turun-termurun yang diwarnai korupsi dan kezaliman.

Sebagian kaum Syi’ah malah berpendapat, bahwa pasca Rasulullah, kaum muslimin telah meninggalkan ajarannya. Alasannya, para shahabat saat itu tak melaksanakan wasiat Nabi untuk menjadikan ‘Ali khalifah penggantinya. Jadi negara Islam praktis hanya ada di masa Rasulullah.

Sedang kaum sekuler akan mengatakan bahwa Nabi tidak pernah menjadi kepala negara, juga tidak pernah mendirikan negara, apalagi negara Islam. Jadi memori 80 tahun runtuhnya Khilafah itu tak berarti apa-apa, karena untuk apa memperingati runtuhnya sesuatu yang tidak pernah berdiri? Kalaupun khilafah itu pernah ada, itu tak lain hanyalah persekutuan spiritual yang tidak pernah dibatasi geografis, mirip pendapat Irfan.

Sedang kaum orientalis mengakui bahwa Nabi memang kepala negara, namun negara itu bukan negara Islam, melainkan negara sekuler, hanya kebetulan waktu itu yang berkuasa muslim, sehingga bisa mewarnai sistem negara itu dengan Islam. Alasannya, dalam piagam Madinah tercantum bahwa kaum Yahudi boleh menggunakan aturan-aturan mereka sendiri.

Demikianlah sejumlah pendapat di antara ummat, yang intinya skeptis pada pendapat bahwa khilafah berakhir 80 tahun yang lalu. Karena itu mereka juga skeptis untuk berkontribusi dalam proses penegakannya kembali.

Realita Empiris Negara Rasulullah

Apa sebenarnya entitas yang dipimpin oleh Rasul saat itu? Apakah RW, kota, atau negara? Atau Rasul hanya sekedar pemimpin informal / spiritual di dalam sebuah negara?

Fakta, pada masanya, Rasulullah telah melakukan berbagai aktivitas, baik spiritual seperti memimpin sholat maupun politis seperti mengirim dan menerima duta negara asing, mengirim pasukan, melakukan perjanjian, mengangkat hakim, gubernur dan panglima, menetapkan kebijakan publik, dan sebagainya. Apa ini bukan aktivitas seorang kepala negara, sekalipun negara itu adalah negara kota?

Fakta, di dunia dulu maupun kini ada negara-negara berdimensi kecil. Kita mengenal negara kota seperti Monaco, Luxemburg, atau Republik San Marino. Beberapa negara besar di masa kini, awalnya juga hanya kota. Republik Indonesia bermula di Jakarta. Tanpa pengakuan penguasa daerah-daerah lain atas proklamasi Soekarno-Hatta itu, RI tak akan jadi sebesar ini. Kalaupun batas RI adalah ex Hindia Belanda, maka Hindia Belanda juga dimulai dari Batavia, yang diperluas dengan politik imperialisme selama 350 tahun.
Fakta, Madinah saat itu mirip negara kota yang merdeka. Wilayah itu tak pernah ada di bawah dominasi kekuasaan asing. Mekkah juga negara kota lainnya. Saat itu, ada sejumlah negara yang lebih besar, bahkan adikuasa, seperti Romawi yang berkuasa hingga Suriah, Jordania dan Afrika Utara; dan Persia di wilayah Iraq dan Iran sekarang ini.

Masyarakat Madinah juga sebuah masyarakat yang khas. Saat Rasulullah hijrah, Islam sudah menjadi pemikiran (mafahim) dan perasaan (maqayis) dominan di Madinah, sekalipun belum semua penduduknya masuk Islam. Populernya Islam di Madinah ini tak lain adalah buah kerja keras Mush’ab bin Umair, shahabat yang dikirim Rasulullah, atas permintaan 12 penduduk Madinah yang telah menghadap Rasulullah.

Untuk menjadi masyarakat yang lengkap mereka tinggal membutuhkan aturan (nizham) yang dominan. Aturan ini tentu harus diterapkan seorang pemimpin yang memerintah mereka, dan mereka siap melindungi dan membantu pemimpin itu. Kontrak sosial masyarakat Madinah dengan pemimpin itu, yaitu Rasulullah, terjadi saat Baiat Aqabah-II. Baiat itulah momentum berdirinya negara khilafah islam. Ini mirip proklamasi 17–8-1945. Jadi negaranya (sebagai wilayah dan masyarakat) memang sudah ada sebagai proses rasional, tapi Khilafah sebagai sistem pemerintahan Islam, dituntun oleh wahyu. Dan sistem khilafah ini memang berbeda dari sistem kerajaan atau republik. Dia sistem yang khas.

Ketika Rasul hijrah ke Madinah dan membuat piagam Madinah, piagam itu lebih mirip sebuah Undang-Undang Pakta Kerjasama baik intra Madinah maupun antara Madinah dengan suku-suku Yahudi di sekitarnya. UU ini tetap mengacu kepada Islam, karena di banyak pasalnya ada kalimat “dikembalikan kepada Allah dan Rasulnya”. Ini adalah kalimat yang jelas-jelas tidak sekuler, tidak demokratis, namun juga tidak diktatur, melainkan Islami.

Pada saat perjanjian Hudaibiyah, Rasul sebenarnya justru mendapatkan pengakuan kedaulatan (de jure) dari negara Makkah. Ini mirip 23 Agustus 1949 tatkala RI diakui oleh Kerajaan Belanda. Jadi Piagam Madinah ataupun Perjanjian Hudaibiyah bukanlah dalil untuk set-up sebuah negara, apalagi bila yang diinginkan adalah gambaran bahwa negara Rasul tersebut kompromistik.

Negara Rasul adalah sesuatu yang dihuni manusia. Tentu mereka juga ada yang tersalah dan berdosa. Hanya Rasul yang maksum. Meski demikian, itu tetap negara Islam, di mana sistem Islam berlaku, untuk meminimalkan maksiat, dan bila perlu menghukum pelakunya.

Ketika Rasul wafat, para shahabat senior yang bersamanya sejak tertindas di Makkah, justru tak segera mengurus jenazahnya, melainkan sibuk mencari penggantinya. Hanya Ali dan keluarga (sebagai keluarga dekat) yang memandikan dan mengkafaninya. Tapi Ali juga menunda menyolatkan dan menguburkannya, hingga terpilih Abu Bakar sebagai khalifah. Penundaan ini, apalagi untuk jenazah Rasul, menunjukkan bahwa masalah Khilafah lebih urgen dari pengurusan jenazah.

Demikianlah para khulafaur Rasyidin menerapkan Islam di dalam negeri, dan menyebarkannya ke seluruh dunia melalui dakwah dan jihad.

Ketika ‘Ali terbunuh, dan Daulah Umayyah berdiri, lalu tampak ada pola seperti monarki, sesungguhnya itu suatu pelanggaran yang tidak signifikan, tidak membuat bubarnya negara. Sistem Khilafah Islam tidak hanya soal suksesi, namun mencakup politik secara keseluruhan, juga ekonomi, hukum, pendidikan dsb. Mungkin mirip dengan trik Soeharto untuk jadi Presiden selama 32 tahun: rekayasa golkar, pemilu dan MPR. Kita tahu itu pelanggaran, namun RI tidak bubar karenanya.

Dinasti Umayyah hanya menyalahgunakan salah satu metode penentuan khalifah, yaitu nominasi dari khalifah sebelumnya. Namun secara umum, sistem khilafah tetap berfungsi. Imam Abu Yusuf menegaskan bahwa ciri-ciri negara Islam itu dua perkara: 1. Hukum yang berlaku di negara itu adalah dari Islam semata. 2. Kekuatan yang melindungi penerapan hukum tersebut semata-mata pada kaum muslimin, sekalipun mereka tidak mayoritas.

Fakta, dua syarat itu terpenuhi hingga tahun 1924. Dan fakta, banyak prestasi peradaban Islam yang dinisbahkan ke era ini. Bagi bangsa-bangsa di dunia, negara khilafah tetaplah satu-satunya representasi kaum muslimin yang dihormati, disegani, ditakuti namun juga dimusuhi. Tidak seperti sekarang ini, di mana kaum muslimin hanya dimusuhi, tapi tak lagi disegani, dihormati, apalagi ditakuti.

Memang, ada kalanya datang khalifah yang dhalim, atau aparat yang korup. Tapi masyarakat tahu, itu adalah pelanggaran suatu hukum. Hukumnya sendiri digali dari Islam. Sementara sekarang, ketika khilafah tidak ada lagi, hukum digali tak hanya dari Islam, bahkan mayoritas hanya imitasi hukum-hukum warisan penjajah kafir.

Kehancuran Bagdad 1258 oleh Tartar juga tidak membubarkan khilafah. Di bagian-bagian lain negeri, sistem Islam tetap jalan. Dan tentang khalifah yang tidak lagi Quraisy, diterangkan oleh Ibnu Khaldun, bahwa Quraisy itu hanya syarat afdhaliyah dan kontekstual, karena dahulu suku yang paling berpengaruh di jazirah Arab adalah Quraisy, sehingga secara sosiologis, adanya khalifah yang Quraisy akan mengurangi resistensi.

Dengan demikian jelaslah, bahwa negara khilafah Islam memang pernah ada, didirikan Rasulullah sendiri, dan telah berlangsung jauh hingga tahun 1924.
Adapun klaim pengikut Wali al-Fatah atau Ahmadiyah bahwa mereka telah memiliki khalifah, tentu saja bertentangan dengan konsep khilafah yang rajih (kuat), yang menyatakan bahwa khalifah itu pemimpin baik spiritual maupun politis, dan rakyatnya tak hanya pengikut gerakannya, melainkan semua orang, muslim ataupun bukan, yang berada di wilayah kekuasaan negara itu dan negeri-negeri lain yang telah menggabungkan diri padanya. Khalifah wajib melindungi dan mengurus kebutuhan seluruh rakyatnya ini, tak hanya pengikut gerakannya saja.

Maka khalifah ala Wali al-Fatah atau Ahmadiyah yang jelas-jelas hanya bersifat spiritual dan eksklusif pada jamaahnya, bukanlah khalifah yang sahih. Demikian juga para penguasa negeri-negeri Islam, sekalipun menyatakan Islam agama negara, UUD-nya adalah Qur’an, atau berbentuk Republik Islam, maka selama mereka hanya membatasi diri untuk bangsa tertentu, mereka juga belum bisa disamakan dengan khalifah.

Secara empiris, negara-negara di luar dunia Islam pasca 1924 tak pernah lagi merasa berhadapan dengan sebuah negara yang merepresentasikan ummat Islam sedunia. Mereka hanya berhadapan satu-satu, dengan Iran, Saudi, Pakistan dan sebagainya. Mereka tidak lagi mendapatkan kaum muslimin bersatu dalam suatu formasi ideologis.

Jadi memang, sudah 80 tahun ini dunia menanti khilafah.
Dan di tahun 2016 ini genap 92 tahun dunia menanti khilafah.

26 February 2016

Tipologi Spiritual Orang Islam, Anda yang Mana?

Oleh : Ust. Priyo Djatmiko 13/07/2016

Sumber Islam itu satu, tapi ekspresi spiritual muslim bisa berbeda-beda. Tulisan ini sedikit mencoba memotret dan mengklasifikasi tipologi ekspresi spiritualitas muslim. Yang dimaksud dengan spiritualitas adalah:
  1. Cara muslim itu memandang sumber nilai atau kebenaran (sebut saja: teks, rasionalitas, intuisi, akal kolektif, ilham, otoritas),
  2. Cara alamiah dan terbaik dia dalam berhubungan dan berkomunikasi dengan Tuhan, dan 
  3. Cara dia menerapkan apa yang ia pahami dari agama kepada dunia eksternal di luar dirinya.
Tiga aspek ini dalam tradisi islam akan diletakkan dalam dimensi transendental (berbeda dengan tradisi sekuler yang meletakkannya pada dimensi etik dan otonomi manusia saja) sehingga tepat jika keragamannya disebut sebagai tipologi spiritual muslim. Tipologi ini hanya observasi saja dan tidak absolut ketepatannya:

Pertama, tipe sufistis atau muslim salik. Islam bertujuan membersihkan diri dari dosa dan mengisi hati dengan kebajikan, melalui disiplin spiritual dan ritual. Muslim salik berfokus pada tujuan in dan lebih khusus lagi untuk dekat dengan Tuhan, ia memperbanyak kondisi soliter dan menyepi. Untuk menyempurnakan batin, ia menghindari hal-hal kebanyakan: terlalu banyak berhubungan dengan manusia, terlalu banyak mengkonsumsi apa yang disukai manusia, dan terlalu banyak mencintai apa yang dicintai oleh kebanyakan manusia. Mereka merasa bermanfaat apabila bisa memberi suluh, pencerahan dan ketentraman pada manusia kebanyakan, yang hanya bisa diberikan jika batinnya lebih jernih untuk bisa melihat hal-hal yang tersembunyi dari kebanyakan manusia.

Kedua, tipe legalis atau muslim teologis. Tujuan Islam adalah memperbaiki manusia, dan kebaikan-kebaikan diperoleh dari kepatuhan atau melakukan apa yang dikehendaki oleh Tuhan, yang mengatur perbuatan-perbuatan, interaksi antar manusia maupun postulat-postulat yang harus diyakini. Muslim teologis mendapat ketentraman setelah mengetahui dan mematuhi hukum ini. Hubungan transendennya dengan Tuhan diperoleh melalui interaksinya dengan teks, disertai dengan sikap hormat, patuh dan mengabdi. Tujuannya membaca dan mengartikan teks adalah untuk mengetahui maksud Pemberi teks. Mereka mengabdi pada Tuhan dengan membawa teks-teks ilahiyah agar bisa menjadi panduan dalam kehidupan nyata, dan itu membutuhkan keahlian atas teks-teks tersebut.

Ketiga, tipe intelektual atau muslim mufakkir. Agama mengajarkan bahwa diluar manusia ada kebajikan dan kebenaran yang melampaui naluri-naluri instingtif dan kebutuhan-kebutuhan primordialnya. Dengan demikian, agama bagi orang ini memberikan dorongan kuat untuk mengejar kebenaran dan kebajikan, dengan terus menerus membaca alam dan fenomenanya, manusia dan interaksinya, peristiwa-peristiwa dan sejarahnya. Mirip dengan tipe kedua (legalis) yang bertujuan untuk mengetahui kehendak-kehendak Tuhan atas manusia, namun berbeda dengan cara mencapai tujuannya. Legalis mulai secara deduktif dari teks, mufakkir mulai secara induktif dari luar teks. Ia mencari pertanyaan-pertanyaan yang tepat untuk ditanyakan dan masalah-masalah yang harus dipecahkan. Jika legalis lebih praktis dan kekinian, mufakkir lebih prediktif dan menghubungkan masa lalu dan masa depan, serta menghubungkan alam pikir muslim dengan alam pikir mereka yang bukan muslim. Dia mendapat ketenangan dalam berinteraksi dengan Tuhan jika ia merasa telah mengerahkan daya upayanya untuk memanfaatkan akal karena sadar akal adalah pemberian Tuhan terpenting yang ada pada dirinya. Jika legalis memandang otentisitas atau ketepatan dan kemurnian atas apa yang dikehendaki Tuhan sangat penting, mufakkir memandang penemuan-penemuan baru dan kemajuan-kemajuan lebih penting sebagai bukti pengerahan kemampuan manusia untuk mendekati kehendak Tuhan.

Keempat, tipe humanitarian atau muslim filantropis. Muslim filantropis memandang praksis lebih penting daripada kontemplasi-nya sufi, tercapainya tujuan etis lebih penting daripada otentisitas hukum-hukum dan penemuan-penemuan intelek manusia. Kesalehan diukur dan dikalibrasi dengan timbangan kebenaran yang universal yaitu seberapa banyak yang pemeluk agama dapat berikan untuk orang lain melalui tindakannya. Ketinggian spiritual diperoleh dengan memberi orang yang kekurangan, mengangkat orang yang tertinggal, membela orang yang lemah dan menghibur orang yang bersusah hati. Bagi orang ini, dunia tanpa agama adalah dunia yang penuh dengan penderitaan dan ketidakadilan, sehingga menghadirkan agama adalah dengan kedermawanan serta mencapai ketakwaan adalah dengan altruism (kemelimpahan) tanpa pamrih.

Kelima, tipe revivalis atau muslim aktivis. Jika muslim sufistik berfokus pada intuisi dan kontemplasi, muslim legalis berfokus pada teks dan ortodoksi, muslim intelektual berfokus pada akal dan invensi-invensi, muslim aktivis memandang praksis dan ortopraksis lebih penting serta berfokus pada manusia dan kemanusiaan seperti halnya muslim filantropis, bedanya ia lebih mengejar perubahan-perubahan menyeluruh daripada tindakan-tindakan individual, tindakan-tindakan advokatif dan politis lebih efektif dari tindakan-tindakan derma dan simpatik. Keprihatinannya bukan sekedar atas ketidakadilan dan nasib pahit manusia, tapi pada penglihatannya bahwa semua itu ada penyebab sistemiknya. Titik spiritualnya tersentuh bukan melalui kegembiraan orang yang diberi atau keharuan atas penderitaan manusia, tapi lebih melalui keselarasan batin ketika melakukan kerja-kerja perubahan, demi terhapusnya keburukan dan terwujudnya kebaikan. Menurut keyakinannya, perubahan di level komunitas akan menjadi jalan untuk menurunkan kebaikan-kebaikan derma secara otomatis.

Catatan: Tipologi ini mesti dipandang sebagai kecenderungan dominan dan tidak menegasi satu sama lain. Setiap manusia beramal sesuai tempatnya. Yang disarankan adalah setiap kita harus:
  1. Melengkapi semuanya, menetapkan batas bawah tipe yang menjadi kelemahannya, serta mengoptimalkan tipe yang menjadi kekuatannya,
  2. Mewaspadai potensi negatif masing-masing tipe jika terlalu ekstrim, dan
  3. Bekerja secara kolektif memanfaatkan seluruh kekuatan spiritual yang beraneka ragam.

16 February 2016

Tragedi Lumba-Lumba Argentina, Sebuah Hipokrisi Barat

Sedang mondar-mandir di lini masa Facebook saya berita lumba-lumba di satu pantai di Argentina yang mati karena dehidrasi berat setelah ramai-ramai diperebutkan orang-orang untuk swapotret (selfie). Media-media Barat kayak CNN, Times, New York Daily dan Washington Post ramai-ramai memberitakannya. Saya turut berduka cita sangat dalam atas kejadian bodoh tersebut, apalagi katanya itu hewan yang termasuk terancam punah. Cuman bukan itu yang mau dibahas.

Begini ya, media-media Barat golongan itu sangat cepat tanggap untuk meliput berita perikebinatangan, mendramatisasinya dan melemparnya ke publik. Masih segar dalam ingatan kita kasus Axelle Despiegelaere seorang fans timnas Belgia saat Piala Dunia 2014 kemarin batal menjadi agen ambasadornya L'Oreal gegara kedapatan membagikan foto pribadinya yang selesai membunuh hewan liar. Seluruh dunia mengutuknya, sampai terjadi pembatalan itu.

Sementara itu, penindasan sesama manusia di atas manusia di berbagai belahan dunia media-media tersebut cenderung memilih diam. Agak sulit mendapatkan liputan terbaru kekejaman Rusia saat Prahara Suriah yang membom tempat-tempat yang seharusnya tidak boleh dibom menurut konvensi perang internasional seperti rumah sakit, sekolah dan rumah-rumah sipil, atau yang jelas-jelas sejak lebih dari setengah abad penjajahan Zionis atas rakyat Palestina, lalu Rohingya, belum suku Pattani juga suku Uyghur. Itu beberapa kedzaliman yang korbannya muslim. Yang non muslim pun tidak sedikit. Di Pakistan misalnya ada penindasan dan diskriminasi terhadap ummat Hindu di sana atau di negara Pam Sam sendiri terjadi diskriminasi tersembunyi terhadap warga kulit hitam di dalam hal buku-buku pelajaran, seleksi pelamar kerja, kesu'uzhannan polisi, pengadilan dan lamanya hukuman dalam kasus kriminal. Padahal semestinya merujuk pada UU yang berlaku antara black dan white adalah sama dan setara. Banyak sekali pada intinya ketimpangan dan kedzaliman di dunia ini yang sepertinya walaupun sangat vulgar tapi sangat enggan untuk diliput oleh media-media besar Barat itu.

Berbeda sekali misalnya kalau korbannya adalah orang kulit putih: Charlie Hebdo, bom marathon Boston, bom di Itali dan lain dan lainnya. Semua ribut, semua diliput. Kalau bisa diulang-ulang setelah dijadikan headline berkali-kali. Para pembesar negara pun tidak luput mengadakan seremoni, berbela sungkawa agar langsung dicap pro kemanusiaan. Ya, intinya media Barat golongan itu (ada juga golongan lain yang minoritas kayak The Guardian, ironis ya yang berimbang malah yang minoritas) akan peduli jika yang jadi korban adalah orang kulit putih atau binatang. Sempitnya dunia ini....

Hitung






Komentar

Tentang Blog Ini

Seorang pembelajar yang berharap tidak berhenti belajar, seorang hamba yang berharap tidak berhenti menghamba

Followers