29 March 2017

Pesan Nabi Kepada Suami dan Kepada Istri


Oleh: Ust. Alfitri 29/03/2017
 
Kenapa baginda Nabi berpesan seperti di bawah ini, kepada para suami?

استوصوا بالنساء خيرا؛ فإنهن خلقن من ضلع أعوج، وإن أعوج شيء في الضلع أعلاه، فإن ذهبت تقيمه كسرته، وإن تركته لم يزل أعوج؛ فاستوصوا بالنساء خيرا

"Aku berwasiat kepada kalian (suami) untuk bersikap baik pada wanita (istri). Sebab, mereka tercipta dari tulang rusuk yang bengkok. Dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian teratasnya (lidah). Diluruskan, patah (cerai). Dibiarkan, tetap bengkok. Terimalah wasiatku; bersikap baik pada wanita".

Jawabannya, karena suami pada umumnya susah bersabar, dalam menghadapi kondisi atau watak mahluk seperti itu.

Dan kenapa pula Nabi berpesan kepada para istri untuk patuh dan taat pada perintah suami, seperti dalam hadis berikut ini?

إذا صلت المرأة خمسها ، وصامت شهرها ، وحفظت فرجها ، وأطاعت زوجها قيل لها : ادخلي الجنة من أي أبواب الجنة شئتِ .

 "Apabila seorang wanita (istri) telah menunaikan salat fardhu, puasa Ramadan, menjaga kemaluan, dan taat pada suaminya, maka (kelak) akan dikatakan padanya: [Masuklah engkau ke dalam Syurga melalui pintu yang engkau inginkan!]".

لو أمرتُ أحداً أن يسجد لأحدٍ لأمرتُ المرأة أن تسجد لزوجها من عِظَم حقِّه ، ولا تجد امرأة حلاوة الإيمان حتى تؤدي حق زوجها

"Kalaulah aku (boleh) menyuruh seseorang untuk sujud kepada yang lain, niscaya aku (akan) menyuruh seorang istri sujud kepada suaminya, karena hak suami yang begitu besar atas dirinya. Dan seorang istri tidak pernah bisa merasakan manisnya keimanan, sampai hak suami dia tunaikan".

Jawabannya, karena yang terberat bagi istri itu adalah 'nurut' dan taat kepada suaminya.

اللهم إنا نسألك طاعة أزواجنا لنا، ونسألك لهن خيرنا، يا حي يا قيوم !

08 March 2017

Mengikuti Al-Qur'an dan As-Sunnah, Mengikuti Pemahaman Para Salafus Shalih?



Oleh: Ust. Muhammad Abduh Negara


Saya sepakat dengan konsep ini: Mengikuti Al-Qur'an dan As-Sunnah, mengikuti pemahaman para salafus shalih.

Jika sekadar mengakui dan menerima konsep di atas, bisa disebut Salafi, maka iya, saya Salafi. (Tapi sayangnya, 'mereka' membuat banyak syarat lain, yang sebagiannya tak bisa saya penuhi).

Hanya saja, sebagaimana (yang saya pahami) dari pemahaman jumhur ulama, mengikuti pemahaman salafus shalih, bukan berarti menafikan seluruh pendapat ulama khalaf. Pendapat ulama khalaf, jika tidak bertentangan secara diametral dengan pemahaman salaf, tidak harus ditolak.

Karena itu, banyak ulama yang menerima konsep "ta'wil ayat sifat", bukan karena mereka mengabaikan pemahaman ulama salaf, namun karena: (1) mereka tak melihat pemahaman salaf dan khalaf bertentangan diametral; (2) beragamnya pendapat salaf tentang hal ini (paling tidak menurut klaim sebagian ulama).

Tentu juga, pada masail ijtihadiyyah, tidak perlu dibawa ke urusan klaim ahlus sunnah atau ahlul bid'ah. Ini hanya masalah shawab dan khatha'. Dalam hal ini, berlaku ketentuan "Pendapatku benar, tapi ada kemungkinan salah. Pendapat selainku salah, tapi ada kemungkinan benar.". Juga berlaku ungkapan sebagian ulama, "ikhtilaf (dalam persoalan ijtihad) di kalangan aimmah, itu merupakan rahmat (kasih sayang) dan kemudahan bagi umat."

Saya boleh berbeda pendapat dengan anda, tapi kita masih sama-sama muslim, bersaudara dalam iman dan Islam. Kehormatan anda harus saya jaga, sebagaimana anda juga harus menjaga kehormatan saya. Saya dan juga anda, bukanlah musuh sunnah yang harus diperangi. Kita sama-sama sedang berusaha mengikuti As-Sunnah, sesuai kadar pemahaman masing-masing. Terjadi perbedaan? Itu keniscayaan.

+++

Namun, kembali ke konsep awal, paham-paham yang jelas tidak bersumber dari Al-Qur'an dan As-Sunnah, juga bertentangan dengan manhaj beragama para ulama salaf, juga ulama khalaf, tidak akan kita terima.

Karena itu, paham sekuler, yang menyatakan agama hanya boleh 'bermain' di tempat ibadah, sedangkan di kantor, pasar, dan di tempat-tempat lainnya, jangan bawa-bawa agama, ini jelas tertolak.

Demikian pula, paham yang menyatakan ada seorang mukallaf yang boleh meninggalkan kewajiban-kewajiban Syariah, karena telah mencapai maqam tertentu, ini juga tak bisa diterima.

Wallahu a'lam.

Tentang Ikhtilaf 'Ulama

Oleh: Ust. Muhammad Abduh Negara 08/03/2017

1. Perbedaan pendapat di kalangan ulama adalah hal yang wajar, bukan sesuatu yang buruk, bahkan pada keadaan tertentu, ia merupakan rahmat dan keluasan bagi umat Islam.

2. Di antara penyebab terjadinya perbedaan pendapat di kalangan ulama: (a) perbedaan dalam menilai status hadits (shahih atau dhaif, dst), (b) perbedaan dalam memahami makna-makna yang terkandung dalam nash, (c) perbedaan dalam menilai kehujjahan sebagian sumber-sumber fiqih, semisal mashalih mursalah, syar'u man qablana, dll, (d) perbedaan dalam kaidah-kaidah ushul fiqih, dan sebab-sebab lainnya.

3. Tidak semua ikhtilaf itu diakui. Ada ikhtilaf yang terlarang, dan pelakunya (orang yang mengeluarkan pendapat yang berselisih ini) terkena dosa. Ikhtilaf terlarang jika: (a) Bertentangan dengan nash yang qath'i, baik tsubut maupun dilalahnya, (b) Bertentangan dengan ijma' yang pasti (bukan sekadar klaim ijma', (c) Yang berpendapat bukan orang yang layak berijtihad, (d) Yang berpendapat adalah mujtahid, namun ia tak bersungguh-sungguh dalam ijtihadnya.

4. Ada pula ikhtilaf yang pada dasarnya boleh (tidak terlarang seperti di poin 3), namun karena motivasi dan tujuannya buruk, akhirnya menjadi terlarang, yaitu: (a) Ikhtilaf itu dalam rangka memenuhi hasrat hawa nafsu (kebencian, menang-menangan, dll), bukan benar-benar untuk mencari kebenaran, (b) Ikhtilaf tersebut melahirkan permusuhan dan perpecahan di antara dua orang yang berselisih, bahkan memecah-belah umat Islam.

5. Dari poin 3 dan 4, bisa dipahami, tak semua pendapat yang dilontarkan oleh orang-orang saat ini, dianggap ikhtilaf yang diakui. Pendapat-pendapat nyeleneh semisal kebolehan liwath (homoseksual) dan semisalnya, jelas bukan ikhtilaf yang diakui.

6. Adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama, bukanlah alasan bagi kita untuk mengambil suka-suka pendapat mana saja yang ada, yang kira-kira paling enteng untuk dikerjakan, tanpa ada udzur (tatabbu' rukhash tanpa ada hajat yang dibenarkan).

7. Terkait poin 6, bagi orang yang memiliki kemampuan melakukan tarjih (memilih pendapat yang terkuat dari pendapat-pendapat yang ada, dengan standar ilmu syar'i yang memadai), silakan pilih pendapat yang menurut hasil kajiannya paling kuat.

8. Masih terkait poin 6, bagi yang tak memiliki kemampuan tarjih, silakan ikut pendapat ulama yang ia kenal kemasyhuran ilmunya, atau kewara'annya, atau ikuti mufti yang ada di tempatnya berada.

9. Setiap orang yang telah memilih salah satu pendapat dari pendapat-pendapat ulama yang ada, perlu menghormati pendapat ulama lain yang tidak ia ikuti, sekaligus menghormati orang lain yang mengikuti pendapat ulama lain tersebut. Tidak boleh bermusuhan dan berpecah-belah, hanya karena berbeda ulama yang diikuti.

10. Ikhtilaf ulama terjadi pada furu' aqidah maupun fiqih. Dalam fiqih, ikhtilaf ulama terjadi dalam bab ibadah, muamalah, bahkan siyasah (politik). Siapapun yang mengikuti pendapat sebagian ulama dalam persoalan-persoalan ini, perlu menghormati dan bersikap toleran terhadap pihak lain yang mengikuti pendapat yang berbeda.

11. Diskusi ilmiah, bagi yang mampu, dipersilakan untuk menentukan pendapat mana yang terkuat. Namun, diskusi ilmiah ini tempatnya di forum ilmiah, bukan di tempat umum, terlebih di hadapan kalangan umum yang tidak mengerti persoalan ini, yang bisa jadi malah membuat rusuh dan saling benci.

Sumber:
1. Al-Asas Fi Fiqhil Khilaf, karya Dr. Abu Umamah Nawwar bin Asy-Syali
2. Al-Khilaf Anwa'uhu wa Dhawabithuhu wa Kayfiyatut Ta'amul Ma'ahu, karya Hasan bin Hamid Al-'Ushaimi
3. Ushul Al-Fiqh Al-Islami, karya Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili
4. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu (Muqaddimah), karya Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili
5. Dan sumber-sumber lainnya

06 March 2017

Amir Alim

Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi

Suatu ketika Ziaul Haq (alm) Presiden Pakistan tahun 1977-1989, mengumpulkan para wartawan untuk berdialog dan makan siang. Disela dialog itu Ziaul Haq bertanya kepada Nizami, pimpinan redaksi koran the Nation. “Nizami menurut anda siapa yang mendirikan dan membangun negara”, tanya Zia. Nizami agak lama berpikir memahami logika Zia, dan lalu menjawab “Politisi”.

Zia tersenyum mendengar jawaban itu lalu berkata: “Ternyata wartawan sekelas anda masih berpikir sependek itu”. Orang mengira dia akan membanggakan dirinya. Tapi akhirnya ia membuka persepsinya “Sebenarnya, yang mendirikan dan membangun negara itu adalah para intelektual”. Demikian seterusnya dan Zia pun terus berwacana di seputar isu itu.

Ziaul Haq berpikir induktif. Di negerinya inspirator kemerdekaan bukan politisi. Pakistan merdeka dari India berkat terutama inspirasi Mohammad Iqbal. Selain itu terdapat nama-nama seperti Abul Ala al-Maududi, Amir Ali, Sir Syed Ahmad Khan dan sebagainya.

Semua itu adalah intelektual. India merdeka dari jajahan Inggris karena kekuatan inspiratif Mahatma Gandhi, Rabindranath Tagore, Jawaherul Nehru dan lain-lain. Nampaknya, dari kasus di kedua negeri itulah kesimpulan Zia tercetus.

Tapi kesimpulan Zia boleh jadi universal. Kita pasti setuju bahwa Indonesia dibangun oleh HOS Cokroaminoto, seorang guru inspiratif Soekarno dan pemimpin gerakan kebangsaan berdasarkan Islam, Dr. Wahidin Sudiro Husodo, Pencetus Gerakan Budi Utomo berwatak Jawa, Agus Salim digelari Soekarno ulama-intelek, aktor intelektual dari gerakan kemerdekaan Indonesia, KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asyari, Ki Hajar Dewantoro, M. Natsir serta sejumlah Ulama dan intelektual lainnya.

Mereka itu adalah intelektual yang politisi dan politisi yang intelek. Soekarno dan Hatta sendiri sebenarnya adalah intelektual. Mereka itulah the  founding fathers negeri ini. Jika ini disepakati maka Ziaul Haq adalah benar. Negeri kita juga tidak didirikan oleh para politisi, tapi para intelektual yang bervisi politik.

Gordon S. Wood dalam buku The Public Intellectual menganggap the founding fathers sebagai men of ideas and thought, leading intellectual sekaligus political leaders.

Tapi sejatinya mereka itu secara revolusioner bukan politisi an sich atau intelektual murni seperti dalam pengertian modern yang parsial. Mereka itu adalah intelektual yang tidak teraleniasi dan pemimpin politik yang tidak terobsesi oleh pemilu.  Mereka hidup dalam dunia ide dan realitas dunia politik tapi tidak utopis dan juga tidak pragmatis.

Bagi Leonard Peikoff, dalam The Ominous Parallels,  The Founding Fathers tidak hanya memiliki ide-ide revolusioner, tapi juga mampu menerjemahkannya kedalam realitas sosio-politik.

Ayn Rand dalam bukunya For the New Intellectual menjuluki mereka sebagai thinkers who were also men of action. Menurut John Lock merekalah yang mendirikan negara sebagai institusi yang khas. Inilah yang dimaksud Ziaul Haq.

Begitu idealkah mereka? Benar, karena al-fadhlu lil mubtadi walau ahsana al-muqtadi. Pujian diberikan kepada pembuka jalan, meski sang penerus bisa lebih baik.

Buktinya generasi sekarang melihat mereka bagaikan mitos, tapi historis. Mereka memuji tapi tidak bisa mengikuti. Petuah mereka digugu tapi integritas mereka tidak dapat ditiru.

Gordon juga mengkritik, kita terlalu banyak memuji tapi tidak banyak memahami. Memahami mengapa generasi zaman revolusi bisa begitu, sedang generasi sekarang tidak. Mengapa idealisme dan politik tidak bisa bersatu. Mengapa politik hanya dianggap amal yang lepas dari ilmu, retorika yang tanpa logika. Mengapa politik berarti membangun kekuasaan, bukan peradaban. Padahal kekuasaan hanyalah tahta yang tidak berarti tanpa ilmu, moralitas dan tujuan.

Samuel Eliot Morrison dan Harold Laski, keduanya sejarawan Amerika, percaya bahwa dalam sejarah modern, tidak ada periode yang kaya dengan ide-ide politik yang memberi banyak kontribusi kepada teori politik Barat.

Ini menurut Gordon S Wood disebabkan oleh kualitas intelektual dalam kehidupan politik masa kini yang turun drastis. Ide telah dipisahkan dari kekuasaan. Dan itu semua adalah harga yang harus dibayar oleh sistem demokrasi, tulisnya.

Kalau Gordon beragama, mungkin ia akan berkata itulah harga yang harus dibayar oleh sekularisme. Agama “tidak mesti bisa” menjadi bekal berpolitik. Prinsip “Jangan bawa agama ke ranah politik” seperti sudah menjadi konvensi. “Berpolitik tidak bisa hitam putih” berarti berpolitik tidak harus ilmiah.

Benar salah dalam dunia akademik tidak menjadi ukuran. Rumusannya bisa begini: “Politisi boleh bohong tapi tidak boleh salah, ilmuwan tidak boleh bohong tapi boleh salah”. Inilah sebabnya mengapa seorang profesor dan ulama tidak “mudah” mengikuti logika politik.

Singkatnya, tidak berarti penerus tidak bisa berpikir revolusioner. Dalam sejarah Islam para khalifah umumnya memiliki ghirah ilmiyyah. Umar ibn Abdul Aziz adalah khalifah penerus yang sangat revolusioner. Adh-Dhahabi menyebutnya ulama yang amilin, artinya juga alim yang amir. Ia mampu mengembangkan ekonomi dan ilmu pengetahuan sekaligus. Ia membangun politik dan juga peradaban.

Rakyatnya tidak layak menerima zakat karena sejahtera lahir dan batin. Intelektualitasnya adalah dasar dari keadilannya. Ilmunya menjadi bekal amalnya. Itulah amir yang alim yang dapat menjadi cahaya (misykat) bagi umat manusia.

Berbagai Hukum dalam Mempelajari Ilmu

Oleh: Ust.  Muhammad Abduh Negara 06/03/2017

Ilmu ditinjau dari sumber pengambilannya terbagi menjadi dua, yaitu ilmu syar'i dan ilmu ghairu syar'i. Ilmu syar'i adalah ilmu yang digali dari sumber-sumber Syariat, sedangkan ilmu ghairu syar'i adalah ilmu keduniaan dan semua ilmu yang tidak berasal dari sumber-sumber Syariat.

A. Hukum Mempelajari Ilmu Syar'i

Hukum mempelajari ilmu syar'i bertingkat-tingkat berdasarkan keperluan kita atasnya. Ada yang hukumnya fardhu 'ain, semisal shalat lima waktu. Shalat lima waktu fardhu 'ain hukumnya, dan kita tak akan bisa menunaikannya kecuali dengan mempelajari hukum-hukum terkait shalat lima waktu tersebut, termasuk syarat dan rukunnya. Demikian pula tatacara wudhu, puasa Ramadhan dan semisalnya.

Bagi yang ingin berjual-beli, fardhu 'ain baginya mempelajari aturan Syariah dalam jual-beli. Bagi yang akan naik haji, fardhu 'ain baginya untuk mempelajari manasik haji, demikian seterusnya.

Ada juga ilmu syar'i yang hukum mempelajarinya fardhu kifayah. Ilmu ini wajib dipelajari oleh sekelompok orang dari kaum muslimin, demi kemaslahatan seluruh kaum muslimin, dan demi menegakkan syiar-syiar Islam. Contohnya menghafal al-Qur'an dan al-Hadits, mempelajari ulumul Qur'an dan ulumul Hadits, ushul fiqih, fiqih, nahwu, sharaf, lughah, mengenal para perawi hadits, mengetahui hal yang ijma' dan khilaf, dan semisalnya.

Ilmu jenis ini wajib dipelajari oleh sekelompok kaum muslimin sampai mencukupi keperluan seluruh umat Islam atasnya. Jika seluruh umat Islam sengaja tidak mempelajarinya tanpa uzur, maka mereka seluruhnya mendapatkan dosa, dan dosa itu baru akan terangkat jika sebagian umat Islam berhasil menunaikannya sampai batas yang cukup.

Ada juga ilmu syar'i yang hukumnya sunnah, tidak wajib, misalnya pengkajian secara mendalam dan meluas tentang dasar-dasar dalil dan pendalilannya, pada batas yang sudah melewati keperluan dalam fardhu kifayah.

B. Hukum Mempelajari Ilmu Ghairu Syar'i

Hukum mempelajari ilmu ghairu syar'i bertingkat-tingkat sesuai dengan al-ahkam al-khamsah (hukum yang lima). Ada yang hukumnya fardhu kifayah, yaitu ilmu yang dihajatkan oleh seluruh umat manusia untuk memenuhi kebutuhan dunianya, misalnya ilmu kedokteran dan matematika. Ilmu kedokteran sangat diperlukan oleh umat manusia untuk kemaslahatan fisiknya. Matematika diperlukan dalam urusan muamalat, pembagian wasiat, warisan, dan yang lainnya.

Jika hajatnya tidak terlalu besar di tengah-tengah umat, namun ilmu tersebut tetap bermanfaat, maka sunnah mempelajarinya.

Ada juga yang hukumnya haram, misalnya mempelajari sihir, perdukunan dan semisalnya, karena ilmu tersebut digunakan untuk melakukan hal-hal yang diharamkan dalam Islam.

Wallahu a'lam bish shawab.

Sumber: al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, pembahasan Hukmu Thalabil 'Ilmi, dengan sedikit perluasan dari penulis.

04 March 2017

Kemajuan dan Kebahagiaan


Secara umum manusia modern memuja kemudaan, sebagai imbas dari ambisi dan keyakinan modernisme akan uncease unlimited progress (kemajuan yang takkan surut dan tak ada batas). Hal ini meski secara filsafati tak selalu disadari, di benak bawah sadar kita meyakini hal itu: kesedihan yang tak terelakkan bahwa kita beranjak tua dan perasaan insecure (merasa tidak nyaman) ketika pada taraf usia tertentu kita belum mencapai apa yang (menurut kita) mestinya tercapai. Orangtua dengan demikian adalah milik masa lalu, tidak cukup lincah diandalkan untuk mengubah dunia

Masyarakat tradisional -yang dicemooh modernisme sebagai masa pramodern- yang mengutamakan keserasian, ketenangan dan menghayati cita rasa estetika dalam kehidupan dibandingkan ambisi efisiensi dan progress, sebaliknya memandang usia tua sebagai kekayaan. Yang tua dihormati, mengarahkan tindakan apa yang bijak untuk menerima, berinteraksi dan menghayati kenyataan eksternal, alih-alih berambisi mengubah dan mengendalikannya

Yang ingin dikemukakan adalah betapa niscayanya ketidakbahagiaan di alam batin modernisme. Waktu tidak dapat berjalan mundur dan manusia tak bisa menjadi semakin muda. Anak-anak muda anak kandung modernisme yang sedari kecil dijanjikan "tidak ada mimpi yang mustahil"; "kamu bisa menjadi apa saja"; "tak ada seorangpun bisa menghalangi keinginanmu (termasuk norma, aturan dan tata nilai orang banyak)" mesti dikembalikan ke kenyataan, iya kita bisa menjadi apa saja, tapi kita tak bisa mendapatkan semuanya. Kita mesti sadar bahwa bahwa progress belum tentu kebajikan dan kita tidak mengukur kebajikan dengan maju tidaknya suatu nilai. Justru kita mengukur, memvalidasi kemajuan dengan kebajikan. Yang mula-mula harus diketahui adalah kebajikan, kebaikan.

Ust. Priyo Djatmiko 24/2/2017 17:07

03 March 2017

Pasca Utsmani

Oleh: Ismail Al Alam

Jika mengacu pada penanggalan Masehi, kita hari ini (3/3) hidup setelah 93 tahun keruntuhan Kekhalifahan Turki Utsmaniyah. Kelompok Turki Muda yang dipimpin Kemal Attaturk mengubah Turki menjadi negara sekular dengan mencontoh Prancis. Dalam bahasa Ahmet T. Kuru, sekularisme Prancis bersifat asertif, yang sangat membenci segala pelembagaan dan simbol agama. Ketika itu diterapkan di Turki, yang terjadi bukan cuma penyingkiran urusan agama pada wiayah umum ke wilayah pribadi, namun juga penghadangan terhadap simbol-simbol Islam. Penggunaan jilbab, pembacaan Qur’an, dan kumandang azan dalam Bahasa Arab dilarang oleh negara.

Peristiwa ini menjadi pukulan meyakitkan bagi umat Islam. Dalam sejarah Islam, tak pernah ada kekalahan politik berbentuk hilangnya lembaga bernama khilafah, sekali pun sering terjadi pasang surut hubungan khilafah (sebagai pusat) dan kesultanan-kesultanan (sebagai daerah) dalam masa lalu, juga dualisme kepemimpinan. “Komunitas terbayang” di benak umat Islam masa lalu seperti sudah melekat pada batas-batas kekuasaan khalifah.
Meski demikian, apakah Islam sebagai agama peradaban sudah usai kejayaannya? Sebagian mengiyakan pandangan itu. Untuk membangkitkannya kembali, bagi mereka, adalah dengan meraih kejayaan politik yang sekurang-kurangnya sama dengan khilafah, baik mutu atau wilayah cakupannya. Para orientalis menyebut mereka sebagai “kaum revivalis”, karena cita-cita mereka untuk membangkitkan (revival) Islam secara politis. John L. Esposito menyebut keyakinan mereka tentang Islam berdasarkan din wa ad-daulah, “agama dan negara”, sehingga yang satu menjadi lengkap dengan keberadaan yang lain.
Namun terdapat sekelompok umat Islam yang justru mengambil jalan seperti Turki Muda: mengambil model negara Barat seperti demokrasi liberal atau sosialisme untuk diterapkan pada wilayahnya, demi apa yang mereka anggap “kemajuan bangsa-bangsa Arab”. Dalam perjalanan sejarah, mereka meraih lebih banyak hasil dan kuasa, sehingga dengan leluasa memberangus rongrongan “kaum revivalis” (untuk menyebut dua saja yang terkenal: Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir) dengan cara represif. Di Jazirah Arab, nasib aktivis “kaum revivalis” sering berakhir di liang kubur sebagai korban pembasmian oleh negara. Meski tujuannya untuk menyurutkan langkah mereka, tindakan itu justru memberi tenaga baru bagi penyebaran gagasan tentang ketertindasan, dan cukup ampuh sebagai bahan perekrutan bahkan di luar wilayah-wilayah itu, seperti di Indonesia. Solidaritas yang terbentuk oleh wacana ini, pada akhirnya, adalah solidaritas internasionalisme kalangan muslim.

Quintan Wicktorowicz dan beberapa ilmuwan sosial Barat lainnya pada tahun 2006 menerbitkan Islamic Activism: A Social Movement Theory Approach. Buku ini adalah kumpulan penelitian mereka terhadap gerakan-gerakan “revivalis” tersebut. Dalam simpulan para penulis yang rata-rata sarjana Barat dengan kemahiran ilmu-ilmu sosial, gerakan-gerakan “Islam revivalis” banyak mengalami perubahan dalam kurun setengah abad terakhir. Mereka mengubah arah perjuangan, dari gerakan politik yang berorientasi pada kekuasaan ke gerakan sosial yang berorientasi mempengaruhi kekuasaan. Hal ini terjadi karena perubahan struktur kesempatan politik yang membuat mereka harus berkompromi dengan penguasa dan gagasan-gagasan modern (demokrasi, HAM, dan sebagainya.) jika masih ingin bertahan hidup. Mereka banyak melakukan mobilisasi masyarakat dengan isu bersama (tentang politik lokal, nasional, dan global), kaderisasi di kampus-kampus sekuler terutama di jurusan sains alam dan teknik, bantuan sosial, perluasan jaringan, dan sebagainya.

Apa yang membuat perjuangan mereka kian menyusut dan berubah arah? Penelitian seorang sosiolog dari Kent University, Asif Bayat, di Iran, Turki, dan Mesir menunjukkan ketakmampuan mereka dalam menghadapi isu-isu etika sosial hasil pemikiran mutakhir para filsuf dan teoritisi Barat yang banyak dirujuk negara, seperti pluralisme, multikulturalisme, feminisme, dan sebagainya. Dengan segala keterbatasan yang ada, mereka “berusaha kompromi” dengan itu semua, untuk sekedar “bertahan hidup.” Dalam berbagai contoh, Bayat bahkan menunjukkan hal tersebut sudah berhasil, seperti posislamisme di Turki (dan kini Tunisia-pen) dan gerakan perempuan di Iran.

Apa hikmah dari ini semua? Islam memang mempunyai syariat tersendiri tentang politik, namun politik -yang berarti kekuasaan- dalam Islam adalah penjamin bagi berlangsungnya syari’ah. Tanpa kekuasaan, seorang muslim dapat menjalankan syari’at bagi dirinya sendiri selama ia memiliki ilmu tentang itu dan mengenali batas kewajibannya sebagai insan. Kewajiban menuntut ilmu, sebagai hal utama, bagi setiap muslim dimulai sejak dalam buaian ayah-ibu sampai ke liang lahat. Hal ini dapat terlaksana, meski tentu dengan berbagai penyesuaian, sekalipun suasana politik di tempat tinggalnya dikuasai oleh tirani. Dengan ilmu yang benar yang berdasarkan cara pandang Islam terhadap wujud, perjuangan politik, kesejahteraan ekonomi, kemajuan teknologi, dan sebagainya dapat diperjuangkan. Filsuf muslim terbesar abad ini, Syed Muhammad Naquib Al-Attas, tidak setuju jika kekalahan politik adalah ukurn bagi kekalahan peradaban Islam. Baginya, peradaban Islam seperti pohon yang memiliki akar yang kuat dan hidup di segala cuaca. Jadi, meski pohon kadang rampak dan kadang meranggas, yang menjadikannya sejati adalah akarnya. Kemunduran peradaban Islam justru dimulai ketika kaum muslim meninggalkan akarnya, pandangan hidupnya, lalu kebingungan di tengah zaman.

Contoh kecil peralihan “Islamis/revivalis” ke “posislamis” di atas adalah bukti pentingnya mengawal pergerakan yang ada dengan gagasan besar, yang diraih dari penelusuran dan pengembangan konsep-konsep Islam tentang politik. Ketika struktur kesempatan politik berubah menjadi lebih kondusif bagi kaum pergerakan Islam, tantangan selanjutnya adalah kesiapan menerima gagasan politik modern seperti kebangsaan, HAM, dan sebagainya dengan pandangan yang benar. Banyak kaum posislamis, karena tidak membekali diri dengan hal tersebut, justru menjadi kebingungan dan terseret dengan gagasan sekular tentang konsep-konsep di atas. Sebagian lagi merasa terancam degan bahaya pemikiran di luar Islam, sehingga sumber daya yang ada lebih banyak disalurkan untuk menyebarkan perasaan keterancaman itu. Peristiwa semacam itu adalah bukti pentingnya gerakan keilmuan, di samping gerakan sosial yang berkembang kian pesat.

Kita butuh orang-orang yang ikhlas untuk memperjuangkan gerakan itu, menempuh segala kesusahan dan kelelahan namun saling menguatkan. Apapun hasilnya, tugas kita hanyalah berusaha, dan Allah selalu Maha Menentukan. Sejarah peradaban-peradaban umat manusia lebih sering mengingat nama para ilmuwannya ketimbang nama politisinya. Wallahu a’lam.

Hitung






Komentar

Tentang Blog Ini

Seorang pembelajar yang berharap tidak berhenti belajar, seorang hamba yang berharap tidak berhenti menghamba

Followers