02 October 2017

Instalasi dan Konfigurasi Server MySQL 5.7 pada CentOS 7 untuk Akses Jauh (Remote Access) dari Jaringan Lokal

Sebagaimana diketahui, MySQL adalah sistem manajemen basis data relasional / Relational Database Management System (RDBMS) kode sumber bebas terbuka (free open source) yang sangat populer. Dalam kesempatan kali ini saya akan berbagi cara instalasi MySQL versi 5.7 pada CentOS atau Red Hat 7 melalui repositori Yum serta cara megizinkan akses ke MySQL tersebut dari jaringan lokal.

Tahap Instalasi MySQL Server

Menambahkan Repositori Yum Local

Dalam kesempatan ini kita akan menggunakan repositori Yum MySQL resmi dari Oracle. Repositori ini selain menyediakan MySQL server dan client, juga menyediakan utilitas MySQL, MySQL Workbench, Connector/ODBC, dan Connector/Python. Skenario yang digunakan adalah pemasangan baru server MySQL, bukan penggantian atau upgrade server MySQL yang sudah ada.


Untuk menambahkan repositori Yum MySQL resmi kita harus mengunduhnya dari situs Oracle. Pada bagian Select Operating System, pilih Red Hat Enterprise Linux/Oracle Linux pilih Red Hat Enterprise Linux 7 / Oracle Linux 7 (x86, 64-bit), RPM Package MySQL Server atau Red Hat Enterprise Linux 7 / Oracle Linux 7 (x86, 32-bit), RPM Package MySQL Server kemudian klik Download. Diperlukan akun untuk melakukan pengunduhan (atau kalau lagi males bisa pake Bugmenot) (versi terakhir saat artikel ini ditulis adalah 5.7.19).

Pasang paket yang telah diunduh dengan perintah sebagai berikut:
yum localinstall mysql57-community-release-el7-7.noarch.rpm

Pemasangan di atas sekaligus selain menerapkan repositori baru juga mengunduh kunci GPG untuk pemeriksaan integritas paket.

Pastikan repositori Yum MySQL sudah berhasil ditambahkan dengan perintah sebagai berikut:
yum repolist enabled | grep "mysql.*-community.*"

Memasang MySQL

Pasang MySQL dengan perintah di bawah
yum install mysql-community-server

Menjalankan Server MySQL

Jalankan layanan MySQL dengan perintah di bawah
systemctl start mysqld

Periksa status layanan MySQL
systemctl status mysqld

Pastikan versi MySQL yang terpasang
mysql --version

Mengamankan Pemasangan MySQL

Diperlukan perintah mysql_secure_installation untuk mengamankan pemasangan MySQL dengan menjalankan pengaturan penting seperti sandi bagi root, menghapus pengguna anonim, menghapus login root, dan lain sebagainya.

Sebagai catatan, MySQL versi 5.7 ke atas membuat sandi acak yang disimpan di /var/log/mysqld.log setelah proses pemasangan. Jalankan perintah berikut untuk mengetahui sandi acak tersebut:

grep 'temporary password' /var/log/mysqld.log

Setelah mendapatkan sandi acak tersebut, jalankan perintah berikut dan masukkan sandi acak tadi. Ikuti petunjuk yang diberikan secara hati-hati dan jawab sesuai kebutuhan.
mysql_secure_installation


Sambungkan ke Server MySQL


Sambungkan server MySQL yang baru tadi dengan perintah
mysql -u root -p


Konfigurasi Akses Jauh Server MySQL

Konfigurasi Firewalld untuk Mengizinkan Trafik MySQL


Secara bawaan, CentOS 7 menggunakan firewalld sebagai perangkat lunak dinding api sistem yang mana memiliki aturan yang  ketat. Sementara MySQL menggunakan port 3306 untuk berkomunikasi, port ini secara bawaan tidak dalam keadaan open sehingga untuk mengizinkan akses jarak jauh dari jaringan lokal maka kita harus memutakhirkan pengaturan firewalld.
Cek status service firewalld terlebih dahulu
systemctl status firewalld

Pastikan service mysql terdaftar  oleh firewalld dengan perintah sebagai berikut:
firewall-cmd --get-services

Untuk mengizinkan akses jarak jauh dari jaringan lokal, kita harus membuka port 3306 ke seluruh IP. Namun pastikan bahwa jika dan hanya jika server MySQL ini memang berada dalam mesin dengan IP lokal.

firewall-cmd --zone=trusted --add-port=3306/tcp --permanent

firewall-cmd --zone=public --add-service=mysql --permanent



Muat ulang firewalld
firewall-cmd  --reload



Pastikan port 3306 sudah listening
netstat -tulpn


Konfigurasi Pengguna untuk Akses Remote pada Basis Data MySQL
Untuk mengizinkan akses remote, sunting berkas pengaturan server MySQL di /etc/my.cnf. Yang perlu diperhatikan adalah memberi komentar baris skip-networking dan menambahkan atau menyunting baris bind-address dengan alamat IP server MySQL kita:
bind-address=Alamat-IP-Server-MySQL

Sebagai contoh, jika alamat IP server MySQL kita adalah 192.168.100.7 maka dalam berkas tersebut menjadi seperti berikut ini (urutan tidak berpengaruh)

[mysqld]
datadir=/var/lib/mysql
socket=/var/lib/mysql/mysql.sock

# Disabling symbolic-links is recommended to prevent assorted security risks
symbolic-links=0

log-error=/var/log/mysqld.log
pid-file=/var/run/mysqld/mysqld.pid
bind-address=192.168.100.7
#skip-networking


Simpan dan tutup berkas kemudian jalankan ulang layanan mysqld.
systemctl restart mysqld

Memberikan Akses ke Alamat IP Jarak Jauh


Sambungkan ke MySQL
mysql -u root -p
Misalkan kita akan membuat basis data appdb yang akan dipakai untuk basis data.

Hibahkan akses ke basis data baru

mysql> CREATE DATABASE appdb;
mysql
> GRANT ALL ON appdb.* TO root@'192.168.100.%' IDENTIFIED BY 'sandi';

Perhatikan bahwa tanda % sebagai tanda wildcard artinya semua pengguna root (sebagai pengguna umum yang biasanya dibuat) dengan IP 192.168.100.x/24 akan bisa mengakses basis data appdb pada server MySQL ini.

Jika ingin menghibahkan ke semua basis data di server MySQL, jalankan perintah sebagai berikut:

GRANT ALL PRIVILEGES ON *.* TO 'root'@'192.168.100%' IDENTIFIED BY 'sandi-anda' WITH GRANT OPTION;

Rujukan
https://devops.profitbricks.com/tutorials/install-mysql-on-centos-7/
https://wiki.mikejung.biz/Firewalld
https://www.digitalocean.com/community/questions/mysql-remote-access
https://www.tecmint.com/install-latest-mysql-on-rhel-centos-and-fedora/
https://mariadb.com/kb/en/library/configuring-mariadb-for-remote-client-access/




24 September 2017

Renungan Kecil tentang Equinox dan Sains Islam


Oleh Ismail Al Alam

Beberapa hari lalu, BMKG memprediksi bahwa hari ini, 24 September 2017, akan terjadi equinox, yakni keadaan di mana posisi matahari dari sudut pandang bumi berada persis di garis khatulistiwa.

Keadaan ini akan meningkatkan suhu bumi beberapa derajat lebih tinggi. Kita akan merasa lebih kepanasan. Tetapi di Cileungsi, langit sudah mendung menjelang siang, dan turun hujan walau sebentar di sekitar pukul 14:00.  Beberapa teman yang bercakap soal rencana mereka di WhatsApp Group juga mengabarkan bahwa hujan turun di tempatnya berada.

***

Sains menunjukkan kita banyak prediksi tentang kejadian alam, karena sains adalah upaya menjelaskan kejadian alam berdasarkan hukum sebab-akibat. Dari penjelasan tersebut, sains memberikan kita pola-pola berulang yang bisa diterapkan pada fenomena untuk memprediksi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi.

Oleh Imam Al-Ghazali, hukum sebab-akibat dikaitkan dengan keterlibatan langsung Allah atas segala kejadian, lewat perbuatan terus mencipta secara atomik, sehingga sesungguhnya tiada daya dan upaya selain atas kehendak Allah. Dalam bahasa para pengkaji pemikiran Islam, paham ini disebut dengan okasionalisme (occasionalism).

Historiografi pemikiran Islam yang diupayakan beberapa orientalis (dan kalangan muslim pembeonya) menuduh pemikiran Imam Al-Ghazali ini sebagai sumber kemandekan pikiran dan kemalasan berusaha umat Islam. Padahal selain berargumen demikian, Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa, karena Allah Maha Pengasih dan mengasihi manusia yang memiliki keterbatasan akal, maka Allah "lebih sering" (tentu, dalam ukuran nalar kita tentang waktu) mengatur alam ini dengan pola-pola tertentu, sehingga akal kita yang terbatas dapat mempelajarinya.

Saat itulah, sains lahir dari peradaban manusia. Hal ini juga berlaku pada perbuatan manusia; sekalipun penentu semua perbuatan manusia adalah Allah, tetapi manusia memiliki kesadaran akan perbuatannya sendiri dan terus menambah pengetahuan tentang perbuatan yang diridhai dan dimurkai Allah, sehingga manusia tetap dikenai kewajiban untuk berbuat sesuai ridha Allah, dan melaksanakan apa yang dimurkai Allah adalah kezaliman manusia atas diri dan sesamanya.

Sains yang lahir dari kesadaran ilahiah di atas, tentang alam (sains alam) dan manusia (sains sosial-humaniora), adalah sains Islam. Penerapan sains Islam di masa kini akan banyak bersentuhan dengan teori, metodolologi, teknologi, dan obyek kajian yang sama dengan sains sekuler yang berlangsung tanpa kesadaran ilahiah. Selain menjelaskan atomisme secara rasional yang memuaskan akal kita, Imam Al-Ghazali juga menjelaskan cara menjaga kesadaran itu agar senantiasa hadir kepada jiwa kita sebagai pengetahuan langsung (intuitif), yakni dengan melatih diri untuk menjalankan syariat di tingkat ihsan atau, lebih gamblang lagi, dengan mengamalkan tasawuf.

***

Tatkala mengerahkan upaya saintifik untuk mengetahui penyebab suhu siang hari yang lebih panas dari sebelumnya, dan hasilnya malah menunjukkan kemungkinan terjadi equinox di tanggal 24, kita sesungguhnya telah melakukan ikhtiar, yakni memilih dan melakukan yang terbaik dari kebaikan-kebaikan yang kita peroleh berdasarkan ilmu. Kita jadi lebih menyiapkan diri, keluarga, dan teman tidak terlalu lama berada di bawah terik matahari langsung, dan minum air lebih banyaj demi kesehatan.

Ikhtiar yang dilakukan dengan tetap menyadari bahwa semua sudah dalam pengaturan Allah, akan membuat kita lebih rendah hati ketika berhadapan dengan kecanggihan temuan sains yang memukau dan sering melenakan kita. Siapa yang menyangka pula kalau ternyata Allah berkehendak hari ini mendung, turun hujan, dan suhu malah menjadi sejuk setelahnya?

Wallahu a'lam

19 August 2017

Tashawuf, Tarekat dan Golongan Modernis dalam Timbangan

Oleh: Ust. Priyo Djatmiko 07/08/2017

Salah satu persoalan yang sulit diterangkan pada teman-teman berlatar kampus atau kantoran adalah pertanyaan tentang tasawuf dan tarekat. Yang sulit bukan memberikan jawaban yang (saya yakini) benar, tapi bagaimana memahamkannya mengingat gap pemahaman yang jauh. Gap ini muncul bukan saja karena ilmu pengetahuan Islam dalam arti tradisi dan klasik sudah begitu jauh, tapi juga karena cara berpikir modernis yang menguasai akal-akal manusia zaman sekarang, baik diwariskan oleh tradisi keluarga modern (memang bapak ibu kita relijius tapi ini muncul belakangan karena tren kesadaran relijius paska Orde Baru bukan muncul dari warisan tradisi generasi sebelumnya), tradisi pendidikan modern (sedikit banyak sekuler dan positivistik), dan paparan kehidupan modern (media, wacana).


Bagaimana menjembatani perbedaan latar belakang tersebut?


Saya selalu mencoba menjelaskan, istilah tazkiyatun nafs dan tashawuf sama-sama buatan manusia, dan meski tujuannya sama yaitu memperbaiki ihsan atau akhlak lahir dan akhlak batin, keduanya memiliki metode berbeda yang harus dipahami, serta perbedaan ini tidak sesederhana seperti yang dipikirkan para modernis bahwa yang satu lebih murni sementara yang lain sudah tercemar, yang satu rasional dan yang lainnya penuh mistik yang ketinggalan jaman.

Yang saya maksud perbedaan metodis adalah, tazkiyatun nafs mengandaikan akhlak dapat diperbaiki cukup dengan me-naqal (mendikte) teks-teks (quran, hadits, atsar) tentang akhlak dan ruhani, deskripsinya, definisi dan motivasi-motivasinya lalu sang objek silahkan menghadapi dunia luar dengan berbekal pengetahuan atas teks-teks tersebut. Pendekatan ini nyaris sangat murni kognitif dan terlepas dari struktur pemikiran islam tentang wujud. Sementara itu tasawuf menggunakan metode latihan, proses dibantu dengan media guru (tidak hanya teks), serta ada ijtihad-ijtihad baik bersifat metode latihan, perkataan-perkataan berisi pendetilan kondisi-kondisi serta pemikiran tentang hubungan antara perilaku dengan ruh, serta tingkatan-tingkatannya. Bagi saya posisi ijtihad tersebut tak terhindarkan sebagaimana di dunia pendidikan metode dan narasi berkembang, sebagaimana di dunia fiqh ada ijtihad-ijtihad baru. Tentu ada di antara ijtihad tersebut ada yang benar ada yang salah, tapi kita hanya bisa menyeleksinya dengan memasuki dunia ijtihad, menilai kasus per kasus, memberlakuan kriteria-kriteria ilmiah bukan kriteria generalis, yaitu memandang semua yang ada di kotak ijtihad sebagai sesuatu yang salah semuanya.

Jadi mengapa lalu tasawuf dan tarekat dalam sejarah ada, tidak terlepas dari kebutuhan adanya orang-orang yang ingin berproses menjadi baik tersebut, yang lalu disebut dengan murid (muriid "orang yang berkehendak"). Saya memberikan contoh, dalam kehidupan modern kita mengetahui di bidang karir, bisnis, gaya hidup, finansial, akademis, kesehatan, seni, penulisan, ada yang disebut dengan coaching atau mentor. Orang yang ingin mencapai kesempurnaan (master) dalam bidang yang ia geluti disarankan punya personal coaching atau mentor. Sebut saja orang yang ingin menurunkan berat badan. Ia tidak hanya cukup dengan membaca tentang aturan gizi makanan dan modul exercise, dia juga menyewa professional coach, mereka membuat pertemuan rutin, sang coach memberikan set latihan dan petunjuk menu untuk dipatuhi. Petunjuk dari coach ini tidak selalu sama dengan buku, ada yang muncul dari pengalaman pribadi. Yang diambil dari buku pun melalui seleksi dan apropriasi dari coach untuk si trainee. Meskipun bisa, umumnya trainee patuh, dia tidak keukeuh untuk mengubah-ubah petunjuk dari coach dengan kombinasi dari manual lain atau buku lain, misalnya, baik atas alasan kepraktisan, atau alasan dia tidak cukup ilmu.


Analogi tentang petunjuk praktis buatan para exercise coach itu adalah ijtihad dalam bentuk modul susunan dzikir untuk dirutinkan. Secara normatif, syariat menganjurkan bahwa semakin banyak dzikir semakin bagus, semakin dawam semakin bagus, sehingga lalu muncul pertanyaan: rangkaian dzikir seperti apa yang mau dirutinkan oleh murid? Apakah rangkaian dzikir tersebut bersifat universal? Terdapat beberapa teks hadits tentang dzikir untuk dibaca rutin pada waktu tertentu, tapi teks ini tidak banyak, dan yang terpenting adalah teks-teks itu terpisah, bukan satu kesatuan. Di sini tidak terhindarkan ada ruang ijtihad. Sebagian guru membuat rangkaian dzikir untuk diajarkan, sebagian diambilnya dari nash (manqul), sebagian ditambahnya dari tajribah atau teks yang ma'qul redaksinya. Secara umum berdoa/berdzikir dengan teks yang ma'qul diizinkan selama tidak menyelisihi syariat. Menurut saya lucu kalau serta merta fenomena ini ditolak. Apakah kita bisa ngotot misalnya meminta orang berdzikir dengan susunan kita yang kita labeli 100% sesuai Quran dan sunnah, misalnya dengan memberikan teks hishnul muslim? Hishnul muslim sendiri andaikan dari teks yang 100% sahih, susunannya bersifat ijtihadi. Melarang satupun modul susunan dzikir untuk dilazimkan karena khawatir jatuh pada bid'ah lazimiyah pun sesuatu yang ijtihadi, selain itu agak musykil dalam konteks kita mau mentarbiyah murid. Jadi ijtihad latihan dalam dunia tarbiyah nafs itu sesuatu yang niscaya.

Jika untuk bidang duniawi seperti itu kita mau membuat komitmen mengikuti petunjuk manusia, dan kita tahu petunjuk-petunjuk itu bervariasi dan pilihan tapi kita tunduk pada petunjuk dari sang coach, kenapa kita tidak bisa setidaknya memiliki "intellectual empathy" untuk memahami adanya realita tersebut jika tidak mau mengikuti? Hal ini tidak sulit sebetulnya jika kita belajar dalam posisi obyektif dan tidak melihat dengan kacamata antipati terlebih dahulu. Ketiadaan intellectual empathy sebetulnya penyakit modernisme atas tradisi dan ini secara tidak sadar diadopsi di dunia islam memang.

Tentu saja sama dengan dunia profesional tersebut, ada coach-coach gadungan, ada motivator-motivator inkompeten dan bahkan dari sekian yang bagus tidak semuanya cocok dengan kita sebagai trainee, baik itu kecocokan kesetujuan pandangan atau kecocokan teknis dan konteks, sehingga kita bisa memilih mana yang kita anggap pas, atau tidak memilih karena belum ketemu yang pas, atau simpel tidak memilih karena kita ingin berproses secara independen (otodidak).

Sebetulnya semua itu oleh Imam Ibn Taimiyah dengan jenius sudah diringkas di risalah "Al Adab wat Tashawwuf, bab Ilm as Suluk":

"Was shawab, annahum mujtahiduuna fii thaa'atillah, fa fiihim as saabiqal muqarrab bi hasbi itihadihi wa fihim al muqtashid aladzi huwa min ahlil yamiini. Wa fi kullin min as-shanfani man qad yajtahidu fa yukhthi', wa fiihim man yudznibu fa yatuubu aw laa yatuubu, wa minal muntasibiina ilayhim man huwa dzhalimun li nafsihi 'aashin li rabbihi"

[yang benar, mereka adalah kelompok yang berijtihad dalam upaya taat pada Allah sebagaimana kelompok selain mereka juga berijtihad dalam upaya taat pada Allah, maka di antara mereka ada kelompok terdepan yang didekatkan pada Allah sesuai hasil ijthadnya, dan di antara mereka ada kelomok pertengahan yang mereka ini termasuk 'kelompok kanan' (istilah qurani untuk menyebut ahli kebaikan). Dan di setiap kedua kelompok tadi, ada yang berijtihad lalu salah, ada yang berdosa lalu bertobat, ada pula yang tak bertobat atas dosanya. Dan ada juga yang termasuk mengafiliasikan diri pada mereka orang-orang yang zalim pada dirinya sendiri dengan bermaksiat pada Allah].

------------------
NB. Di atas saya menyinggung ijtihad berupa perkataan-perkataan deskriptif dan naratif tentang wujud dan ruh itu niscaya ada, itu saya yakini. Aqidah islam kita memahami akhlak itu bukan sekadar perilaku luar (behavior, act), bukan pula ekspresi dalam-dangkal (emosi, feeling), bukan pula sekedar pengetahuan teks (kognitif, intelektual). Kita memiliki aqidah, akhlak/behavior itu terkait dan manifestasi dari kondisi-kondisi hati, ruh, dan ruh itu wujud yang ghaib. Kita meyakini di bidang ini, guru yang kompeten mau tidak mau haruslah ia yang kompeten hatinya, ruhaninya bukan sekedar kompeten kognisinya, atau penguasaannya atas teks. Tak terhindarkan, memilih guru ruhani kita akan memberlakukan kriteria subjetif (ithmi'nan-nya hati kita terhadapnya) selain kriteria obyektif (iltizam yang bersangkutan pada syariat).

Dalam prosesnya, pengalaman-pengalaman dan penghayatan-penghayatan ruhani ketika diajarkan, dalam sebagian kondisi diceritakan dalam bentuk perkataan (atau tulisan), tidak selalu bahasa itu dapat mewakili yang ingin disampaikan sehingga terkadang disalahpahami (ditolak karena dianggap sesat, atau dipraktekkan secara salah sehingga menghasilkan kesesatan). Yang pertengahan, adil dan inshaf menurut saya adalah kita memiliki kadar husnuzhan (dibawa ke sangkaan yang baik daripada sangkaan yang buruk), tabayun (klarifikasi), tatsabbut (verifikasi) yang lebih banyak dalam membaca perkataan-perkataan/ekspresi-ekspresi terkait hal itu, di samping tetap menimbang semua itu dengan timbangan syariat dan hikmah. Pada akhirnya, kelompok yang ber-tasawuf dan yang tidak, semuanya ijtihad dalam upaya mentaati Allah. Semuanya punya risiko untuk, dan ditimbang dengan timbangan yang sama, atas kriteria: kesesuaian dengan kebenaran, tidak adanya ghurur atau fanatik kelompok, efektivitas memperbaiki murid dan pelayanannya pada umat secara luas.

12 August 2017

Ar-Rofi'i dan An-Nawawi, Dua Pendekar Ulama Syafi'iyyah

Ust. Muafa
21 Dzul Qo’dah 1438 H

Dalam mengajarkan ilmu fikih, Asy-Syafi’i tidak hanya menyampaikan hasil jadi ijtihadnya, tetapi juga menyajikan metode yang mengantarkan pada ijtihad tersebut.

Oleh karena itu, karya Asy-Syafi’i bukan hanya berisi pembahasan hasil jadi hukum fikih seperti kitab Al-Hujjah dan Al-Umm, tetapi juga karya yang terkait dengan sejumlah rumusan ushul fikih yang menjadi aspek epistemologis untuk menggali hukum fikih semacam kitab Ar-Risalah versi awal yang ditulis di Baghdad maupun Ar-Risalah versi revisi yang ditulis di Mesir.

Asy-Syafi’i bukan hanya memberi ikan, tetapi juga jala dan pancing.

Dengan warisan metodologi ilmu fikih yang jelas seperti itu, wajar jika murid-murid Asy-Syafi’i dan ulama Syafi’iyyah pada masa selanjutnya sanggup memecahkan persoalan-persoalan baru di masyarakat -yang belum pernah terjadi dan dibahas Asy-Syafi’i- dengan memakai metode istinbath Asy-Syafi’i.

Tidak heran, hanya dalam tempo kira-kira kurang dari 300 tahun semenjak wafatnya sang Imam,  sejumlah ulama syafi’iyyah telah berhasil mengkodifikasikan variasi ijtihad madzhab dengan tingkat kedalaman dan kekayaan yang luar biasa. Kira-kira abad 5 H lahirlah karya-karya besar yang menghimpun hampir semua wujuh (ijtihad-ijtihad madzhab) dengan kedua alirannya (Irak dan Khurasan) seperti Nihayatu Al-Mathlab (نهاية المطلب) karangan Al-Juwaini, Al-Hawi Al-Kabir (الحاوي الكبير) karangan Al-Mawardi, Bahru Al-Madzhab (بحر المذهب) karangan Ar-Ruyani dan lain-lain.

Hanya saja, untuk mengklaim pendapat madzhab Asy-Syafi’i dengan bertumpu pada kitab-kitab tersebut adalah tindakan yang tidak bijak. Hal itu dikarenakan para mujtahid madzhab syafi’iyyah tidak satu kata dalam menghasilkan satu produk ijtihad. Metodenya bisa sama, tetapi hasil akhirnya ternyata bisa beda. Riwayat ijtihad Asy-Syafi’i sendiri juga ditransmisikan tidak satu suara ketika membahas satu masalah tertentu. Ada muridnya yang meriwayatkan Asy-Syafi’i berpendapat A, sementara yang lainnya meriwayatkan berpendapat B. Hal ini menimbulkan problem bagi para awam yang memutuskan bermadzhab Asy-Syafi’i dan ingin memegang pendapat yang mu’tamad (resmi/sah). Ia akan bingung, “sebenarnya yang mana pendapat Asy-Syafi’i itu?”

Melihat problem madzhab seperti ini, maka bangkitlah Ar-Rofi’i (wafat 623 H) untuk melakukan penyelidikan dan penelitian besar-besaran. Targetnya adalah menemukan klaim yang sah bahwa sebuah ijtihad bisa dinisbatkan kepada Asy-Syafi’i atau sesuai dengan ushul fikih Asy-Syafi’i. Dari tangan beliau lahirlah dua kitab penting, yaitu Al-Muharror (المحرر) dan Fathu Al-‘Aziz (فتح العزيز) (disebut juga Asy-Syarhu Al-Kabir (الشرح الكبير).

Tetapi pekerjaan Ar-Rofi’I belum rampung.

Apa yang belum selesai dari Ar-Rofi’I dilanjutkan dan disempurnakan oleh An-Nawawi (wafat 676 H). Beliau melakukan penelitian serius terhadap kitab-kitab ulama syafi’iyyah mutaqoddimin, termasuk mengkaji karya-karya Ar-Rofi’I. Akhirnya, dari penelitian ini lahirlah karya-karya yang setiap karya itu dari sisi mutu dan bobot ilmiahnya setara dengan disertasi doktoral  di zaman sekarang. Lahirlah kitab-kitab bermutu seperti At-Tahqiq, Al-Majmu’, At-Tanqih, Roudhotu Ath-Tholibin, Minhaju Ath-Tholibin dan lain-lain.

Dua pendekar Syafi’iyyah ini akhirnya menjadi tumpuan ulama syafi’iyyah generasi selanjutnya jika ingin mengetahui mana pendapat Asy-Syafi’i yang valid.

Sebagai penghormatan atas jasa besar  beliau berdua, mereka digelari dengan sebutan Asy-Syaikhan (الشيخان) dalam madzhab Asy-Syafi’i. Gelar yang nampaknya jauh lebih berkelas daripada gelar profesor di zaman sekarang.

Ar-Romli berkata,
فتاوى الرملي (4/ 262)
مِنْ الْمَعْلُومِ أَنَّ الشَّيْخَيْنِ رَحِمَهُمَا اللَّهُ قَدْ اجْتَهَدَا فِي تَحْرِيرِ الْمَذْهَبِ غَايَةَ الِاجْتِهَادِ وَلِهَذَا كَانَتْ عِنَايَاتُ الْعُلَمَاءِ الْعَامِلِينَ، وَإِشَارَاتُ مَنْ سَبَقَنَا مِنْ الْأَئِمَّةِ الْمُحَقِّقِينَ مُتَوَجِّهَةً إلَى تَحْقِيقِ مَا عَلَيْهِ الشَّيْخَانِ وَالْأَخْذِ بِمَا صَحَّحَاهُ بِالْقَبُولِ وَالْإِذْعَانِ مُؤَدِّينَ ذَلِكَ بِالدَّلَائِلِ وَالْبُرْهَانِ

“…telah diketahui bahwa syaikhan (Ar-Rofi’I dan An-Nawawi) rahimahumallah telah bersungguh-sungguh dalam melakukan tahrir madzhab (menyeleksi ijtihad ulama syafi’iyyah agar sah dinisbatkan pada madzhab syafi’i) dengan kesungguhan luar biasa. Oleh karena itu, perhatian para ulama sejati dan rekomendasi para imam-imam muhaqqiq generasi sebelum kita diarahkan untuk meneliti apa yang disepakati syaikhan dan mengambil apa yang disahihkan oleh mereka berdua dengan menerima dan tunduk, seraya menjelaskan dalil-dalil dan argumentasinya…”

Rahimahumallahu rahmatan wasi’ah.

20 July 2017

Mendefinisikan dan Memetakan Ilmu dalam Islam


Dr. Syamsuddin Arif
Direktur Eksekutif INSISTS
Kredit: Matt Neighbors


Tiada yang lebih benar dapat dinyatakan tentang peradaban Islam daripada apa yang telah Professor Rosenthal amati dengan tepat: peradaban yang di dalamnya ilmu berjaya. Ilmu telah terbukti merupakan sebuah ‘istilah budaya yang unik’ sekaligus ‘daya benah yang paling efektif.’ Ilmu merupakan unsur utama yang telah memberikan peradaban Muslim bentuk dan coraknya yang khas. Bahkan, “tidak ada konsep yang telah berjalan sebagai suatu penentu dari peradaban Muslim dalam segala seginya sebagaimana ‘ilm [ilmu]”.[1] Tulisan ini akan memeriksa ulang konsep ilmu dalam Islam, dengan memusatkan perhatian pada bagaimana ilmu dipahami dan dipetakan oleh ulama dari beragam aliran pemikiran selama rentang ratusan tahun. Walau tulisan ini tidak mengklaim menawarkan sesuatu yang baru, tapi diharapkan akan menyumbang sesuatu atas debat yang berlansung tentang islamisasi ilmu.

 Mendefinisikan Ilmu

Mari kita mulai dengan bertanya, “Apakah ilmu?” Ketika dihadapkan pada pertanyaan ini, kebanyakan kita akan terusik, enggan menjawab, atau tidak peduli belaka. Ada yang berkata, ‘ilmu adalah apa yang kamu tahu.’ Tapi sesungguhnya ini bukanlah definisi, melainkan suatu tautologi—sekadar berkata bahwa ilmu adalah ilmu, dan sama sekali tidak menyatakan apapun. Oxford English Dictionary (yang pasti sudah disusun oleh sebuah tim penulis terdidik yang cakap) mendaftar tiga arti untuk kata “ilmu”: (i) informasi dan kecakapan yang diperoleh melalui pengalaman atau pendidikan; (ii) keseluruhan dari apa yang diketahui; (iii) kesadaran atau kebiasaan yang didapat melalui pengalaman akan suatu fakta atau keadaan.[2]

Coba lihat yang pertama. Dapatkah kita katakan bahwa ilmu adalah informasi? Kita mungkin menganggap begitu, tapi saya akan berbeda berdasarkan setidaknya dua alasan. Pertama, informasi dapat benar atau salah, jadi jika ilmu adalah informasi, maka ilmu mencakup informasi yang benar dan salah. Tapi bagaimana bisa mengatakan tahu sesuatu ketika ternyata hal itu adalah akibat misinformasi atau salah-informasi? Kedua, jika kita sepakat dengan Cambridge English Dictionary bahwa informasi adalah ‘fakta tentang suatu keadaan, orang, peristiwa, dst.,’ maka fakta setara dengan ilmu. Namun, fakta bukanlah ilmu dan ilmu tidak bisa dikacaukan dengan fakta. Bahkan kamus yang sama menyebutkan bahwa ‘fakta’ adalah “sesuatu yang diketahui telah terjadi atau wujud, terutama sesuatu yang dengannya suatu bukti itu wujud, atau yang mengandung informasi.”[3] Saya menulis miring kata ‘diketahui’ untuk menunjukkan adanya pendefinisian yang berputar-putar atasnya.

Demikian juga, untuk mendefinisikan ilmu dalam hal kecakapan dan keahlian adalah problematis. Misalnya, kita tahu persis apa itu pesawat udara. Kita memiliki ilmu tentang itu dalam arti bahwa jika kita diminta untuk menggambarnya akan dengan mudah dilakukan; atau jika diminta untuk menunjukkannya di sebuah banda udara akan mudah menunjuknya. Namun, ilmu semacam ini bukanlah keahlian. Mengetahui apa itu pesawat udara tidak berarti ahli tentangnya. Sebaliknya juga benar: keahlian menyiratkan ilmu, tapi ilmu tidak musti berarti keahlian. Dan jika pendidikan mengacu pada suatu proses mengenal dan menuai ilmu, defini itu hanya membawa kita kembali pada pertanyaan, ‘Apakah ilmu?’

Definisi kedua yang diberikan di atas – bahwa ilmu adalah keseluruhan dari apa yang diketahui – juga patut dipertanyakan. Jika ‘apa yang diketahui’ adalah ilmu, semata menyatakan bahwa ilmu adalah ilmu. Yang ketiga pun tidak lebih baik. Kesadaran (awareness) mungkin bisa timbul dari ilmu, tapi ilmu bukan kesadaran. Kita mungkin sadar akan nyamuk yang berada di sekitar kita; tapi itu tidak berarti sama dengan memiliki ilmu tentang nyamuk—kecuali jika kita seorang ahli biologi. Demikian pula, jika ilmu berarti kebiasaan (familiarity), maka kebiasaan menyiratkan ilmu. Namun seringkali tidak demikian halnya. Karena, kita dapati orang-orang yang cukup terbiasa dengan komputer tapi bukan pakar ilmu komputer dan maka mereka memiliki sedikit ilmu, jika memang memilikinya, tentang komputer.

Nyaris seribu tahun sebelum kelahiran Rasulullah SAW, seorang bernama Plato sampai pada definisi sebagai berikut. “Ilmu adalah keyakinan sejati yang dibenarkan” (μετὰ λόγου ἀληθῆ δόξαν), ujarnya dalam Theaetetus 201c8, salah satu Dialog-dialognya yang terkenal.[4] Definisi ini ringkas-padat tapi mendalam. Kita dapat memecahnya menjadi tiga unsur: (i) keyakinan; (ii) kebenaran dan (iii) nalar. Hal-hal ini adalah tiga syarat yang harus dipenuhi untuk proposisi apapun agar memenuhi syarat sebagai ilmu. Pertama-tama, sesuai nalar Plato, mengetahui adala ilmu. Jika kita tahu bahwa gula itu manis, kita sesungguhnya yakin pada keberadaan sesuatu yang disebut ‘gula’ dan kita yakin akan rasanya yang manis. Namun, ilmu bukanlah sekadar yakin. Hanya keyakinan-keyakinan yang benar dapat disebut ilmu. Keyakinan yang salah bukanlah ilmu, menurut Plato. Tapi bagaimana kita dapat membedakan keyakinan yang benar dari yang salah? Di sinilah berperan ‘logos’. Supaya memenuhi syarat sebagai ilmu, keyakinan kita harus didukung oleh nalar. Maksudnya, suatu keyakinan itu benar jika dan hanya jika secara nalar dibenarkan. Suatu keyakinan yang benar sebab suatu kebetulan tidak memenuhi syarat sebagai ilmu. Sesungguhnya, sebagaimana sering kita jumpai halnya, keyakinan yang minim bukti seringkali salah, meski keyakinan demikian ini mungkin terkadang malah benar. Definisi Plato ini sudah pernah mendapat sanggahan. Salah satu yang terkenal adalah dari Edmund L. Gettier. Dalam suatu tulisan ilmiahnya yang kini termasuk klasik, Gettier mencoba menyanggah definisi ini dengan menunjukkan keadaan dimana seseorang memiliki keyakinan yang benar yang dibenarkan hingga taraf tertentu, tapi tidak pada taraf yang dikehendaki Plato (mis., keyakinan seseorang yang benar semata karena kebetulan, ketika orang itu tidak punya bukti yang berhubungan dengan fakta sebenarnya, dan sehingga yakin akan kebenaran semata karena kebetulan), namun dalam keadaan demikian, semua orang sepakat bahwa orang itu memiliki ilmu.[5]

Tampaknya jelas bahwa ilmu tidak dapat didefinisikan tanpa menyertakan pendapat yang berputar-putar dan tautologi (yaitu menyatakan ilmu adalah ilmu).[6] Namun, ini tidak berarti bahwa kita tidak bisa membahas ilmu sama sekali. Barangkali karena alasan ini para filusuf tertarik mendefinisikan daripada membahas beragam jenis ilmu. Maka, Bertrand Russell membedakan ilmu akan sesuatu dan ilmu akan kebenaran, dan kemudian membagi-bagi apa yang ia sebut ilmu akan sesuatu menjadi dua bagian: (i) ilmu berdasarkan pemerian dan (ii) ilmu berdasarkan pengenalan.[7] Ada sejumlah hal yang kita tahu “tangan pertama” dan yang sebatas kita dengan atau baca – dengan kata lain hal-hal yang digambarkan pada kita. Sebagian besar ilmu kita masuk dalam kotak pertama. Kita tahu bahwa jarak yang memisahkan Matahari dari planet kita adalah sekitar 150 juta kilometer tidak berdasarkan pengenalan langsung melainkan penggambaran yang kita jumpai di buku-buku dan laporan ilmiah.

Ilmu Menurut Ulama

Selama berabad-abad ulama telah terus-menerus membahas ilmu secara intensif dan ekstensif seperti benar-benar diakui oleh siapapun yang mengenal baik melalui banyaknya kepustakaan yang membahas ini. Beragam definisi ilmu telah dikemukakan oleh para teolog dan fuqaha, filusuf dan para ahli bahasa.[8] Demi tujuan kita saat ini, akan dibahas empat defini ilmu berikut ini.

Yang pertama diajukan oleh seorang pakar filologi al-Raghib al-Isfahani (w.443/1060).[9] Dalam karyanya Kamus Istilah Quran ilmu didefinisikan sebagai “persepsi suatu hal dalam hakikatnya” (al-‘ilm idrak al-shay’ bi-haqiqatihi.[10] ini artinya bahwa sekadar menilik sifat (mis., bentuk, ukuran, berat, isi, warna, dan sifat-sifat lainnya) suatu hal tidak merupakan bagian dari ilmu. Mendasari definisi ini adalah suatu pandangan filosofis bahwa setiap zat terdiri atas essence dan accidents. Essence adalah apa yang membuat sesuatu sebagai dirinya, sesuatu darinya akan tetap satu dan sama sebelum, semasa, setelah perubahan, maka disebut sebagai hakikat. Ilmu adalah segala hal yang menyangkut hakikat yang tak berubah.

Definisi kedua diberikan oleh ‘Hujjat-al-Islam’ Imam al-Ghazali (w.505/1111)[11] yang memerikan ilmu sebagai “pengenalan sesuatu atas dirinya (ma‘rifat al-shay’ ‘ala ma huwa bihi.[12] Definisinya di sini, untuk tahu sesuatu berarti mengenali sesuatu itu sebagai adanya. Tiga hal di sini yang perlu diuraikan. Pertama, dengan menyatakan bahwa ilmu adalah pengenalan, Imam al-Ghazali tampak menekankan fakta bahwa ilmu merupakan masalah per orangan. Ilmu mewakili keadaan minda—yaitu, keadaan dimana sesuatu itu tidak lagi asing bagi orang tersebut karena dikenali oleh minda orang tersebut. Kedua, tidak seperti istilah idrak (digunakan dalam pendefinisian al-Isfahani) yang tidak hanya menyiratkan suatu gerakan nalar atau perubahan dari satu keadaan kepada keadaan lain (mis., dari keadaan jahil kepada keadaan berilmu) tapi juga menyiratkan bahwa ilmu datang sebagaimana adanya ke dalam minda seseorang dari luar, istilah ma’rifah dalam definisi Imam al-Ghazali mengiaskan kepada fakta bahwa ilmu selalu merupakan semacam penemuan-diri. Seseorang mungkin membandingkan hal ini dengan teori anamnēsis Plato, dimana pembelajaran dikatakan terdiri atas mengingat-ingat ide dhahiri yang sudah dimiliki. Poin lain yang relevan terdapat pada ungkapan ‘ala ma huwa bihi. Dalam pandangan Imam al-Ghazali, kita tidak dapat mengklaim memiliki ilmu sesuatu kecuali jika dan hingga kita tahu sesuatu itu ‘apa adanya.’ Sesungguhnya, sesuatu itu tampak tidak sebagaimana hakikatnya. Bumi tampak datar, bintang tampak kecil, matahari tampak mengelilingi bumi, dan seterusnya. Maka definisi ini menempatkan hal-hal ini sebagai dugaan, khayalan, dugaan, ilusi, halusinasi, mitos dan semacamnya di luar cakupan ilmu.

Suatu alternatif defini dikemukakan oleh seorang ahli logika Athir al-Din al-Abhari (w.663/1264). Baginya ilmu adalah menghampirnya ‘gambar’ suatu benda dalam fikiran (…).[13] demikian juga bagi Ibn Sina (w. 428/1037),[14] definisi ini menunjukkan bahwa untuk mengetahui sesuatu artinya membentuk suatu pemikiran tentangnya, memiliki gambaran sesuatu itu tergambarkan dalam benak. Dengan kata lain, mengetahui adalah melakukan konseptualisasi. Ilmu adalah representasi mental atau konsepsi suatu hal yang diketahui si orang yang mengetahui, menyebabkan terjadinya pembedaan moderen antara ‘ilmu konseptual’ dan ‘ilmu proporsional’ (yang, sayangnya, gagal dipertimbangkan definisi ini). Karena kita tahu tidak hanya apa sesuatu itu, tapi juga bagaimana, di mana, kapan, dan mengapa sesuatu itu begini dan begitu. Ilmu kita tentang ular, misalnya, biasanya tidak terbatas pada hanya memiliki gambarannya pada benak kita dan menjadikan kita awas kala menghadapinya, tapi juga disertai dengan serangkaian keyakinan tentang fakta bahwa ular adalah hewan ganas, agresif yang serangannya dapat mengakhiri nyawa seseorang.

Al-Sharif al-Jurjani (w. 816/1413) dalam bukunya Ta’rifat mendefinisikan ilmu sebagai tibanya minda pada makna sesuatu (…).[15] Definisi ini dipertimbangkan oleh ‘Ali Celebi Qinalizadeh (w. 979/1572) sebagai yang terbaik yang ia ketahui.[16] Definisi inilah dan yang lebih awal oleh Ibn Sina dan al-Abhari yang Professor Syed Muhammad Naquib al-Attas (l. 1935) telah sintetiskan dalam monografnya berjudul The Concept of Education in Islam. Menurutnya, ilmu paling tepat didefinisikan sebagai ‘tibanya makna dalam jiwa sekaligus tibanya jiwa pada makna’[17] (…). Satu hal yang menjadi jelas dalam definisi gabungan ini: ilmu adalah tentang makna. Benda, fakta atau peristiwa apapun, dikatakan diketahui oleh seseorang jika ia bermakna baginya. Jadi, kucing tidak tertarik kepada uang justru karena kucing tidak tahu makna uang; bagi hewan seperti kucing uang tidak bermakna. Makna uang tidak mencapai mindanya, dan juga sebaliknya minda kucing tidak memahami makna uang. Sekarang, makna mengungkapkan hubungan antara benda – maksudnya, bagaimana benda dan peristiwa tunggal saling berhubungan, menentukan definisi keragaman tempat, peran, fungsi, dst. dalam sistem manapun – linguistik, logika, ilmiah, sosial, politik, ekonomi, hukum, atau selainnya – mereka berasal. Semakin kita tahu tentang sesuatu semakin bermakna sesuatu itu bagi kita, dan maka semakin kita membicarakannya, menganalisanya secara rinci dan menjelaskannya secara panjang lebar. Dengan definisi ini al-Attas secara tepat menunjukkan fakta bahwa dalam proses kognisi minda “tidak semata resipien pasif seperti tabula rasa tapi juga yang aktif dalam arti mengatur dirinya menjadi siap untuk menerima apa yang ingin diterimanya” secara sadar serta secara selektif.

Tidak semua ulama setuju dengan definisi konseptual ilmu ini. Mahaguru sufi asal Andalusia Ibn ‘Arabi (w. 638/1240), misalnya, mendefinisikan ilmu sebagai penerimaan mental atas [ilmu tentang] segala hal dalam batas dirinya apa adanya (tahsil al-qalb amran-ma ‘ala hadd ma huwa ‘alayhi dhalika al-amr).[18] Baginya ilmu adalah sifat () yang dianggap berasal dari minda melalui penerimaan tersebut sehingga minda itu disebut yang mengetahui, dan segala hal disebut sebagai yang diketahui. Maka Ibn ‘Arabi menolak gagasan terkenal yang dikemukakan oleh para ahli logika yang menyatakan bahwa ilmu terdiri atas konsepsi mental (tasawwur) dan keyakinan (tasdiq). Ilmu bukanlah representasi mental dari benda yang dikenal, bukan pula makna (ma‘na) yang ditangkap oleh yang mengetahui. Dalam pandangannya, tidak segala hal yang dikenal dapat dipahami, tidak juga halnya bahwa setiap orang yang tahu membentuk suatu konsep dalam mindanya. Menurut para filusuf, konsepsi merujuk pada tindakan membayangkan dari si orang yang tahu, membentuk bayangan mental yang merepresentasikan benda yang ia kenal. Namun, Ibn ‘Arabi menyanggah bahwa representasi mental ini tidak lain hanyalah keadaan mental (halah) yang secara sementara digenggam oleh kecakapan imajinatif si yang tahu, meskipun ia tidak menolak adanya hal tertentu yang dikenal ilmu yang melampaui dan lepas dari pemahaman kecakapan imajinasi manusia.[19]

Memetakan ilmu

Urusan mengelompokkan ilmu dimulai di akhir masa kuno, terutama di abad ke-5 – 6 di Alexandria. Para sarjana Helenisme membangun suatu skema pengelompokkan karya-karya Aristoteles dimana suatu risalah dicocokkan dengan suatu bidang kajian. Meskipun tujuan awal pengelompokkan ini bersifat deskriptif dan pedagogis, hal tersebut memperoleh penerimaan universal dari generasi selanjutnya di seluruh belahan dunia yang dipengaruhi budaya Yunani.[20] Ini tidak berarti bahwa pengelompokkan tersebut murni merupakan temuan belakangan. Dalam karyanya Nicomachean Ethics Aristoteles sudah menggariskan perbedaan antara seni (téchne) dan sains (episteme), dimana yang terdahulu merujuk pada sisi kalkulatif (to logistikon) jiwa rasional manusia dalam menangani hal-hal yang berubah dalam kesehariannya, sementara yang belakangan pada sisi ilmiah (to epistêmonikon) ketika menangani entitas mutlak seperti kebenaran penting matematika.[21] Aristoteles juga membahas sains yang spekulatif (hai theoretikai) yang berbeda dari yang praktis (hai praktikai) dan yang produktif (hai poietikai). Menurutnya, sains spekulatif, juga dikenal sebagai filsafat teoritis (philosophíai theoretikaí) dapat dibagi menjadi matematika (kemudian dibagi lagi oleh Ammonius menjadi aritmatika, geometri, astronomi dan musik—yaitu quadrivium yang terkenal), fisika (ilmu alam) dan teologi, sementara sains praktis menjadi etika, ekonomi dan politik. Namun, dari semua sains teoritis, hanya filsafat utama (he prote philosophía) atau metafisika yang dianggap universal dan unggul.[22] Pengelompokkan ini diteruskan ke Abad Pertengahan, diadopsi oleh kaum para filusuf Nasrani, Muslim dan Yahudi, walau dengan penambahan dan perubahan yang penting[23], dan menjadi standar program pendidikan humaniora.

Misalnya, pengelompokkan demikian direproduksi oleh Abu Yusuf Ya‘qub ibn Ishaq al-Kindi (w. 252/865) dalam risalah berjudul Tentang jumlah tulisan Aristoteles dan yang diperlukan untuk memulai filsafat, jelas untuk tujuan pedagogis. Al-Kindi tidak hanya mendaftar karya-karya Aristoteles, membaginya menjadi empat kelompok (mis., logika, fisika, psikologi dan matematika); ia juga menyarankan mereka yang ingin mempelajari filsafat untuk memulainya dengan matematika yang ia anggap harus ada bagi nalar ilmiah. Selain itu, ia membuat perbedaan antara ilmu manusia (al-‘ilm al-insani) yang didapat dari kerja keras dan belajar giat dan ilmu ilahiah (al-‘ilm al-ilahi) yang ia samakan dengan nubuwah atau wahyu dari Allah.[24]

Al-Farabi-lah (w. 339/950) yang pertama kali dalam sejarah Islam berupaya secara sistemis dan dalam bentuk sebuah buku berjudul Ihsa’ al-‘Ulum seluruh sains sesuai pengelompokkan Aristoteles dan pada saat yang sama juga menerapkan tradisi budaya Islam dan Arab. Al-Farabi mengelompokkan sains menjadi lima kelompok, masing-masing, dengan sub-bagiannya, ia definisikan dan tujuannya dijelaskan. Pembagian pertama adalah sains bahasa (‘ilm al-lisan) atau linguistik, yang mencakup sains kata-kata (‘ilm al-alfaz) atau morfologi dan sains tata katanya (‘ilm qawanin [al-alfaz]) atau sintaksis alias tata-bahasa, sains tulisan (‘ilm qawanin al-kitabah) atau ortografi, sains bacaan (‘ilm qawanin al-qira’ah) atau fonologi, dan sains puisi (‘ilm qawanin al-ash‘ar) atau prosodi. Bagian kedua adalah logika (‘ilm al-mantiq), yang merangkum delapan sub-bagian yang membahas peristilahan dan konsep (al-maqulat), proposisi (al-‘ibarah), nalar silogistik (al-qiyas), nalar apoditik (al-burhan), nalar dialektik (jadaliyyah), sophistry (al-mughalatah), retorika (al-khitabah) dan perpuisian (al-shi‘r). Kelompok ketiga adalah matematika (‘ilm al-ta‘alim), yang terdiri atas tujuh bagian: aritmatika (‘ilm al-‘adad), geometri (‘ilm al-handasah), optik (‘ilm al-manazir), astronomi (‘ilm al-nujum [sic!]), musik (‘ilm al-musiqa), dinamika (‘ilm al-athqal) dan mekanika (‘ilm al-hiyal). Kelompok keempat adalah sains fisik dan metafisik (‘ilm al-tabi‘i wa al-‘ilm al-ilahiy). Fisika dibagi menjadi delapan bagian: (i) wacana umum tentang fisika (al-sama‘ al-tabi‘i) yang membahas prinsip-prinsip dan sifat-sifat benda alam, (ii) kosmologi (al-sama’ wa al-‘alam) (iii) kejadian dan kerusakan (al-kawn wa al-fasad), (iv) meteorologi (al-athar al-‘ulwiyyah), (v) mineralogi (al-ma‘adin), (vi) botani (al-nabat), (vii) zoologi (al-hayawan) dan (viii) psikologi (al-nafs). Metafisika dibagi menjadi tiga bagian: ontologi, aetiologi-epistemologi, dan henologi-teologi. Terakhir, di kelompok kelima terdapat tiga sains: politik (‘ilm al-madani), sains hukum Islam atau perhukuman Islam (fiqh), dan teologi (kalam).[25] Harus dicatat bahwa pengelompokkan al-Farabi sebagaimana al-Kindi dibuat sesuai dengan metoda didaktika, untuk diadopsi sebagai kurikulum pendidikan tinggi serupa dengan silabus dalam biografi Aristoteles (yang tersedia dalam bahasa Arab),[26] yang menandakan urutan yang benar dimana sains-sains itu harus dipelajari.

Seorang polymath (pakar serba-bisa) terkenal Ibn Sina (w. 428/1037) telah menawarkan tiga skema berbeda pengelompokkan dalam beberapa karyanya. Dalam risalah khusus berjudul Fi Aqsam al-‘Ulum al-‘Aqliyyah (tentang Pembagian Sains Intelektual) ia melakukan elaborasi pengelompokkan apa yang disebut sains intelektual atau rasional, yang sering dibedakan dari sains tradisional (al-‘ulum al-naqliyyah). Sebagaimana Aristoteles dan al-Farabi sebelumnya, Ibn Sina membagi sains menjadi teoritis (nazari) dan praktis (‘amali). Sasaran sains teoritis adalah untuk mendapatkan kebenaran dan kepastian (husul al-i‘tiqad al-yaqini) tentang hal-hal yang wujud secara objektif dan mandiri dari manusia dan perbuatannya. Maka, teologi dan metafisika termasuk dalam sains teoritis. Sains praktis memiliki tujuan yang beda; sains ini dipelajari tidak demi memperoleh kebenaran atau kepastian tentang dunia, melainkan untuk mendapat pandangan yang benar tentang hal-hal diperlukan manusia agar menjadi baik (yaitu, memiliki kehidupan yang baik sebagai individu, anggota keluarga dan warga). Singkatnya, sementara sains teoritis mengurus kebenaran (al-haqq), sains praktis adalah cara menemukan Kebaikan (al-khayr).

Sains teoritis memiliki tiga kelompok: yang terbawah adalah sains alami, di pertengahan sains matematika, dan metafisika dianggap yang tertinggi. Sains alami ditempatkan di bawah karena berurusan dengan hal-hal yang secara logis dan ontologis berkaitan dengan masalah dan perubahan fisik, seperti (sains) benda-benda bundar dan empat unsur alam serta serangkaian keadaan seperti gerak dan diam, alterasi dan transformasi, kejadian dan kerusakan, dan sifat-sifat yang menyebabkan keadaan ini semua. Sains matematika agak unik karena mengkaji entitas abstrak yang berkaitan dengan hal-hal yang ontologis walau tidak logis, seperti bilangan, bentuk dan bangun. Bedanya, apa yang dipelajari oleh metafisika sepenuhnya abstrak, entitas yang sekaligus secara ontologis dan logis mandiri dari zat dan perubahan, mis., esensi dan wujud, kesatuan dan keragaman, individualitas dan universalitas, kausalitas, dst. Sains praktis ada tiga macam: satu macam berurusan dengan kesejahteraan manusia sebagai pribadi, yang satunya dengan manajemen manusia sebagai anggota rumah tangga, dan terakhir, sebagai warga negara. Yang pertama dikenal dengan etika, yang kedua ekonomi, dan yang terakhir politik. Ibn Sina secara tersurat menyebut [Nicomachean] Ethics-nya Aristoteles dan Republic-nya Plato sebagai rujukan yang harus ada soal ini.

Ibn Sina memilah lebih jauh sains alamiah menjadi dua kelompok: ‘prinsip’ () dan ‘akibat’ (). Delapan sains termasuk dalam kelompok prinsip: (i) fisika; (ii) tentang langit dan alam semesta; (iii) kejadian dan kerusakan; (iv) tentang gejala meteorologis; (v) tentang mineal; (vi) tentang tumbuhan; (vii) tentang hewan; dan (viii) tentang jiwa/ruh. Sains alamiah akibat terdiri atas tujuh: (i) kedokteran; (ii) astrology (‘ilm ahkam al-nujum); (iii) fisiognomi (‘ilm al-firasah); (vi) oniromancy (‘ilm al-ta‘bir); (v) sains ajimat (‘ilm al-talisman); (vi) theurgy atau sulap (‘ilm al-niranjiyyat); dan (vii) alkimia (‘ilm al-kimya). Sains matematika mencakup empat bagian utama: (i) arimatika (‘ilm al-‘adad); (ii) geometri (‘ilm al-handasah); (iii) astronomy (‘ilm al-hay’ah); (iv) musik (‘ilm al-musiqa); masing-masing dibagi lebih lanjut: aritmatika menjadi seni hitung India dan aljabar; geometri menjadi geodesi (‘ilm al-masahah), rekayasa (‘amal al-hiyal ); optik (‘ilm al-manazir wa al-maraya), sains berat dan keseimbangan (‘ilm al-awzan wa al-mawazin), mekanika (‘amal jarr al-athqal) dan hidrolika (‘ilm naql al-miyah); astronomi menjadi seni membuat tabel astronomi dan kalender (‘ilm al-zijat wa al-taqawim); dan musik menjadi seni memainkan peralatan musik. Metafisika dibagi menjadi lima bagian utama: (i) kajian konsep umum (al-mawjudat al-‘ammah) atau ontolgy; (ii) prinsip dan dasar (al-usul wa al-maadi’) sains; (iii) tentang Kebenaran Awal (al-Haqq al-Awwal); (iv) tentang zat spiritual primer dan sekunder (al-jawahir al-ruhaniyyah); (v) tentang hubungan antara zat langit dan bumi. Tiga bagian akibat mencakup penyelidikan atas sifat dan modalitas wahyu (al-wahy) dan inspirasi (al-ilham), gejala peristiwa ajaib (karamat wa mu‘jizat), sifat kenabian (nubuwwat), angelogy dan eskatologi (‘ilm al-ma‘ad).[27] Pada bagian pengantar pada Ilahiyyat (Metafisika) karyanya al-Shifa’ Ibn Sina membagi sains menurut status ontologis hal-hal yang dikaji, sesuai dengan dua kelompok dimana realitas yang mencakup semua hal yang wujud (al-ashya’ al-mawjudah) dibagi-bagi, yaitu: (i) yang wujud akibat selain atau di luar perbuatan dan kehendak kita (laysa wujuduhu bi-ikhtiyarina wa fi‘lina) dan (ii) yang wujud akibat perbuatan dan kehendak kita (ashya’ wujuduha bi-ikhtiyarina wa fi‘lina).[28]

Di antara para ushuliyyun yang memberikan sumbangsih atas tema bahasan kita, dua yang layak kita sebut yaitu Ibn Hazm (w. 456/1064) dan Imam al-Ghazali (w. 505/1111). Seorang ulama produktif asa Andalusia, Ibn Hazm dikenal sebagai seorang faqih alih-alih filusuf. Konsepnya tentang ilmu antar lain dijabarkan di Tawqif, sebuah risalah yang ditulis menanggapi pertanyaan yang dialamatkan padanya tentang status sains-sains kuno (‘ulum al-awa’il) dan revealed knowledge (‘ilm ma ja’at bihi al-nubuwwah). Ia menegaskan bahwa yang terdahulu, terdiri atas filsafat dan logika, merupakan ilmu yang bermanfaat dan utama karena mengandung ilmu tentang alam dan menawarkan analisis konsesptual atas hal-hal menjadi genera dan spesies, universal dan partikular, substances dan accidents, sembari menuntun kepada kebenaran dengan memberikan bukti-bukti rasional. Demikian juga dengan matematika, kedokteran, dan astronomi. Namun, seberapapun bermanfaatnya sains-sains ini, Ibn Hazm enggan berkomentar, tidak dapat mengalahkan keunggulan revealed knowledge yang Nabi teruskan kepada kita. Ini karena yang terakhir (revealed knowledge) memberikan apa yang ruh manusia perlukan demi kebahagiaan dan keselamatannya baik di dunia maupun di akhirat.[29] Dalam Taqrib-nya Ibn Hazm menyebutkan dua-belas sains utama yang ia anggap bermanfaat bagi manusia setiap saat dan yang menjadi asal sains-sains lainnya: (i) sains-sains al-Qur’an, (ii) sains-sains Hadits, (iii) fiqh, (iv) logika, (v) tata bahasa, (vi) leksikografi, (vii) puisi, (viii) sejarah, (ix) kedokteran, (x) matematika, (xi) geometri, dan (xii) astronomi. Namun, dalam kitabnya Maratib al-‘ulum, ia mengembangkan pengelompokkan sains-sains dari segi suatu program kajian yang dimulai sejak usia 5 tahun dengan bahasa dan al-Qur’an dan berlanjut hingga penguasaan teologi rasional, dimana murid akan dilatih untuk membuktikan apakah dunia ini diciptakan atau tidak, dan selanjutnya menanyakan apakah nubuwah itu mungkin atau tidak, dan mengarah pada pengakuan keberadaan Tuhan dan penerimaan perlunya dan sahihnya nubuwah Nabi Muhammad SAW.[30]

Beralih ke Imam al-Ghazali, kita jumpai pengelompokkan ilmu yang cukup berbeda. Dalam karya monumentalnya Ihya’ ‘Ulum al-Din (Kebangkitan Ilmu-ilmu Agama), bab pertamanya diperuntukkan secara panjang lebar membahas tentang ilmu, Imam al-Ghazali memperkenalkan dua kelompok besar ilmu: sains-sains pratek keagamaan (‘ilm al-mu‘amalah) dan sains-sains pengungkapan ruhiyah (‘ilm al-mukashafah). Yang pertama merujuk pada ilmu yang berurusan dengan prasyarat untuk memperoleh yang kedua. Sains-sains pengungkapan ruhiyah adalah apa yang dibicarakan oleh Nabi secara tersirat dan singkat melalui perlambang dan kiasan (bi al-ramz wa al-isharat ‘ala sabil al-tamthil wa al-ijmal). Sains-sains pratek keagamaan dibagi menjadi sains eksoterik (zahir), mencakup kegiatan fisik seperti ritual dan kebiasaan, dan sains esoterik (batin), berhubungan dengan kegiatan ruhiyah hati dalam hubungannya dengan dunia malaikat di luar persepsi inderawi.[31]

Selanjutnya, Imam al-Ghazali berdasarkan sebuah hadis (yang menyatakan bahwa menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim) telah mengelompokkan ilmu menjadi fard ‘ayn (tugas perorangan) dan fard kifayah (kewajiban kelompok). Yang pertama menunjukkan sains-sains yang setiap Muslim yang waras harus ketahui terkait dengan persyaratan dan larangan agama (al-‘ilm bikayfiyyat al-‘amal al-wajib fi‘luhu aw tarkuhu), sedangkan yang kedua mencakup sains-sains yang penguasaannya wajib hukumnya bagi suatu masyarakat Muslim secara keseluruhan tidak tidak mengikat bagi tiap individu Muslim karena dapat dilaksanakan oleh sebagian saja dari mereka. Ilmy yang masuk kelompok kedualah (fard kifayah) yang amat panjang lebar dijelaskan oleh Imam al-Ghazali. Pertama, ia membaginya menjadi sains-sains agama (shar‘iyyah), diambil dari dan berkisar tentang Wahyu Allah dan Sunnah Rasulullah, dan yang non-agama (ghayr shar‘iyyah), diperoleh melalui nalar, pengalaman/percobaan, dan konsensus. Kemudian, sebagaimana sains-sains agama dibagi menjadi yang terpuji dan yang tercela, demikian juga yang non-agama dibagi menjadi tiga bagian: yang terpuji, yang tercela dan yang diperbolehkan.

Pembahasan kita tentang pengelompokkan ilmu dalam Islam tidak akan sempurna tanpa melihat karya-karya terkait dari al-Suyuti (w. 911/1505) dan Tashköprüzadeh (w. 968/1560). Namun, karena ruang dan waktu yang terbatas, kita tidak akan membahas pengelompokkan ilmu mereka.

Kesimpulan

Kita tidak dapat melebih-lebihkan fakta bahwa peradaban Muslim dibangun di atas dan dipenuhi oleh ilmu. Tulisan di atas dimaksudkan untuk memberikan sekelumit besarnya rasa ketertarikan ulama yang telah menunjukkannya dalam pembicaraan yang serius tentang ilmu dan mengungkapkan sikap umum mereka terhadap sains. Apakah untuk tujuan didaktik atau pedagogik, bibliografis, filosofis, atau agama, ulama mulai melakukan katalogisasi dan pengelompokkan bermacam disiplin sejak abad 3 Hijriah/9 Masehi. Tidak diragukan lagi memiliki kesungguhan pada prinsip-prinsip dasar Islam, namun ulama salaf cukup berwawasan luas untuk menyambut sains-sains kuno dan asing – sikap terbuka yang secara fasih diungkapkan oleh al-Kindi: “Kami kita seharusnya malu menghargai kebenaran dan memperolehnya dari mamapun asalnya, bahkan jika itu berasal dari ras yang jauh dan bangsa yang berbeda dari kita.”[32] Dihadapkan pada sedemikian banyak rangkaian ‘ulum al-awa’il, ulama mampu menyatukan sains-sains yang diterima dari Yunani, Persia dan India seperti kedokteran, astronomi dan matematika ke dalam skema epistemik Islami. Proses penyaringan dan pemilahan, pencetakan-ulang dan pemurnian sebelum asimilasi dan apropriasi bahan-bahan keilmuan asing yang panjang dan rumit inilah yang disebut Islamisasi. Sesungguhnya, mengingat sedemikian banyaknya jumlah ilmu dan informasi yang kita dapatkan saat ini, pentingnya mendefinisikan dan memetakan ilmu tidak lagi perlu dianggap berlebihan, kecuali kita salah mengira tembaga sebagai emas dan kesesatan sebagai kebenaran. (***)

[1] Lihat Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant, edisi baru (Leiden: E.J. Brill, 2007), 2 dan 340-1

[2] Online Oxford Dictionary, http://oxforddictionaries.com/view/entry/m_en_gb0447820 (ed. April 2010).

[3] Cambridge English Dictionary (London)

[4] Kata perkata yang Plato berikan pada lisan Theaetetus adalah sebagai berikut: “Ia berkata bahwa ilmu adalah pendapat yang benar demi nalar (ἔφη δὲ τὴν μὲν μετὰ λόγου ἀληθῆ δόξαν ἐ$ιστήμην εἶναι)”; cf. Terjemahan Latinnya: “… inquit autem opinionem veram cum ratione scientiam esse.”

[5] Lihat Edmund Gettier, “Is Justified True Belief Knowledge?” Analysis 23 (1963), 121-123

[6] Bahwa ilmu itu dapat didefinisi telah dibahas, misalnya, oleh Imam al-Ghazaly dalam karyanya al-Mustasfa (Cairo, 1356/1937), 1:17

[7] Lihat Bertrand Russell, The Problems of Philosophy (London: Routledge, 1929).

[8] Daftar yang panjang dan bagus tentang ilmu oleh ulama diberikan oleh Franz Rosenthal dalam Knowledge Triumphant, 52-69.

[9] Untuk biografi al-Isfahani, lihat: al-Dhahabi, Siyar A’lam al-Nubala’ 18: 120; al-Safadi, al-Wafi bi al-Wafayat, 13:45; al-Dawudi, Tabaqat al-Mufassirin, 2:329; al-Suyuti, Bughyat al-Wu’at, 2:297; Yasien Mohammed, The |Path to Virtue (Kuala Lumpur: ISTAC, 2006)

[10] Al-Isfahani, Mufradat Alfaz al-Qur’an, ed. Safwan ‘A. Dawudi (Damaskus, Dar al-Qalam, 1412/1992), 580.

[11] Tentang kehidupan al-Ghazali, lihat: Ibn Khaldun, Wafayat al-A’yan, 4:216-19; al-Dhahabi, Siyar A’lam al-Nubala’ 19:322-46; al-Safadi, al-Wafi bi al-Wafayat, 12:74-77; Ibn Kathir, Tabaqat Fuqaha’ al-Shlafi’iyyah, 2:533-9. Tentang karya ilmiahnya, lihat ‘Abd al-Rahman Badawi, Mu’allafat al-Ghazali (Kuwait: Wakalt al-Marbu’at, 1977).

[12] Imam al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din (Beirut: Dar al-Fikr, 1420/1999), 1:33.

[13] Athir al-Din al-Abhari, Tanzil al-Afkar fi Ta‘dil al-Asrar, Ms. Laleli 2562 (tertanggal 686/1287), beg.; Ms. Aya Sofya 2526, fol. 13a, merujuk kepada al-Talwihat karya al-Suhrawardi, sebagaimana dicatat oleh Rosenthal, Knowledge Triumphant, 61 (note 82).

[14] Ibn Sina, al-Ta‘liqat, ed. ‘Abd al-Rahman Badawi (Kuwait),117: “al-‘ilm husul surat al-ma‘lumat fi al-nafs.”

[15] Al-Jurjani, al-Ta‘rifat (Beirut: Maktabat Lubnan, 1985), 161

[16] Rosenthal, Knowledge Triumphant, 61 (note 82).

[17] S.M.N. al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 14.

[18] Ibn ‘Arabi, al-Futuhat al-Makkiyyah, ed. Osman Yahia (Cairo: al-Maktabah al-‘Arabiyyah, 1985), 2:82.

[19] Ibn ‘Arabi, al-Futuhat, 1:92 and 1:250. Cf. Syamsuddin Arif, “Sufi Epistemology: Ibn ‘Arabi on Knowledge (‘ilm),” dalam Afkar (1999), 82-83.

[20] Lihat Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition (Leiden: E.J. Brill, 1988), 150.

[21] Lihat Nicomachean Ethics, vi. 1139a5-15 dan 1139 b14–1141 b8.

[22] Lihat Metaphysics, E (Book VI), vi. i 1–12.

[23] Lihat Dimitri Gutas, “Paul the Persian on the Classification of the Parts of Aristotle’s Philosophy: A Milestone between Alexandria and Baghdad,” dalam Der Islam 60 (1983): 255-67; J. Jolivet, “Classifications of the Sciences,” dalam Encyclopedia of the History of Arabic Sciences, ed. R. Rashed and R. Morelon (London: Routledge, 1996), 3:1008-1025; Harry A. Wolfson, “The Classification of Sciences in Medieval Jewish Philosophy,” dalam Studies in the History of Philosophy and Religion, ed. I Twersky and G.H. Williams (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1973), 1:493-545.

[24] See Rasa’il al-Kindi al-Falsafiyyah, ed. M. ‘Abd al-Hadi Abu Ridah (Cairo, 1369/1950), 363-84.

[25] Al-Farabi, Ihsa’ al-‘Ulum, ed. Cf. Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur,)

[26] Lihat Abu Sulayman al-Sijistani, Siwan al-Hikmah, ed. ‘Abd al-Rahman Badawi (Teheran, 1974), 135-6.

[27] Ibn Sina, “Risalah fi Aqsam al-‘ulum al-‘aqliyyah,” dalam Tis‘ Rasa’il fi al-Hikmah wa al-Tabi‘iyyat (Cairo: Matba‘ah Hindiyyah, 1326/1908), 104-18; diterjemahakan ke Bahasa Perancis oleh Georges C. Anawati, “Les divisions des sciences intellectuelles d’Avicenne,” dalam Mélanges de l’institute domincain d’études orientales (MIDEO) 13 (1977), 323-35.

[28] Cf. Michael E. Marmura, “Avicenna on the Division of the Sciences in the Isagoge of his Shifa’,” Journal for the History of Arabic Science 4 (1980), 239-51. Pengelompokkan yang kurang lebih sama juga didapati dalam karya Ibn Sina, Mantiq al-Mashriqiyyin (Cairo: Matba‘at al-Mu’ayyad, 1328/1910), 5.

[29] Ibn Hazm, al-Tawqif ‘ala Shari‘ al-Nujah bi-ikhtisar al-Tariq, dalam Rasa’il Ibn Hazm, ed. Ihsan ‘Abbas (Kairo,

1952), 43-55.

[30] Ibn Hazm, Maratib al-‘ulum dalam Rasa’il Ibn Hazm, ed. Ihsan ‘Abbas (Kairo, 1952), 70-72.

[31] Imam al-Ghazali, Ihya’ ‘ulum al-din, 1:9 & 26.

[32] Al-Kindi, Fi al-Falsafah al-Ula dalam Rasa’il al-Kindi al-Falsafiyyah, ed. M. ‘a. Abu Ridah (Kairo, 1950-53), 1:130, diterjemahkan dalam Alfred Ivry, al-Kindi’s Metaphysics (New York: SUNY Press, 1974), 58.

23 May 2017

Makar: Konspirasi Atau Rekayasa Sosial?


Oleh: Ust. Priyo Djatmiko 21/05/2016 15:16

Saya khawatir kebiasaan mudah percaya, suka menyebarkan teori-teori konspirasi bahkan pikirannya tersibghah (tercelup, tenggelam) dalam cara berpikir konspiratif, itu akan jadi bid'ah fikriyah, bid'ah sulukiyah, bid'ah manhajiyah bahkan bid'ah aqaidiyah sebagian umat Islam. Ini dengan tidak atau belum mempertimbangkan dampak buruk tafarruq (perpecahan), fitnah (fitnah dalam bahasa indonesia atau haditsul ifki atau buhtan dalam bahasa Arab) utamanya ketika dijadikan senjata untuk menyerang lawan pemikiran, baik individu ke individu maupun kelompok ke kelompok. Tanpa mempertimbangkan itu pun sebetulnya bahaya kecanduan teori konspirasi sudah berbahaya sebab ia anti ilmu meski kadang menggunakan argumen setengah ilmu alias pseudo ilmiah. Selain anti ilmu ia juga berbahaya bagi mentalitas, menyebarkan mental korban, tidak berdaya dan korban tak berdaya seringkali justru meledak berlebihan dalam melawan seperti hewan yang terpojok oleh pemburu akan nekad melawan dengan cara apa saja yang instinktif bukan cara rasional.

Sebagian teman-teman mengajukan "makar" dalam Al Quran sebagai bukti pendukung adanya waqi (fakta) konspirasi dan atau teori konspirasi. Konspirasi memang mungkin ada dan beberapa ada, tapi itu lebih tepat di Al Quran sebagai "najwa"; bisik-bisik atau pembicaraan rahasia yang sifatnya sangat temporer, lokal dengan dampak terbatas. Teori konspirasi menuntut kita anti pengetahuan dan otoritasnya terhadap semua kejadian, fakta dan perkembangan. Berbeda dengan skeptisisme yang mendapat tempat dalam falsafah ilmu sebab skeptis bukan nihilisme, skeptis berbasis pada kritisisme yang punya basis, menghasilkan tawaquf (menunda kesimpulan, pending, tahu bahwa dirinya belum tahu), penganut konspirasi menyimpulkan yang berlawanan dan tidak melakukan pengujian baik yang ia yakini (konspirasi) maupun yang tidak ia yakini.

Jika mau dikaji tentang kosakata makar, dalam Quran secara bahasa, konteks dan terminologi, ia lebih dekat pada social engineering (rekayasa sosial). Orang lain melakukan social engineering, kita melakukan social engineering dan Allah meridhai milik orang beriman yang baik tujuannya. Social engineering lebih baik sebab ia lebih visioner, menuntut pemikiran intelektual dari individu muslim dan pemikiran kolektif dari umat, lebih berdaya, fastabiqul khayrat, lebih introspektif, lebih terbuka pada berbagai macam perkembangan ilmu sosial dan sains, lebih lurus secara manhaj dalam memahami sains, menghindarkan perpecahan yang tidak perlu dan tidak harus sebab ia bisa mengenali latar belakang peristiwa, memahami perencanaan orang lain tidak harus diletakkan pada moralitas "kafir" atau "jahat", tapi pada kepentingan dan keterpaksaan individu dalam kungkungan sistem dan karenanya kita bisa berdialog dengan lebih baik dengan mencari jalan win-win solution atau menguji etika etika pengambilan keputusan. Cukup jelas, saat ini umat Islam sangat lemah melakukan social engineering, sehingga kita menjadi objek dan tak punya andil terhadap perubahan dunia.

Lebih penting lagi, sebagian teori konspirasi yang laku beredar di kalangan muslim saat ini disuplai oleh polemik-polemik konspirasi dari kalangan religius fundamentalis di Barat khususnya Amerika, seperti teori flat earth, vaksinasi, fake moon landing dan lain sebagainya. Jangan-jangan ini tasyabbuh bil kuffar yang diingatkan nabi pada umatnya. Minimal gunakanlah teori dengan bijaksana, bahwa teori adalah teori. Silahkan didengar tapi ia perlu diuji. Agar kita, "alladzina yastami'unal qawla fayattabi'una ahsanah"

Komentar saya:

Konspirasi? Tidak dinafikan itu memang ada, contohnya adalah konspirasi bola lampu (Anda bisa cari sendiri). Tapi menyibukkan diri dengan secara gegabah terus menerus pada konspirasi, tidak sehat bagi perkembangan cara berpikir. Itu catatan penting kalau saja kita mau kembali membangun masyarakat yang jadi scientific society seperti khairul qurun-nya masa para shahabat, tabi'in dan tabi'it itba tabi'in.

21 May 2017

Soal POLITIK ISLAM dan 'ISLAM POLITIK'


Oleh: Ust. Syamsuddin Arif, Direktur Eksekutif INSISTS Jakarta12/05/2017

Sebuah kesimpulan menarik telah dikemukakan oleh Bernard Lewis, guru besar di Universitas Princeton, Amerika Serikat, bahwa salah satu ciri yang membedakan agama Islam dengan agama Yahudi dan Kristen adalah perhatian besar dan keterlibatan langsung yang ditunjukkannya terhadap tata kelola negara dan pemerintahan, hukum, dan perundangan: “The religion of Islam, in contrast to both Judaism and Christianity, was involved in the conduct of government and the enactment and enforcement of law from the very beginning”, tulisnya dalam buku Islam: The Religion and the People (New Jersey: Pearson, 2009), hlm. 81.
Dengan kata lain, Islam adalah satu-satunya agama yang sangat peduli pada politik. Namun, bukan politik sebagai tujuan, melainkan politik sebagai sarana mencapai tujuan yang lebih tinggi, lebih agung, dan lebih mulia, yaitu kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat. Itulah sebabnya Nabi Muhammad berdakwah, berdagang, dan berperang. Pun para sahabat beliau yang melihat kekuasaan politik sebagai amanah (trust) dan fitnah (test). Simaklah pidato pelantikan mereka sebagai khalifah berikut ini.

Abu Bakar as-Shiddiq berkata, “Sesungguhnya aku telah dikalungi tanggung jawab yang besar (laqad qullidtu amran ‘aziman), padahal aku bukanlah yang terbaik di antara kalian. Maka dukunglah aku jika tindakanku benar, dan betulkan jika aku salah. Patuhilah aku selagi aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Namun, jika aku menyalahi perintah Allah, maka aku tidak perlu kalian patuhi!” (Lihat: Ibn Sa‘d, at-Ṭabaqāt, ed. Iḥsān ‘Abbās, cetakan Dār Ṣādir Beirut, 1957 -1960, jilid 3, hlm. 182-3).

Terlepas dari segala keterbatasan dan kesederhanaannya, apa yang telah digariskan dan dijalankan oleh Rasulullah ataupun para sahabat (khalifah-khalifah sesudahnya) merupakan konseptualisasi dan implementasi dari apa yang dikehendaki Allah SWT. Dan inilah yang kita maksud dengan ‘politik Islam’, dalam arti negara berpandukan agama dan pemerintahan berasaskan hukum Tuhan pencipta jagad raya, langit dan bumi, termasuk manusia. Kita boleh menyebutnya ‘al-madīnah al-fāḍilah’ (the virtuous polity) atau ‘as-siyāsah as-syar‘iyyah’ (state governance based on Divine Law) —meminjam ungkapan al-Fārābī dan Ibn Taymiyyah.

Kajian 'Politik Islam'

Meskipun Islam dan politik telah menyatu sejak awal, di mana Nabi Muhammad SAW bukan sekadar utusan Allah dan pemimpin agama, melainkan juga pemimpin bangsa dan negara, sebagai 'leader' dan 'ruler', kajian politik Islam secara ilmiah, teoritis, dan sistematis baru bermula pada kurun kedua Hijriah. Secara umum, pemikiran politik Islam merupakan sintesis dan amalgamasi dari konsep-konsep kepemimpinan yang dikenal dalam masyarakat Arab pra-Islam dan ajaran Islam itu sendiri (yakni al-Qur'an dan Sunnah) dengan tradisi bangsa-bangsa yang ditaklukkan, seperti Syria (Romawi), Mesir, Persia, dan Mongol.

Sejauh ini, karya pertama yang diketahui secara sistematis membahas ketatanegaraan dari perspektif Islam adalah bab politik dari kitab as-Siyar al-Kabīr yang ditulis oleh Muḥammad ibn al-Ḥasan as-Syaybānī (w. 189/804), seorang ulama besar Irak abad kedua/sembilan. Ini diikuti oleh bagian pertama (kitab as-Sulṭān) dari ‘Uyūn al-Akhbār karya Ibn Qutaybah (w. 276/885) dan bagian pertama dari kitab al-‘Iqd al-Farīd karya Ibn ‘Abdi Rabbih.

Kajian dan pemikiran politik Islam dapat dipetakan dalam tiga wilayah besar. Pertama, kajian tradisional-normatif, yakni pembahasan konsep-konsep dan norma-norma perpolitikan yang diuraikan oleh para ulama. Termasuk dalam kategori ini, tiga kitab yang kita sebut di atas. Namun, sebenarnya wilayah ini pun masih bisa dipilah lagi menjadi beberapa kategori: (i) ulama ahli telogi atau mutakallimūn dari golongan Ahlus Sunnah (al-Asy‘arī, al-Bāqillānī, al-Baghdādī) maupun Mu‘tazilah (al-Jāḥiẓ dan al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār) yang masing-masing menyediakan satu bab khusus dalam karyanya terhadap masalah imamah atau kepemimpinan, apakah ia wajib atau tidak, dengan proses pemilihan ataukah penunjukan, dan sebagainya; (ii) ulama ahli hadis atau muḥadditsūn (seperti Imam al-Bukhārī, Muslim, at-Tirmidzī) yang juga menaruh perhatian terhadap hadis-hadis politik (contohnya ‘kitab al-imārah’ dalam Ṣaḥīḥ Muslim).

Selanjutnya (iii) ada ulama ahli hukum atau fuqahā’ (al-Māwardī, al-Farrā’, al-Juwaynī) yang masing-masing menulis buku khusus untuk mengupas fikih politik dan pemerintahan; (iv) ulama pujangga atau udaba’ (Ibn al-Muqaffa’, al-Jahsyiyārī, at-Tsa‘ālabī, at-Ṭarṭūsyī); (v) ulama ahli filsafat atau falasifah (al-Fārābī, Ibn Sīnā, Ibn Rusyd) yang mewakili tradisi pemikiran atau filsafat politik Yunani kuno (Plato dan Aristoteles). Ciri khas dari kajian jenis ini adalah banyaknya aturan dan anjuran yang perlu dipahami dan dilakukan oleh seorang pemimpin agar dihormati oleh bawahannya, dicintai oleh rakyatnya, dan disegani oleh musuh-musuhnya. Walaupun juga diselingi contoh-contoh kasus, kebanyakan merupakan pernyataan-pernyataan induktif-normatif yang masih bisa dan perlu dikukuhkan oleh penelitian empiris atau bahkan uji-coba lapangan.

Kedua, kajian tekstual-historis yang merupakan pendekatan para sarjana Barat atau ahli ketimuran (orientalis). Politik Islam dikaji sebagai pusaka ilmiah (intellectual heritage) tak ubahnya seperti artifak kuno dikaji oleh ahli arkeologi. itu masa lalu, sudah lama mati, dan kini tinggal sejarah. Politik Islam sebagai aksi, proses, regulasi, ataupun diskursus, semuanya menarik dikaji sebagai produk sejarah yang mungkin masih relevan dan mungkin tak relevan sama sekali dengan situasi sekarang ini. Kalau memang relevan, mengapa tak ada satupun negara Islam saat ini yang mengacu padanya? Namun jika tidak relevan sama sekali, lantas untuk apa semua itu dikaji? Jawaban para sarjana orientalis untuk pertanyaan ini cukup beragam; dari sekadar memenuhi dahaga intelektual dan memperlihatkan wawasan budaya, hingga untuk mendapatkan cermin bagi merumuskan kebijakan luar negeri dalam hubungan dengan negara-negara Islam.

Sebagai contoh pendekatan tekstual-historis ini adalah kajian pemikiran politik Ibn Taymiyyah oleh Henri Laoust, kajian sistem administrasi negara zaman Abbasiyah ole Ann Lambton, kajian naskah kitab Ibn Rusyd yang menguraikan Politeia (Respublica) Plato oleh Erwin Rosenthal, kajian naskah kitab Ārā’ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah karya al-Fārābī oleh Richard Walzer di Oxford, dan masih banyak lagi. Pendekatan ala orientalis ini sebenarnya bermanfaat sekali untuk mengenalkan kita pada khazanah pemikiran politik yang dimiliki umat Islam. Akan tetapi di sisi lain, ia sering kali juga membawa orang menerawang jauh di alam utopia. Akibatnya, timbul perasaan miris ketika melihat kenyataan tidak seindah pengharapan.

Ketiga, kajian sekuler-modernis yang mulai muncul sejak Dunia Islam dijajah dan dikuasai oleh bangsa-bangsa Eropa. Pendekatan ini bertolak dari anggapan atau bahkan keyakinan —yang sesungguhnya boleh jadi keliru – bahwa ketidakmampuan umat Islam menghadapi kolonialisme Eropa disebabkan oleh sistem politiknya yang lemah, dan ini dikarenakan oleh ajaran Islam yang tidak mengenal pemisahan antara agama dan negara. Maka maraklah gagasan sekularisasi sebagaimana dipopulerkan oleh Kemal Ataturk.
Tokoh-tokoh cendekiawan pun hanyut dalam arus ini. Dapat kita sebut misalnya ‘Ali ‘Abd al-Raziq yang menulis buku al-Islām wa Uṣūl al-Ḥukm (1967), Khalid Muhammad Khalid, penulis Min Hunā Nabda’ dan ad-Dīmuqrāṭiyyah Abadan (1953), ‘Abd al-Ghanī Sani yang menulis buku al-Khilāfah wa Sulṭat al-Ummah (1924). Mereka ini tanpa berpikir panjang menelan bulat-bulat aneka konsep dan sistem politik Barat modern, seperti demokrasi dan sebagainya. Hanya dengan meniru sistem politik Barat, negara-negara Islam bisa maju dan kuat, begitulah bayangan mereka. Pendek kata, kelompok apologetik ini berupaya mencarikan pembenaran terhadap sistem demokrasi dan konsep negara sekuler agar dapat diterima dan diamalkan oleh umat Islam.

‘Islam Politik’

Jika politik Islam telah dipahami dan diamalkan berabad-abad lamanya , istilah ‘Islam politik’ terbilang baru. Para pengamat non-Muslim sengaja menciptakan istilah ini guna menyudutkan dan melecehkannya. Menurut mereka, ‘Islam politik’ adalah sikap dan prilaku politik umat Islam yang didorong oleh keyakinan bahwa Islam mesti berperan di ruang publik dan perlu mempengaruhi kebijakan politik masa kini. Istilah kontroversial ini mereka pakai untuk membedakan antara sikap apatis atau pasif sebagian orang Islam dengan sikap sebagian lainnya yang sangat aktif berpolitik.

Ada tiga paradigma yang dianut oleh pengamat ataupun pelaku ‘Islam politik’, yaitu paradigma pesimis radikal, paradigma utopian radikal, dan paradigma optimis moderat.

Kita mulai dengan yang pertama. Paradigma pesimis radikal diwakili oleh pengamat politik semacam Oliver Roy, penulis buku 'The Failure of Political Islam' (Kegagalan Islam Politik). Menurutnya, aktivis ‘Islam politik’ sebenarnya tidak atau kurang memahami Islam, hanya mengikuti syahwat politik demi mengegolkan agenda-agenda mereka sendiri. Artinya, mereka ini tanpa sadar mengkhianati umat Islam dan membelakangi para ulama (anti-clerical). Roy menjuluki mereka neo-fundamentalis yang tidak sama dengan kaum Islamis. Aktivis ‘Islam politik’ kalaupun mereka menang pemilu dan berkuasa dapat dipastikan akan gagal menjalankan pemerintahan yang adil dan berwibawa, sebaliknya justru bakal membunuh demokrasi, menindas rakyat, menghancurkan ekonomi, dan merusak hubungan internasional. Demikian ramalan suram dari Roy, yang diamini oleh dan mempengaruhi banyak pengamat termasuk Graham E. Fuller dan Kikue Hamayotsu.

Paradigma kedua yang utopian radikal bercita-cita mendirikan sebuah negara Islam, dan bukan sekadar berjuang mewujudkan aspirasi dan membela kepentingan umat dalam bingkai demokrasi negara modern. Paradigma ini diwakili, antara lain, oleh Abu ‘l-A‘lā al-Mawdūdī dan Sayyid Quṭb yang mengedepankan konsep negara bukan berdasarkan kebangsaan atau nasionalisme, akan tetapi negara berdasarkan agama, bukan berdasarkan kedaulatan rakyat atau demokrasi, akan tetapi berdasarkan hukum Allah atau Syari`ah. Gagasan ini tentu saja dianggap utopian karena amat sukar —untuk tidak mengatakan mustahil— direalisasikan pada zaman sekarang ini kecuali dengan revolusi politik yang menumbangkan pemerintahan yang sedang berjalan. Itulah sebabnya gagasan ini dijuluki radikal, sebagaimana lazimnya kelompok revolusioner disebut atau menyebut diri mereka for better or worse.

Paradigma optimis moderat tidak sependapat dengan Oliver Roy. Bagi mereka, Islam dan politik tidak perlu dipertentangkan. Agama dan negara tidak mesti dipisahkan. Politik Islam bukan dongeng, melainkan pengalaman dan pengamalan lebih dari seribu tahun lamanya. Dan, karena itu, ‘Islam politik’ bukan utopia atau angan-angan belaka. Bagi orang-orang seperti Mohammad Natsir, misalnya, Indonesia bukan negara sekuler. ‘Islam politik’ tidak harus menempuh jalan revolusi. Sebaliknya, melalui cara-cara yang konstitusional ‘Islam politik’ dapat dan mesti berkompetisi dengan kelompok lain dalam NKRI untuk sama-sama merawat negeri dengan semangat fastabiqul khayrāt (berlomba-lomba meraih kebaikan) dan amar ma‘ruf nahi munkar (commanding good and prohibiting evil).
[Source: Republika 19/1/2017 Page 18, ISLAMIA]

Permasalahan Utama Islam dan Sains


Oleh: Ust. Priyo Djatmiko 27/03/2017

Kalau orang Islam mengatakan Islam tidak punya masalah dengan sains sebagaimana umat Kristiani dulu alami pada sejarah kelahiran sains Barat dan era kegelapan sebelumnya, maka klaim itu benar dalam 3 (tiga) konteks:

  1. Konteks sejarah ketika peradaban Islam dalam puncak kejayaan yang dicirikan dengan peradaban cinta ilmu (relatif melampau peradaban-peradaban lain yang semasa);
  2. Konteks normatif dimana semangat umum dan observasi atas alam secara 'apa adanya' mudah ditemukan dari teks Al-Quran dan sabda Nabi Muhammad SAW, yang mana konteks normatif ini adalah landasan yang penting dan membanggakan namun butuh kapasitas subjek (yaitu orang Islam yang mengimani dasar normatif tersebut) untuk memanfaatkannya; 
  3. Konteks semangat reseptif, dimana secara jargon umat Islam tidak pernah menolak kebutuhan, keutamaan dan keharusan untuk mempelajari dan menguasai sains (dalam pengertian yang sangat generalis). 

Masalahnya adalah, semangat tersebut tidak diiringi dengan pemahaman yang benar tentang apa itu sains modern, dan bagaimana peta relasinya yang rumit dengan doktrin-doktrin teologi dan etika dalam islam. Beberapa orang 'alim yang saya temui menolak mengakui masalah tersebut selain karena ketidakpahaman tadi, juga batas imajinasi bahwa sains perlu, semata karena tujuan pragmatiknya (dicampur aduk dengan konsep teknologi) untuk membuat 'umat kuat dan berjaya kembali' (dengan imajinasi dan narasi tentang apa itu kejayaan yang simplistik dan terbatas). Motif pragmatis atas apresiasi pada sains tersebut mengaburkan kunci masalah, yaitu memahami apa dan bagaimana sains itu ditetapkan, serta bagaimana memahamkan umat secara luas agar ia berhasil sebagai proyek kultural, bukan semata menghasilkan satu dua individu yang menonjol tapi tak berguna banyak untuk umat. Karena semua pertanyaan ini tak lain adalah soal falsafah, maka bagaimana islam memandangnya juga perlu dibicarakan di wilayah diskusi ilmu-ilmu agama dengan level berpikir melampaui hal teknis operasi semata dan tak bisa diserahkan pada negara dengan aparatus sistem pendidikannya.

Toleransi


Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi

Pada tanggal 17 Nopember tahun 2010, saya diberi tugas Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia untuk mengikuti program Public Diplomacy Campaign ke Austria. Saya menyampaikan kuliah umum di dua universitas yaitu Universität Vienna dan Universität Salzburg.

Di Universität Vienna diadakan di Departement Kajian Ketimuran (Oriental Studies). Dihadiri oleh sekitar 50 orang diantaranya terdapat seorang mahasiswa dan mahasiswi berkebangsaan Arab. Temanya tentang moderasi dan toleransi. Saya menyampaikan toleransi umat Islam Indonesia terhadap kepelbagaian agama, termasuk terhadap pemeluk agama Kristen.

Seorang peserta bertanya, mengapa di Indonesia orang bisa lebih toleran tapi disini dan negara Eropa lainnya tidak. “Saya dan keluarga saya dan saya kira juga kebanyakan keluarga Austria disini tidak tahan bertetangga dengan keluarga Muslim”, lanjutnya. Saya terkejut mendengar pertanyaan dan pernyataan orang Barat yang tulus itu.

Agak lama saya berfikir, tapi kemudian saya ketemu jawabnya. “saya kira anda di Barat terlalu kaku berpegang pada faham sekulerisme sehingga tidak toleran pada agama. Apapun yang berbau agama anda tolak, apalagi kalau hal itu masuk kedalam ruang publik.

“Sesuatu yang tidak mungkin terjadi di Barat adalah masuknya agama ke ruang-ruang publik”, kata saya. Di Indonesia kami telah terbiasa mendengar seorang pendeta berceraham di TV publik dan toleran terhadap perayaan agama selain Islam di ruang publik. Kami selalu menyaksikan perayaan Natal di stadion atau tempat-tempat public yang disiarkan secara nasional oleh stasiun TV. Saya hanya menyatakan bahwa menjadi sekuler itu tidak membuat orang arif dan toleran. Sekuler malah bisa berarti eksklusif.

Universität Salzburg acaranya di handle oleh Fakultas Systematiche Theologie. Mahasiswa Pasca, dosen dan masyarakat umum yang berjumlah sekitar 100 orang menyimak kuliah umum yang bertema Democracy Islam Human Right. Kuliah saya berjudul Redefining Moderate Muslim, Appraising Religio-Political Thought of Indonesian Muslims.

Di acara dinner dengan para dosen saya utarakan problem liberalisasi pemikiran keagamaan yang kami alami di Indonesia. Disini saya sekali lagi juga terkejut. Ternyata para dosen itu mengetahui apa yang sedang terjadi di dunia Islam. Mereka bahkan merasakan hal yang sama. Saya bertanya apakah mereka setuju dengan faham-faham feminism dan kesetaraan gender, pluralism agama, liberalisasi pemikiran. Ternyata tidak.

Untuk mengetahui kebenaran pandangan mereka saya mencoba pancing dengan ide global theology yang diutarakan oleh John Hick. Ternyata salah seorang dosen systematic theology bernama Profesor Hans Joachim Sander sangat benci pada John Hick. Saya terkejut ketika dia mengatakan bahwa teori pluralisme John Hick itu tidak populer. Dan dalam Kristen idenya itu dianggap sudah usang. Pluralisme teologi itu, katanya adalah proyek Amerika.

Bahkan dia terus terang “Liberalisme itu omong kosong”. Ia juga sepakat ketika saya katakan bahwa semua agama sekarang ini sedang dipinggirkan dan bahkan ditindas. Alatnya adalah pluralisme, liberalisme, feminisme dan demokratisasi beragama. Mereka malah mengetahui nama-nama pemikir Islam yang liberal seperti Nasr Hamid dan Arkoun yang mengingkari otentisitas al-Quran.
Dari pertanyaan hadirin di Wienna jelas yang tidak toleran terhadap agama adalah masyarakat Barat sekuler. Tapi anehnya, yang kini dituduh eksklusif adalah orang-orang beragama. Cara pandang mereka masih dipengaruhi alam pikiran abad ke 16 dan 17, dimana sekte-sekte agama di Eropa waktu itu sering konflik. Sekte-sekte, atau agama-agama itu punya tuhannya sendiri-sendiri (teori geosentris) dan saling menyalahkan. Konflik pun bermuara pada pembunuhan.
Andrew Sullivan di The New York Times Magazine menggambarkan bahwa gara-gara perang salib, inquisisi dan perang agama Eropa abad 16 dan 17 berlumuran darah. Bahkan lebih banyak dibanding di dunia Islam. Tapi anehnya situasi itu dianggap terus terjadi hingga sekarang.

Yang jadi sample adalah peristiwa 11/9 yang sejatinya penuh misteri itu. Padahal konflik agama selama ini, jikapun ada, tidak sebesar konflik politik. Tidak sebesar perang teluk dan invasi AS ke Irak dan Afghanistan. Jumlah yang mati sia-sia pun lebih banyak konflik politik.

Untuk memojokkan agama Jack Nelson-Pallmeyer melacak kandungan al-Quran dan Bible. Ia lalu menulis buku berjudul “Is Religion Killing Us? Evidence in the Bible and the Quran”. Kesimpulannya menurutnya bahwa kedua kitab ini memerintahkan pembunuhan.

Padahal konflik antar agama itu sebenarnya bukan karena agama itu. Konflik yang sebenarnya justru antara agama karena dibenturkan dengan sekularisme. Peter Berger terus terang, sekularisme gagal dan diganti dengan pluralisme. Sikap eksklusif itu diganti menjadi sikap inklusif dan pluralis.

Secara teologis agama yang banyak itu, oleh John Hick, diteorikan menjadi bertuhan sama. Teologi agama-agama itu diperkirakan nantinya akan bersatu. Itulah teori global theology John Hick. Anehnya teori yang bermasalah ini ada pengikutnya, termasuk di Indonesia.

Setahun sebelumnya ketika saya berkunjung kembali ke Inggeris saya benar-benar melihat praktek pluralism. Di Leed, saya melewati sebuah gereja. Di depan gereja itu tertulis, “All race, all nation, all religion but one god”. Saya lalu segera menyimpulkan ini pasti penganut paham global theology. Dalam perjalanan saya dari Leed ke London saya kebetulan duduk berdampingan dengan seorang pendeta berkulit hitam. Saya lalu bertanya tentang tulisan gereja di Leed itu. Ternyata bagi dia itu benar “Nothing wrong with religious pluralism” katanya.
Ketika saya berkunjung ke Centre of Islam-Christian Relation, di Selly Oak College, Birmingham, disitu terpasang gambar Jesus tapi kepalanya seperti gambar dewa Wishnu dalam agama Hindu. Itu adalah wujud nyata dari pluralisme yang berupaya mencari kesamaan Tuhan agama-agama. Masalahnya, jika agama-agama itu memilik Tuhan yang sama, apalagi yang harus ditolerir.

Mengganti Nama Berkas (File Rename) dalam Jumlah Banyak dengan KRename



Memiliki berkas yang tidak rapih memang suatu masalah tersendiri bagi beberapa orang, dan mengganti nama secara manual satu per satu juga bukan pilihan yang bijak. Masih mending jika berkasnya masih di bawah sepuluh buah, bagaimana jika yang akan kita ganti nama ada puluhan atau bahkan ratusan buah (kenapa pake "buah" ya?). Nah, makanya kita akan coba mempelajari bagaimana cara untuk mengotomatisasikannya, bukankah itu tujuan adanya komputer? Salah satu aplikasi bebas kode sumber terbuka yang didedikasikan untuk keperluan ini adalah KRename.


Untuk memasang aplikasi KRename ini di Ubuntu, cukup jalankan perintah berikut ini di terminal:

sudo apt-get install krename -y

Untuk distro keluarga Redhat (Fedora, CentOS, Kororaa, dan sekeluarga), bisa pake perintah ini:

sudo dnf install krename


Untuk distro lain silakan menyesuaikan sendiri ya.

Setelah terpasang, KRename ini bisa kita panggil dari peluncur kesukaan.

KRename ini memiliki banyak sekali pengaya (plugin) yang bisa didayagunakan. Selain itu, kita juga bisa menambahkan awalan (preffix), atau akhiran (suffix) pada nama-nama berkas sesuai keinginan, apakah dengan suatu kata/frasa tertentu yang sama, atau dengan penomoran berurutan atau penanggalan.

Sekarang kita akan mencoba menggunakan dengan kasus yang sederhana aja.

Contoh 1: Menghapus Awalan Nama Berkas

  1. Jalankan KRename, kemudian kita akan disuguhkan tab pertama "1. Files" untuk memasukkan berkas yang akan kita ganti. Saya mencoba memasukkan semua berkas audio mp3 secara manual dari satu folder (Ctrl + pilih berkas audio mp3 saja untuk menghindari ikut masuk/terpilihnya berkas gambar kover lagu yang juga ada di folder tersebut) ternyata muncul peringatan yang mengatakan tidak bisa melakukan pemilihan berkas. Akhirnya saya coba masukkan dengan memilih foldernya saja, dan ternyata berhasil. Hanya saja setelah itu saya harus memilih berkas gambar kover lagu yamg tidak akan saya ganti nama tadi kemudian klik  [Remove] untuk mengeluarkannya dari seleksi.  
  2. OK setelah itu pada tab "2. Destination" kita diminta untuk tentukan tujuan berkas yang akan diganti nama. Karena saya sangat sayang (ciee sayang) sama ruang penyimpanan, makanya saya memilih opsi "Overwrite existing file". Untuk tab "3 plugins" kita bisa lewati saja ini bersama (huwalaa).
  3. Langsung ke opsi "4. Filename" Dalam contoh ini yang akan saya hapus adalah tulisan "Tarabyon.com_" sehingga pada bagian "Filename" saya pilih "Custom name", dan sebagai bantuan saya klik ikon lampu kuning untuk melihat opsi regular expression apa saja yang tersedia.

Ternyata di sana ada opsi "[$x-y]" yang artinya karakter x sampai y dari nama berkas yang lama. "$" sendiri menunjukkan nama berkas yang lama.

OK Setelah saya hitung ternyata prefix "Tarabyon.com_" memiliki 13 karakter, sehingga saya akan membiarkan karakter ke 14 dari nama berkas yang lama dan seterusnya. Oleh karena itu, regular expressionnya adalah

[$14-0]

artinya karakter ke 14 sampai 0 yang akan dipertahankan. Sebenarnya angka setelah tanda "-" bisa kita kosongkan menjadi "[$14-]", atau kita atur berapapun DENGAN SYARAT NILAINYA DI BAWAH 14, bisa 13 ("[$14-13]"), 12
("[$14-12]") atau sampai 0 ("[$14-0]") sekalipun. Tenang saja, kita bisa mencoba-coba angka tersebut karena nanti di bagian bawah ada bilah yang bisa kita jadikan sebagai bahan perbandingan antara "Origin" dan "Renamed".

Setelah yakin, klik tombol [Finis]. Tadaaa!!, prefix "Tarabyon.com_" sudah bisa dihilangkan tanpa perlu mengganti nama berkas satu per satu.

Oh iya, jika terjadi kekeliruan, kita bisa meng-undo tenang saja.


Contoh 2: Menghapus Akhiran Nama Berkas dan Memindahkannya di Awal Nama Berkas

OK tadi mungkin lebih mudah, yaitu menghapus beberapa karakter di awal. Nah, sekarang gimana kalau kita maunya memindahkan karakter di akhir dan menambahkannya kembali di awal? Saya juga sempet bingung dan mencoba-coba rumus di atas dengan penggunaan nilai angka dan operasi yang berbeda (nilai + alih-alih minus). Ternyata tidak ada yang memuaskan. Setelah saya perhatikan kembali, ternyata ada fitur "Find and Replace" ya di tab "4. Filename". Langsung aja cekidot.

Siapkan berkas yang akan diganti namanya, di dalam contoh ini saya buat tiga berkas text dengan akhiran (suffix) " - Kang Ibing", yaitu "Si Borokokok - Kang Ibing.txt", "Si Ontohod - Kang Ibing.txt" dan "Si Bangkar Warah - Kang Ibing.txt".

 

Setelah memasukkan berkas-berkas tersebut sebagaimana pada contoh sebelumnya, pada tab "4. Filename", pastikan kita sudah memilih sub-tab "Simple Filename". Pada bagian "Preffix", kita isi medan dengan tulisan "Kang Ibing - " (pakai spasi ya di akhirnya). Maka hasilnya akan seperti ini:

Untuk menghapus akhiran " - Kang Ibing", maka kita akan pergunakan fungsi "Find and Replace". Klik tombolnya, setelah keluar dialognya, klik tombol [Add].


Pada bagian Find, isi dengan " - Kang Ibing". Karena kita sebenarnya bukan ingin menggantinya, melainkan akan menghilangkannya, maka pada bagian "Replace With" kita kosongkan saja. Setelah itu klik tombol [Ok] .


Klik [OK] lagi. Fungsi "Find and Replace" ini hanya akan berpengaruh pada nama berkas lama, bukan pada nama berkas baru.






Setelah itu, seperti sebelumnya klik tombol [Finish].

Demikian tutorial sederhana ini semoga bisa membantu.

Hitung






Komentar

Tentang Blog Ini

Seorang pembelajar yang berharap tidak berhenti belajar, seorang hamba yang berharap tidak berhenti menghamba

Followers