Dr. Syamsuddin Arif
Direktur Eksekutif INSISTS
|
Kredit: Matt Neighbors |
Tiada yang lebih benar dapat dinyatakan tentang peradaban Islam daripada apa yang telah Professor Rosenthal amati dengan tepat: peradaban yang di dalamnya ilmu berjaya. Ilmu telah terbukti merupakan sebuah ‘istilah budaya yang unik’ sekaligus ‘daya benah yang paling efektif.’ Ilmu merupakan unsur utama yang telah memberikan peradaban Muslim bentuk dan coraknya yang khas. Bahkan, “tidak ada konsep yang telah berjalan sebagai suatu penentu dari peradaban Muslim dalam segala seginya sebagaimana ‘ilm [ilmu]”.[1] Tulisan ini akan memeriksa ulang konsep ilmu dalam Islam, dengan memusatkan perhatian pada bagaimana ilmu dipahami dan dipetakan oleh ulama dari beragam aliran pemikiran selama rentang ratusan tahun. Walau tulisan ini tidak mengklaim menawarkan sesuatu yang baru, tapi diharapkan akan menyumbang sesuatu atas debat yang berlansung tentang islamisasi ilmu.
Mendefinisikan Ilmu
Mari kita mulai dengan bertanya, “Apakah ilmu?” Ketika dihadapkan pada pertanyaan ini, kebanyakan kita akan terusik, enggan menjawab, atau tidak peduli belaka. Ada yang berkata, ‘ilmu adalah apa yang kamu tahu.’ Tapi sesungguhnya ini bukanlah definisi, melainkan suatu tautologi—sekadar berkata bahwa ilmu adalah ilmu, dan sama sekali tidak menyatakan apapun. Oxford English Dictionary (yang pasti sudah disusun oleh sebuah tim penulis terdidik yang cakap) mendaftar tiga arti untuk kata “ilmu”: (i) informasi dan kecakapan yang diperoleh melalui pengalaman atau pendidikan; (ii) keseluruhan dari apa yang diketahui; (iii) kesadaran atau kebiasaan yang didapat melalui pengalaman akan suatu fakta atau keadaan.[2]
Coba lihat yang pertama. Dapatkah kita katakan bahwa ilmu adalah informasi? Kita mungkin menganggap begitu, tapi saya akan berbeda berdasarkan setidaknya dua alasan. Pertama, informasi dapat benar atau salah, jadi jika ilmu adalah informasi, maka ilmu mencakup informasi yang benar dan salah. Tapi bagaimana bisa mengatakan tahu sesuatu ketika ternyata hal itu adalah akibat misinformasi atau salah-informasi? Kedua, jika kita sepakat dengan Cambridge English Dictionary bahwa informasi adalah ‘fakta tentang suatu keadaan, orang, peristiwa, dst.,’ maka fakta setara dengan ilmu. Namun, fakta bukanlah ilmu dan ilmu tidak bisa dikacaukan dengan fakta. Bahkan kamus yang sama menyebutkan bahwa ‘fakta’ adalah “sesuatu yang diketahui telah terjadi atau wujud, terutama sesuatu yang dengannya suatu bukti itu wujud, atau yang mengandung informasi.”[3] Saya menulis miring kata ‘diketahui’ untuk menunjukkan adanya pendefinisian yang berputar-putar atasnya.
Demikian juga, untuk mendefinisikan ilmu dalam hal kecakapan dan keahlian adalah problematis. Misalnya, kita tahu persis apa itu pesawat udara. Kita memiliki ilmu tentang itu dalam arti bahwa jika kita diminta untuk menggambarnya akan dengan mudah dilakukan; atau jika diminta untuk menunjukkannya di sebuah banda udara akan mudah menunjuknya. Namun, ilmu semacam ini bukanlah keahlian. Mengetahui apa itu pesawat udara tidak berarti ahli tentangnya. Sebaliknya juga benar: keahlian menyiratkan ilmu, tapi ilmu tidak musti berarti keahlian. Dan jika pendidikan mengacu pada suatu proses mengenal dan menuai ilmu, defini itu hanya membawa kita kembali pada pertanyaan, ‘Apakah ilmu?’
Definisi kedua yang diberikan di atas – bahwa ilmu adalah keseluruhan dari apa yang diketahui – juga patut dipertanyakan. Jika ‘apa yang diketahui’ adalah ilmu, semata menyatakan bahwa ilmu adalah ilmu. Yang ketiga pun tidak lebih baik. Kesadaran (awareness) mungkin bisa timbul dari ilmu, tapi ilmu bukan kesadaran. Kita mungkin sadar akan nyamuk yang berada di sekitar kita; tapi itu tidak berarti sama dengan memiliki ilmu tentang nyamuk—kecuali jika kita seorang ahli biologi. Demikian pula, jika ilmu berarti kebiasaan (familiarity), maka kebiasaan menyiratkan ilmu. Namun seringkali tidak demikian halnya. Karena, kita dapati orang-orang yang cukup terbiasa dengan komputer tapi bukan pakar ilmu komputer dan maka mereka memiliki sedikit ilmu, jika memang memilikinya, tentang komputer.
Nyaris seribu tahun sebelum kelahiran Rasulullah SAW, seorang bernama Plato sampai pada definisi sebagai berikut. “Ilmu adalah keyakinan sejati yang dibenarkan” (μετὰ λόγου ἀληθῆ δόξαν), ujarnya dalam Theaetetus 201c8, salah satu Dialog-dialognya yang terkenal.[4] Definisi ini ringkas-padat tapi mendalam. Kita dapat memecahnya menjadi tiga unsur: (i) keyakinan; (ii) kebenaran dan (iii) nalar. Hal-hal ini adalah tiga syarat yang harus dipenuhi untuk proposisi apapun agar memenuhi syarat sebagai ilmu. Pertama-tama, sesuai nalar Plato, mengetahui adala ilmu. Jika kita tahu bahwa gula itu manis, kita sesungguhnya yakin pada keberadaan sesuatu yang disebut ‘gula’ dan kita yakin akan rasanya yang manis. Namun, ilmu bukanlah sekadar yakin. Hanya keyakinan-keyakinan yang benar dapat disebut ilmu. Keyakinan yang salah bukanlah ilmu, menurut Plato. Tapi bagaimana kita dapat membedakan keyakinan yang benar dari yang salah? Di sinilah berperan ‘logos’. Supaya memenuhi syarat sebagai ilmu, keyakinan kita harus didukung oleh nalar. Maksudnya, suatu keyakinan itu benar jika dan hanya jika secara nalar dibenarkan. Suatu keyakinan yang benar sebab suatu kebetulan tidak memenuhi syarat sebagai ilmu. Sesungguhnya, sebagaimana sering kita jumpai halnya, keyakinan yang minim bukti seringkali salah, meski keyakinan demikian ini mungkin terkadang malah benar. Definisi Plato ini sudah pernah mendapat sanggahan. Salah satu yang terkenal adalah dari Edmund L. Gettier. Dalam suatu tulisan ilmiahnya yang kini termasuk klasik, Gettier mencoba menyanggah definisi ini dengan menunjukkan keadaan dimana seseorang memiliki keyakinan yang benar yang dibenarkan hingga taraf tertentu, tapi tidak pada taraf yang dikehendaki Plato (mis., keyakinan seseorang yang benar semata karena kebetulan, ketika orang itu tidak punya bukti yang berhubungan dengan fakta sebenarnya, dan sehingga yakin akan kebenaran semata karena kebetulan), namun dalam keadaan demikian, semua orang sepakat bahwa orang itu memiliki ilmu.[5]
Tampaknya jelas bahwa ilmu tidak dapat didefinisikan tanpa menyertakan pendapat yang berputar-putar dan tautologi (yaitu menyatakan ilmu adalah ilmu).[6] Namun, ini tidak berarti bahwa kita tidak bisa membahas ilmu sama sekali. Barangkali karena alasan ini para filusuf tertarik mendefinisikan daripada membahas beragam jenis ilmu. Maka, Bertrand Russell membedakan ilmu akan sesuatu dan ilmu akan kebenaran, dan kemudian membagi-bagi apa yang ia sebut ilmu akan sesuatu menjadi dua bagian: (i) ilmu berdasarkan pemerian dan (ii) ilmu berdasarkan pengenalan.[7] Ada sejumlah hal yang kita tahu “tangan pertama” dan yang sebatas kita dengan atau baca – dengan kata lain hal-hal yang digambarkan pada kita. Sebagian besar ilmu kita masuk dalam kotak pertama. Kita tahu bahwa jarak yang memisahkan Matahari dari planet kita adalah sekitar 150 juta kilometer tidak berdasarkan pengenalan langsung melainkan penggambaran yang kita jumpai di buku-buku dan laporan ilmiah.
Ilmu Menurut Ulama
Selama berabad-abad ulama telah terus-menerus membahas ilmu secara intensif dan ekstensif seperti benar-benar diakui oleh siapapun yang mengenal baik melalui banyaknya kepustakaan yang membahas ini. Beragam definisi ilmu telah dikemukakan oleh para teolog dan fuqaha, filusuf dan para ahli bahasa.[8] Demi tujuan kita saat ini, akan dibahas empat defini ilmu berikut ini.
Yang pertama diajukan oleh seorang pakar filologi al-Raghib al-Isfahani (w.443/1060).[9] Dalam karyanya Kamus Istilah Quran ilmu didefinisikan sebagai “persepsi suatu hal dalam hakikatnya” (al-‘ilm idrak al-shay’ bi-haqiqatihi.[10] ini artinya bahwa sekadar menilik sifat (mis., bentuk, ukuran, berat, isi, warna, dan sifat-sifat lainnya) suatu hal tidak merupakan bagian dari ilmu. Mendasari definisi ini adalah suatu pandangan filosofis bahwa setiap zat terdiri atas essence dan accidents. Essence adalah apa yang membuat sesuatu sebagai dirinya, sesuatu darinya akan tetap satu dan sama sebelum, semasa, setelah perubahan, maka disebut sebagai hakikat. Ilmu adalah segala hal yang menyangkut hakikat yang tak berubah.
Definisi kedua diberikan oleh ‘Hujjat-al-Islam’ Imam al-Ghazali (w.505/1111)[11] yang memerikan ilmu sebagai “pengenalan sesuatu atas dirinya (ma‘rifat al-shay’ ‘ala ma huwa bihi.[12] Definisinya di sini, untuk tahu sesuatu berarti mengenali sesuatu itu sebagai adanya. Tiga hal di sini yang perlu diuraikan. Pertama, dengan menyatakan bahwa ilmu adalah pengenalan, Imam al-Ghazali tampak menekankan fakta bahwa ilmu merupakan masalah per orangan. Ilmu mewakili keadaan minda—yaitu, keadaan dimana sesuatu itu tidak lagi asing bagi orang tersebut karena dikenali oleh minda orang tersebut. Kedua, tidak seperti istilah idrak (digunakan dalam pendefinisian al-Isfahani) yang tidak hanya menyiratkan suatu gerakan nalar atau perubahan dari satu keadaan kepada keadaan lain (mis., dari keadaan jahil kepada keadaan berilmu) tapi juga menyiratkan bahwa ilmu datang sebagaimana adanya ke dalam minda seseorang dari luar, istilah ma’rifah dalam definisi Imam al-Ghazali mengiaskan kepada fakta bahwa ilmu selalu merupakan semacam penemuan-diri. Seseorang mungkin membandingkan hal ini dengan teori anamnēsis Plato, dimana pembelajaran dikatakan terdiri atas mengingat-ingat ide dhahiri yang sudah dimiliki. Poin lain yang relevan terdapat pada ungkapan ‘ala ma huwa bihi. Dalam pandangan Imam al-Ghazali, kita tidak dapat mengklaim memiliki ilmu sesuatu kecuali jika dan hingga kita tahu sesuatu itu ‘apa adanya.’ Sesungguhnya, sesuatu itu tampak tidak sebagaimana hakikatnya. Bumi tampak datar, bintang tampak kecil, matahari tampak mengelilingi bumi, dan seterusnya. Maka definisi ini menempatkan hal-hal ini sebagai dugaan, khayalan, dugaan, ilusi, halusinasi, mitos dan semacamnya di luar cakupan ilmu.
Suatu alternatif defini dikemukakan oleh seorang ahli logika Athir al-Din al-Abhari (w.663/1264). Baginya ilmu adalah menghampirnya ‘gambar’ suatu benda dalam fikiran (…).[13] demikian juga bagi Ibn Sina (w. 428/1037),[14] definisi ini menunjukkan bahwa untuk mengetahui sesuatu artinya membentuk suatu pemikiran tentangnya, memiliki gambaran sesuatu itu tergambarkan dalam benak. Dengan kata lain, mengetahui adalah melakukan konseptualisasi. Ilmu adalah representasi mental atau konsepsi suatu hal yang diketahui si orang yang mengetahui, menyebabkan terjadinya pembedaan moderen antara ‘ilmu konseptual’ dan ‘ilmu proporsional’ (yang, sayangnya, gagal dipertimbangkan definisi ini). Karena kita tahu tidak hanya apa sesuatu itu, tapi juga bagaimana, di mana, kapan, dan mengapa sesuatu itu begini dan begitu. Ilmu kita tentang ular, misalnya, biasanya tidak terbatas pada hanya memiliki gambarannya pada benak kita dan menjadikan kita awas kala menghadapinya, tapi juga disertai dengan serangkaian keyakinan tentang fakta bahwa ular adalah hewan ganas, agresif yang serangannya dapat mengakhiri nyawa seseorang.
Al-Sharif al-Jurjani (w. 816/1413) dalam bukunya Ta’rifat mendefinisikan ilmu sebagai tibanya minda pada makna sesuatu (…).[15] Definisi ini dipertimbangkan oleh ‘Ali Celebi Qinalizadeh (w. 979/1572) sebagai yang terbaik yang ia ketahui.[16] Definisi inilah dan yang lebih awal oleh Ibn Sina dan al-Abhari yang Professor Syed Muhammad Naquib al-Attas (l. 1935) telah sintetiskan dalam monografnya berjudul The Concept of Education in Islam. Menurutnya, ilmu paling tepat didefinisikan sebagai ‘tibanya makna dalam jiwa sekaligus tibanya jiwa pada makna’[17] (…). Satu hal yang menjadi jelas dalam definisi gabungan ini: ilmu adalah tentang makna. Benda, fakta atau peristiwa apapun, dikatakan diketahui oleh seseorang jika ia bermakna baginya. Jadi, kucing tidak tertarik kepada uang justru karena kucing tidak tahu makna uang; bagi hewan seperti kucing uang tidak bermakna. Makna uang tidak mencapai mindanya, dan juga sebaliknya minda kucing tidak memahami makna uang. Sekarang, makna mengungkapkan hubungan antara benda – maksudnya, bagaimana benda dan peristiwa tunggal saling berhubungan, menentukan definisi keragaman tempat, peran, fungsi, dst. dalam sistem manapun – linguistik, logika, ilmiah, sosial, politik, ekonomi, hukum, atau selainnya – mereka berasal. Semakin kita tahu tentang sesuatu semakin bermakna sesuatu itu bagi kita, dan maka semakin kita membicarakannya, menganalisanya secara rinci dan menjelaskannya secara panjang lebar. Dengan definisi ini al-Attas secara tepat menunjukkan fakta bahwa dalam proses kognisi minda “tidak semata resipien pasif seperti tabula rasa tapi juga yang aktif dalam arti mengatur dirinya menjadi siap untuk menerima apa yang ingin diterimanya” secara sadar serta secara selektif.
Tidak semua ulama setuju dengan definisi konseptual ilmu ini. Mahaguru sufi asal Andalusia Ibn ‘Arabi (w. 638/1240), misalnya, mendefinisikan ilmu sebagai penerimaan mental atas [ilmu tentang] segala hal dalam batas dirinya apa adanya (tahsil al-qalb amran-ma ‘ala hadd ma huwa ‘alayhi dhalika al-amr).[18] Baginya ilmu adalah sifat () yang dianggap berasal dari minda melalui penerimaan tersebut sehingga minda itu disebut yang mengetahui, dan segala hal disebut sebagai yang diketahui. Maka Ibn ‘Arabi menolak gagasan terkenal yang dikemukakan oleh para ahli logika yang menyatakan bahwa ilmu terdiri atas konsepsi mental (tasawwur) dan keyakinan (tasdiq). Ilmu bukanlah representasi mental dari benda yang dikenal, bukan pula makna (ma‘na) yang ditangkap oleh yang mengetahui. Dalam pandangannya, tidak segala hal yang dikenal dapat dipahami, tidak juga halnya bahwa setiap orang yang tahu membentuk suatu konsep dalam mindanya. Menurut para filusuf, konsepsi merujuk pada tindakan membayangkan dari si orang yang tahu, membentuk bayangan mental yang merepresentasikan benda yang ia kenal. Namun, Ibn ‘Arabi menyanggah bahwa representasi mental ini tidak lain hanyalah keadaan mental (halah) yang secara sementara digenggam oleh kecakapan imajinatif si yang tahu, meskipun ia tidak menolak adanya hal tertentu yang dikenal ilmu yang melampaui dan lepas dari pemahaman kecakapan imajinasi manusia.[19]
Memetakan ilmu
Urusan mengelompokkan ilmu dimulai di akhir masa kuno, terutama di abad ke-5 – 6 di Alexandria. Para sarjana Helenisme membangun suatu skema pengelompokkan karya-karya Aristoteles dimana suatu risalah dicocokkan dengan suatu bidang kajian. Meskipun tujuan awal pengelompokkan ini bersifat deskriptif dan pedagogis, hal tersebut memperoleh penerimaan universal dari generasi selanjutnya di seluruh belahan dunia yang dipengaruhi budaya Yunani.[20] Ini tidak berarti bahwa pengelompokkan tersebut murni merupakan temuan belakangan. Dalam karyanya Nicomachean Ethics Aristoteles sudah menggariskan perbedaan antara seni (téchne) dan sains (episteme), dimana yang terdahulu merujuk pada sisi kalkulatif (to logistikon) jiwa rasional manusia dalam menangani hal-hal yang berubah dalam kesehariannya, sementara yang belakangan pada sisi ilmiah (to epistêmonikon) ketika menangani entitas mutlak seperti kebenaran penting matematika.[21] Aristoteles juga membahas sains yang spekulatif (hai theoretikai) yang berbeda dari yang praktis (hai praktikai) dan yang produktif (hai poietikai). Menurutnya, sains spekulatif, juga dikenal sebagai filsafat teoritis (philosophíai theoretikaí) dapat dibagi menjadi matematika (kemudian dibagi lagi oleh Ammonius menjadi aritmatika, geometri, astronomi dan musik—yaitu quadrivium yang terkenal), fisika (ilmu alam) dan teologi, sementara sains praktis menjadi etika, ekonomi dan politik. Namun, dari semua sains teoritis, hanya filsafat utama (he prote philosophía) atau metafisika yang dianggap universal dan unggul.[22] Pengelompokkan ini diteruskan ke Abad Pertengahan, diadopsi oleh kaum para filusuf Nasrani, Muslim dan Yahudi, walau dengan penambahan dan perubahan yang penting[23], dan menjadi standar program pendidikan humaniora.
Misalnya, pengelompokkan demikian direproduksi oleh Abu Yusuf Ya‘qub ibn Ishaq al-Kindi (w. 252/865) dalam risalah berjudul Tentang jumlah tulisan Aristoteles dan yang diperlukan untuk memulai filsafat, jelas untuk tujuan pedagogis. Al-Kindi tidak hanya mendaftar karya-karya Aristoteles, membaginya menjadi empat kelompok (mis., logika, fisika, psikologi dan matematika); ia juga menyarankan mereka yang ingin mempelajari filsafat untuk memulainya dengan matematika yang ia anggap harus ada bagi nalar ilmiah. Selain itu, ia membuat perbedaan antara ilmu manusia (al-‘ilm al-insani) yang didapat dari kerja keras dan belajar giat dan ilmu ilahiah (al-‘ilm al-ilahi) yang ia samakan dengan nubuwah atau wahyu dari Allah.[24]
Al-Farabi-lah (w. 339/950) yang pertama kali dalam sejarah Islam berupaya secara sistemis dan dalam bentuk sebuah buku berjudul Ihsa’ al-‘Ulum seluruh sains sesuai pengelompokkan Aristoteles dan pada saat yang sama juga menerapkan tradisi budaya Islam dan Arab. Al-Farabi mengelompokkan sains menjadi lima kelompok, masing-masing, dengan sub-bagiannya, ia definisikan dan tujuannya dijelaskan. Pembagian pertama adalah sains bahasa (‘ilm al-lisan) atau linguistik, yang mencakup sains kata-kata (‘ilm al-alfaz) atau morfologi dan sains tata katanya (‘ilm qawanin [al-alfaz]) atau sintaksis alias tata-bahasa, sains tulisan (‘ilm qawanin al-kitabah) atau ortografi, sains bacaan (‘ilm qawanin al-qira’ah) atau fonologi, dan sains puisi (‘ilm qawanin al-ash‘ar) atau prosodi. Bagian kedua adalah logika (‘ilm al-mantiq), yang merangkum delapan sub-bagian yang membahas peristilahan dan konsep (al-maqulat), proposisi (al-‘ibarah), nalar silogistik (al-qiyas), nalar apoditik (al-burhan), nalar dialektik (jadaliyyah), sophistry (al-mughalatah), retorika (al-khitabah) dan perpuisian (al-shi‘r). Kelompok ketiga adalah matematika (‘ilm al-ta‘alim), yang terdiri atas tujuh bagian: aritmatika (‘ilm al-‘adad), geometri (‘ilm al-handasah), optik (‘ilm al-manazir), astronomi (‘ilm al-nujum [sic!]), musik (‘ilm al-musiqa), dinamika (‘ilm al-athqal) dan mekanika (‘ilm al-hiyal). Kelompok keempat adalah sains fisik dan metafisik (‘ilm al-tabi‘i wa al-‘ilm al-ilahiy). Fisika dibagi menjadi delapan bagian: (i) wacana umum tentang fisika (al-sama‘ al-tabi‘i) yang membahas prinsip-prinsip dan sifat-sifat benda alam, (ii) kosmologi (al-sama’ wa al-‘alam) (iii) kejadian dan kerusakan (al-kawn wa al-fasad), (iv) meteorologi (al-athar al-‘ulwiyyah), (v) mineralogi (al-ma‘adin), (vi) botani (al-nabat), (vii) zoologi (al-hayawan) dan (viii) psikologi (al-nafs). Metafisika dibagi menjadi tiga bagian: ontologi, aetiologi-epistemologi, dan henologi-teologi. Terakhir, di kelompok kelima terdapat tiga sains: politik (‘ilm al-madani), sains hukum Islam atau perhukuman Islam (fiqh), dan teologi (kalam).[25] Harus dicatat bahwa pengelompokkan al-Farabi sebagaimana al-Kindi dibuat sesuai dengan metoda didaktika, untuk diadopsi sebagai kurikulum pendidikan tinggi serupa dengan silabus dalam biografi Aristoteles (yang tersedia dalam bahasa Arab),[26] yang menandakan urutan yang benar dimana sains-sains itu harus dipelajari.
Seorang polymath (pakar serba-bisa) terkenal Ibn Sina (w. 428/1037) telah menawarkan tiga skema berbeda pengelompokkan dalam beberapa karyanya. Dalam risalah khusus berjudul Fi Aqsam al-‘Ulum al-‘Aqliyyah (tentang Pembagian Sains Intelektual) ia melakukan elaborasi pengelompokkan apa yang disebut sains intelektual atau rasional, yang sering dibedakan dari sains tradisional (al-‘ulum al-naqliyyah). Sebagaimana Aristoteles dan al-Farabi sebelumnya, Ibn Sina membagi sains menjadi teoritis (nazari) dan praktis (‘amali). Sasaran sains teoritis adalah untuk mendapatkan kebenaran dan kepastian (husul al-i‘tiqad al-yaqini) tentang hal-hal yang wujud secara objektif dan mandiri dari manusia dan perbuatannya. Maka, teologi dan metafisika termasuk dalam sains teoritis. Sains praktis memiliki tujuan yang beda; sains ini dipelajari tidak demi memperoleh kebenaran atau kepastian tentang dunia, melainkan untuk mendapat pandangan yang benar tentang hal-hal diperlukan manusia agar menjadi baik (yaitu, memiliki kehidupan yang baik sebagai individu, anggota keluarga dan warga). Singkatnya, sementara sains teoritis mengurus kebenaran (al-haqq), sains praktis adalah cara menemukan Kebaikan (al-khayr).
Sains teoritis memiliki tiga kelompok: yang terbawah adalah sains alami, di pertengahan sains matematika, dan metafisika dianggap yang tertinggi. Sains alami ditempatkan di bawah karena berurusan dengan hal-hal yang secara logis dan ontologis berkaitan dengan masalah dan perubahan fisik, seperti (sains) benda-benda bundar dan empat unsur alam serta serangkaian keadaan seperti gerak dan diam, alterasi dan transformasi, kejadian dan kerusakan, dan sifat-sifat yang menyebabkan keadaan ini semua. Sains matematika agak unik karena mengkaji entitas abstrak yang berkaitan dengan hal-hal yang ontologis walau tidak logis, seperti bilangan, bentuk dan bangun. Bedanya, apa yang dipelajari oleh metafisika sepenuhnya abstrak, entitas yang sekaligus secara ontologis dan logis mandiri dari zat dan perubahan, mis., esensi dan wujud, kesatuan dan keragaman, individualitas dan universalitas, kausalitas, dst. Sains praktis ada tiga macam: satu macam berurusan dengan kesejahteraan manusia sebagai pribadi, yang satunya dengan manajemen manusia sebagai anggota rumah tangga, dan terakhir, sebagai warga negara. Yang pertama dikenal dengan etika, yang kedua ekonomi, dan yang terakhir politik. Ibn Sina secara tersurat menyebut [Nicomachean] Ethics-nya Aristoteles dan Republic-nya Plato sebagai rujukan yang harus ada soal ini.
Ibn Sina memilah lebih jauh sains alamiah menjadi dua kelompok: ‘prinsip’ () dan ‘akibat’ (). Delapan sains termasuk dalam kelompok prinsip: (i) fisika; (ii) tentang langit dan alam semesta; (iii) kejadian dan kerusakan; (iv) tentang gejala meteorologis; (v) tentang mineal; (vi) tentang tumbuhan; (vii) tentang hewan; dan (viii) tentang jiwa/ruh. Sains alamiah akibat terdiri atas tujuh: (i) kedokteran; (ii) astrology (‘ilm ahkam al-nujum); (iii) fisiognomi (‘ilm al-firasah); (vi) oniromancy (‘ilm al-ta‘bir); (v) sains ajimat (‘ilm al-talisman); (vi) theurgy atau sulap (‘ilm al-niranjiyyat); dan (vii) alkimia (‘ilm al-kimya). Sains matematika mencakup empat bagian utama: (i) arimatika (‘ilm al-‘adad); (ii) geometri (‘ilm al-handasah); (iii) astronomy (‘ilm al-hay’ah); (iv) musik (‘ilm al-musiqa); masing-masing dibagi lebih lanjut: aritmatika menjadi seni hitung India dan aljabar; geometri menjadi geodesi (‘ilm al-masahah), rekayasa (‘amal al-hiyal ); optik (‘ilm al-manazir wa al-maraya), sains berat dan keseimbangan (‘ilm al-awzan wa al-mawazin), mekanika (‘amal jarr al-athqal) dan hidrolika (‘ilm naql al-miyah); astronomi menjadi seni membuat tabel astronomi dan kalender (‘ilm al-zijat wa al-taqawim); dan musik menjadi seni memainkan peralatan musik. Metafisika dibagi menjadi lima bagian utama: (i) kajian konsep umum (al-mawjudat al-‘ammah) atau ontolgy; (ii) prinsip dan dasar (al-usul wa al-maadi’) sains; (iii) tentang Kebenaran Awal (al-Haqq al-Awwal); (iv) tentang zat spiritual primer dan sekunder (al-jawahir al-ruhaniyyah); (v) tentang hubungan antara zat langit dan bumi. Tiga bagian akibat mencakup penyelidikan atas sifat dan modalitas wahyu (al-wahy) dan inspirasi (al-ilham), gejala peristiwa ajaib (karamat wa mu‘jizat), sifat kenabian (nubuwwat), angelogy dan eskatologi (‘ilm al-ma‘ad).[27] Pada bagian pengantar pada Ilahiyyat (Metafisika) karyanya al-Shifa’ Ibn Sina membagi sains menurut status ontologis hal-hal yang dikaji, sesuai dengan dua kelompok dimana realitas yang mencakup semua hal yang wujud (al-ashya’ al-mawjudah) dibagi-bagi, yaitu: (i) yang wujud akibat selain atau di luar perbuatan dan kehendak kita (laysa wujuduhu bi-ikhtiyarina wa fi‘lina) dan (ii) yang wujud akibat perbuatan dan kehendak kita (ashya’ wujuduha bi-ikhtiyarina wa fi‘lina).[28]
Di antara para ushuliyyun yang memberikan sumbangsih atas tema bahasan kita, dua yang layak kita sebut yaitu Ibn Hazm (w. 456/1064) dan Imam al-Ghazali (w. 505/1111). Seorang ulama produktif asa Andalusia, Ibn Hazm dikenal sebagai seorang faqih alih-alih filusuf. Konsepnya tentang ilmu antar lain dijabarkan di Tawqif, sebuah risalah yang ditulis menanggapi pertanyaan yang dialamatkan padanya tentang status sains-sains kuno (‘ulum al-awa’il) dan revealed knowledge (‘ilm ma ja’at bihi al-nubuwwah). Ia menegaskan bahwa yang terdahulu, terdiri atas filsafat dan logika, merupakan ilmu yang bermanfaat dan utama karena mengandung ilmu tentang alam dan menawarkan analisis konsesptual atas hal-hal menjadi genera dan spesies, universal dan partikular, substances dan accidents, sembari menuntun kepada kebenaran dengan memberikan bukti-bukti rasional. Demikian juga dengan matematika, kedokteran, dan astronomi. Namun, seberapapun bermanfaatnya sains-sains ini, Ibn Hazm enggan berkomentar, tidak dapat mengalahkan keunggulan revealed knowledge yang Nabi teruskan kepada kita. Ini karena yang terakhir (revealed knowledge) memberikan apa yang ruh manusia perlukan demi kebahagiaan dan keselamatannya baik di dunia maupun di akhirat.[29] Dalam Taqrib-nya Ibn Hazm menyebutkan dua-belas sains utama yang ia anggap bermanfaat bagi manusia setiap saat dan yang menjadi asal sains-sains lainnya: (i) sains-sains al-Qur’an, (ii) sains-sains Hadits, (iii) fiqh, (iv) logika, (v) tata bahasa, (vi) leksikografi, (vii) puisi, (viii) sejarah, (ix) kedokteran, (x) matematika, (xi) geometri, dan (xii) astronomi. Namun, dalam kitabnya Maratib al-‘ulum, ia mengembangkan pengelompokkan sains-sains dari segi suatu program kajian yang dimulai sejak usia 5 tahun dengan bahasa dan al-Qur’an dan berlanjut hingga penguasaan teologi rasional, dimana murid akan dilatih untuk membuktikan apakah dunia ini diciptakan atau tidak, dan selanjutnya menanyakan apakah nubuwah itu mungkin atau tidak, dan mengarah pada pengakuan keberadaan Tuhan dan penerimaan perlunya dan sahihnya nubuwah Nabi Muhammad SAW.[30]
Beralih ke Imam al-Ghazali, kita jumpai pengelompokkan ilmu yang cukup berbeda. Dalam karya monumentalnya Ihya’ ‘Ulum al-Din (Kebangkitan Ilmu-ilmu Agama), bab pertamanya diperuntukkan secara panjang lebar membahas tentang ilmu, Imam al-Ghazali memperkenalkan dua kelompok besar ilmu: sains-sains pratek keagamaan (‘ilm al-mu‘amalah) dan sains-sains pengungkapan ruhiyah (‘ilm al-mukashafah). Yang pertama merujuk pada ilmu yang berurusan dengan prasyarat untuk memperoleh yang kedua. Sains-sains pengungkapan ruhiyah adalah apa yang dibicarakan oleh Nabi secara tersirat dan singkat melalui perlambang dan kiasan (bi al-ramz wa al-isharat ‘ala sabil al-tamthil wa al-ijmal). Sains-sains pratek keagamaan dibagi menjadi sains eksoterik (zahir), mencakup kegiatan fisik seperti ritual dan kebiasaan, dan sains esoterik (batin), berhubungan dengan kegiatan ruhiyah hati dalam hubungannya dengan dunia malaikat di luar persepsi inderawi.[31]
Selanjutnya, Imam al-Ghazali berdasarkan sebuah hadis (yang menyatakan bahwa menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim) telah mengelompokkan ilmu menjadi fard ‘ayn (tugas perorangan) dan fard kifayah (kewajiban kelompok). Yang pertama menunjukkan sains-sains yang setiap Muslim yang waras harus ketahui terkait dengan persyaratan dan larangan agama (al-‘ilm bikayfiyyat al-‘amal al-wajib fi‘luhu aw tarkuhu), sedangkan yang kedua mencakup sains-sains yang penguasaannya wajib hukumnya bagi suatu masyarakat Muslim secara keseluruhan tidak tidak mengikat bagi tiap individu Muslim karena dapat dilaksanakan oleh sebagian saja dari mereka. Ilmy yang masuk kelompok kedualah (fard kifayah) yang amat panjang lebar dijelaskan oleh Imam al-Ghazali. Pertama, ia membaginya menjadi sains-sains agama (shar‘iyyah), diambil dari dan berkisar tentang Wahyu Allah dan Sunnah Rasulullah, dan yang non-agama (ghayr shar‘iyyah), diperoleh melalui nalar, pengalaman/percobaan, dan konsensus. Kemudian, sebagaimana sains-sains agama dibagi menjadi yang terpuji dan yang tercela, demikian juga yang non-agama dibagi menjadi tiga bagian: yang terpuji, yang tercela dan yang diperbolehkan.
Pembahasan kita tentang pengelompokkan ilmu dalam Islam tidak akan sempurna tanpa melihat karya-karya terkait dari al-Suyuti (w. 911/1505) dan Tashköprüzadeh (w. 968/1560). Namun, karena ruang dan waktu yang terbatas, kita tidak akan membahas pengelompokkan ilmu mereka.
Kesimpulan
Kita tidak dapat melebih-lebihkan fakta bahwa peradaban Muslim dibangun di atas dan dipenuhi oleh ilmu. Tulisan di atas dimaksudkan untuk memberikan sekelumit besarnya rasa ketertarikan ulama yang telah menunjukkannya dalam pembicaraan yang serius tentang ilmu dan mengungkapkan sikap umum mereka terhadap sains. Apakah untuk tujuan didaktik atau pedagogik, bibliografis, filosofis, atau agama, ulama mulai melakukan katalogisasi dan pengelompokkan bermacam disiplin sejak abad 3 Hijriah/9 Masehi. Tidak diragukan lagi memiliki kesungguhan pada prinsip-prinsip dasar Islam, namun ulama salaf cukup berwawasan luas untuk menyambut sains-sains kuno dan asing – sikap terbuka yang secara fasih diungkapkan oleh al-Kindi: “Kami kita seharusnya malu menghargai kebenaran dan memperolehnya dari mamapun asalnya, bahkan jika itu berasal dari ras yang jauh dan bangsa yang berbeda dari kita.”[32] Dihadapkan pada sedemikian banyak rangkaian ‘ulum al-awa’il, ulama mampu menyatukan sains-sains yang diterima dari Yunani, Persia dan India seperti kedokteran, astronomi dan matematika ke dalam skema epistemik Islami. Proses penyaringan dan pemilahan, pencetakan-ulang dan pemurnian sebelum asimilasi dan apropriasi bahan-bahan keilmuan asing yang panjang dan rumit inilah yang disebut Islamisasi. Sesungguhnya, mengingat sedemikian banyaknya jumlah ilmu dan informasi yang kita dapatkan saat ini, pentingnya mendefinisikan dan memetakan ilmu tidak lagi perlu dianggap berlebihan, kecuali kita salah mengira tembaga sebagai emas dan kesesatan sebagai kebenaran. (***)
[1] Lihat Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant, edisi baru (Leiden: E.J. Brill, 2007), 2 dan 340-1
[2] Online Oxford Dictionary, http://oxforddictionaries.com/view/entry/m_en_gb0447820 (ed. April 2010).
[3] Cambridge English Dictionary (London)
[4] Kata perkata yang Plato berikan pada lisan Theaetetus adalah sebagai berikut: “Ia berkata bahwa ilmu adalah pendapat yang benar demi nalar (ἔφη δὲ τὴν μὲν μετὰ λόγου ἀληθῆ δόξαν ἐ$ιστήμην εἶναι)”; cf. Terjemahan Latinnya: “… inquit autem opinionem veram cum ratione scientiam esse.”
[5] Lihat Edmund Gettier, “Is Justified True Belief Knowledge?” Analysis 23 (1963), 121-123
[6] Bahwa ilmu itu dapat didefinisi telah dibahas, misalnya, oleh Imam al-Ghazaly dalam karyanya al-Mustasfa (Cairo, 1356/1937), 1:17
[7] Lihat Bertrand Russell, The Problems of Philosophy (London: Routledge, 1929).
[8] Daftar yang panjang dan bagus tentang ilmu oleh ulama diberikan oleh Franz Rosenthal dalam Knowledge Triumphant, 52-69.
[9] Untuk biografi al-Isfahani, lihat: al-Dhahabi, Siyar A’lam al-Nubala’ 18: 120; al-Safadi, al-Wafi bi al-Wafayat, 13:45; al-Dawudi, Tabaqat al-Mufassirin, 2:329; al-Suyuti, Bughyat al-Wu’at, 2:297; Yasien Mohammed, The |Path to Virtue (Kuala Lumpur: ISTAC, 2006)
[10] Al-Isfahani, Mufradat Alfaz al-Qur’an, ed. Safwan ‘A. Dawudi (Damaskus, Dar al-Qalam, 1412/1992), 580.
[11] Tentang kehidupan al-Ghazali, lihat: Ibn Khaldun, Wafayat al-A’yan, 4:216-19; al-Dhahabi, Siyar A’lam al-Nubala’ 19:322-46; al-Safadi, al-Wafi bi al-Wafayat, 12:74-77; Ibn Kathir, Tabaqat Fuqaha’ al-Shlafi’iyyah, 2:533-9. Tentang karya ilmiahnya, lihat ‘Abd al-Rahman Badawi, Mu’allafat al-Ghazali (Kuwait: Wakalt al-Marbu’at, 1977).
[12] Imam al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din (Beirut: Dar al-Fikr, 1420/1999), 1:33.
[13] Athir al-Din al-Abhari, Tanzil al-Afkar fi Ta‘dil al-Asrar, Ms. Laleli 2562 (tertanggal 686/1287), beg.; Ms. Aya Sofya 2526, fol. 13a, merujuk kepada al-Talwihat karya al-Suhrawardi, sebagaimana dicatat oleh Rosenthal, Knowledge Triumphant, 61 (note 82).
[14] Ibn Sina, al-Ta‘liqat, ed. ‘Abd al-Rahman Badawi (Kuwait),117: “al-‘ilm husul surat al-ma‘lumat fi al-nafs.”
[15] Al-Jurjani, al-Ta‘rifat (Beirut: Maktabat Lubnan, 1985), 161
[16] Rosenthal, Knowledge Triumphant, 61 (note 82).
[17] S.M.N. al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 14.
[18] Ibn ‘Arabi, al-Futuhat al-Makkiyyah, ed. Osman Yahia (Cairo: al-Maktabah al-‘Arabiyyah, 1985), 2:82.
[19] Ibn ‘Arabi, al-Futuhat, 1:92 and 1:250. Cf. Syamsuddin Arif, “Sufi Epistemology: Ibn ‘Arabi on Knowledge (‘ilm),” dalam Afkar (1999), 82-83.
[20] Lihat Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition (Leiden: E.J. Brill, 1988), 150.
[21] Lihat Nicomachean Ethics, vi. 1139a5-15 dan 1139 b14–1141 b8.
[22] Lihat Metaphysics, E (Book VI), vi. i 1–12.
[23] Lihat Dimitri Gutas, “Paul the Persian on the Classification of the Parts of Aristotle’s Philosophy: A Milestone between Alexandria and Baghdad,” dalam Der Islam 60 (1983): 255-67; J. Jolivet, “Classifications of the Sciences,” dalam Encyclopedia of the History of Arabic Sciences, ed. R. Rashed and R. Morelon (London: Routledge, 1996), 3:1008-1025; Harry A. Wolfson, “The Classification of Sciences in Medieval Jewish Philosophy,” dalam Studies in the History of Philosophy and Religion, ed. I Twersky and G.H. Williams (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1973), 1:493-545.
[24] See Rasa’il al-Kindi al-Falsafiyyah, ed. M. ‘Abd al-Hadi Abu Ridah (Cairo, 1369/1950), 363-84.
[25] Al-Farabi, Ihsa’ al-‘Ulum, ed. Cf. Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur,)
[26] Lihat Abu Sulayman al-Sijistani, Siwan al-Hikmah, ed. ‘Abd al-Rahman Badawi (Teheran, 1974), 135-6.
[27] Ibn Sina, “Risalah fi Aqsam al-‘ulum al-‘aqliyyah,” dalam Tis‘ Rasa’il fi al-Hikmah wa al-Tabi‘iyyat (Cairo: Matba‘ah Hindiyyah, 1326/1908), 104-18; diterjemahakan ke Bahasa Perancis oleh Georges C. Anawati, “Les divisions des sciences intellectuelles d’Avicenne,” dalam Mélanges de l’institute domincain d’études orientales (MIDEO) 13 (1977), 323-35.
[28] Cf. Michael E. Marmura, “Avicenna on the Division of the Sciences in the Isagoge of his Shifa’,” Journal for the History of Arabic Science 4 (1980), 239-51. Pengelompokkan yang kurang lebih sama juga didapati dalam karya Ibn Sina, Mantiq al-Mashriqiyyin (Cairo: Matba‘at al-Mu’ayyad, 1328/1910), 5.
[29] Ibn Hazm, al-Tawqif ‘ala Shari‘ al-Nujah bi-ikhtisar al-Tariq, dalam Rasa’il Ibn Hazm, ed. Ihsan ‘Abbas (Kairo,
1952), 43-55.
[30] Ibn Hazm, Maratib al-‘ulum dalam Rasa’il Ibn Hazm, ed. Ihsan ‘Abbas (Kairo, 1952), 70-72.
[31] Imam al-Ghazali, Ihya’ ‘ulum al-din, 1:9 & 26.
[32] Al-Kindi, Fi al-Falsafah al-Ula dalam Rasa’il al-Kindi al-Falsafiyyah, ed. M. ‘a. Abu Ridah (Kairo, 1950-53), 1:130, diterjemahkan dalam Alfred Ivry, al-Kindi’s Metaphysics (New York: SUNY Press, 1974), 58.