18 October 2023

Cerita LOUCA 2023 Saya adalah Cerita Tentang Serba Pertama

Selalu ada hal pertama dalam hidup ini. Sejak mulai aktif menggunakan GNU/Linux di tahun 2009, saya mulai aktif berkontribusi dengan membuat distro remaster Sundara OS di tahun 2011 sampai dengan 2017. Hal itulah yang kemudian membawa saya pada perjalanan berikutnya di LibreOffice. Berbekal kegemaran dalam memaksimalkan UI terlebih tema ikon sejak era remaster, saya mengirimkan tema ikon Karasa Jaga ke LibreOffice upstream pada tahun 2018 dan di tahun tersebut saya melamar menjadi anggota TDF (The Document Foundation). Sejak saat itu saya lebih intens berkontribusi ikon ke LibreOffice, dari mulai melakukan pembaruan major pada elementary di tahun 2018, lalu mulai melakukan pemeliharaan tema ikon Breeze dan Sifr di tahun 2019 sampai sehingga tahun 2020 saya membidani kelahiran Neo Colibre, yaitu Colibre yang disesuaikan dengan tema ikon di produk arus utama dan juga Sukapura untuk macOS. 


Atas kontribusi-kontribusi tersebut sejak 2018 sampai 2023 ini (kecuali saat pandemi Covid-19 di 2020 dan 2021) setiap tahun saya selalu diundang untuk hadir di Konferensi LibreOffice internasional yang dalam rentang tahun tersebut selalu di adakah di belahan bumi barat. Sesuatu yang menjadi kendala tersendiri bagi saya. Dengan sistem reimbursement yang berlaku, saya harus mempersiapkan dana yang relatif lumayan besar untuk dapat berangkat menghadiri acara konferensi tersebut. Untuk tiket pesawat misalnya di tahun 2019 yang berlokasi di Almeria Spanyol harus mempersiapkan anggaran paling tidak sekitar Rp 20 juta hampir 4 (empat) kali UMP (Upah Minimum Provinsi) DKI Jakarta. Belum lagi biaya penginapan yang mesti dihitung. Apalagi saya juga perlu mempersiapkan Visa yang tentu menuntut biaya tambahan yang sayangnya bagian ini tidak dibantu. Praktis saya melewatkan acara demi acara tersebut hingga tulisan ini terbit.


Kemudian tibalah di tahun 2023 ada acara LibreOffice Conf. Asia x UbuCon Asia 2023 (LOUCA23) yang diadakan di Indonesia, lebih tepatnya di UNS (Universitas Sebelas Maret) Surakarta/Solo. Di acara tersebut saya mengirimkan Call for Papers dengan judul "The Upfront Troops in The UI: Behind The Scene of Creative Design Works of LibreOffice Icon Themes". Alhamdulillah makalah saya diterima dengan baik oleh panitia dan secara otomatis saya menjadi salah satu pembicara dan berkesempatan bertemu dengan banyak pegiat/aktivis free/libre open source lokal dan internasional. Ya minimal di kawasan Asia lalu cerita pun dimulai...


Saya memutuskan ke Surakarta dengan moda transportasi yang kiranya belum pernah saya coba. Kemudian dengan pertimbangan utama tersebut saya memutuskan menggunakan bus sleeper walaupun saya ternyata kebagian bus sleeper waktu kepulangan, sementara pas keberangkatan hanya dapat bus Double Decker. Yang menarik, di hari keberangkatan Kamis 5 Oktober 2023 saya dapat jadwal pukul 19:45 WIB. Sore hari itu saya masih ada pekerjaan dari kantor sehingga mengakibatkan saya berangkat sekitar pukul 19:00 WIB dari rumah. Saya sudah siapkan wudhu siapa tahu masih sempat shalat Isya di Terminal Kampung Rambutan. Saya cek di peta perjalanan memakan sekitar setengah jam lebih dan ketika sudah naik ojek daring ternyata jalan begitu macet luar biasa tidak seperti biasanya. Saya begitu was-was bercampur deg-degan karena waktu tempuh yang semakin lama. Alhamdulillah dengan kegesitan abang ojeknya dan atas izin Allah saya masuk ke bus tepat pukul 19:45. Sungguh di luar prediksi BMKG!!! 

Mengupload: 887737 dari 887737 byte diupload.
Naik bus Indorent yang nyaman banget


Kembali ke pemilihan moda transportasi pada bus sleeper, di daerah Jawa Barat tidak ada bus semacam ini. Waktu ke salah satu kota di Jawa Timur pun saya pernah pakai pesawat terbang dan sewa bus ukuran sedang. Saya baru tahu betapa mengenaskannya pelaju bus di Jawa Barat setelah mencoba bus keren macam ini. Ini menjadi pengalaman pertama saya naik bus nyaman: posisi duduk yang lega sehingga kaki bisa selonjoran, ada selimut yang dicuci wangi dengan binatu / laundry, malah disediakan makan malam beserta sebelumnya kudapan ringan mie dalam kemasan dan air teh atau bisa juga air kopi. Sesuai informasi di awal keberangkatan dari pramugari (aneh sekali saat mendengar pengumuman nama supir disebut sebagai kapten dan asistennya menjadi pramugari haha), pukul 01:00 dini hari bus melipir ke rumah makan. Kesempatan ini saya pakai untuk menunaikan sholat Isya karena baru sempat sholat Isya lihurmatil waqti (untuk menghormati waktu agar tidak terkena dosa) di dalam bus. Sementara makan malam saya bungkus. Yang membuat saya heran lagi, dengan jalur tempuh sekitar 529 km bisa ditempuh dalam waktu 8 jam-an! Padahal saya ke rumah orang tua dari Jakarta yang berjarak 250 km-an butuh waktu 7 jam-an baik naik bus ataupun naik kereta. Sudah nyaman cepat pula..


Setelah sampai di Terminal Tirtonadi di waktu Shubuh Jum'at 6 Oktober 2023, saya sebenarnya agak kebingungan mau ke mana karena acara sendiri baru mulai esok hari. Saya berinisiatif berkabar di grup tapi sepertinya belum ada orang yang bisa saya sambangi. Di saat itu saya pun belum memutuskan tempat penginapan dengan maksud saya ingin mencari tempat penginapan yang paling banyak dipilih dan kalau bisa lebih dekat ke lokasi. Situasi belum berubah sampai akhirnya atas tautan informasi dari Mas Saputro Aryulianto saya memutuskan menginap di UNS Inn, hotel yang paling dekat dengan kampus UNS (malah sepertinya satu kawasan dengan kampusnya). Sempat menunggu mentari terbit di Masjid Al Musafir yang berada di dalam terminal sambil sarapan dengan menu makan bungkusan semalam, saya "terusir" karena masjid mau dibersihkan. Saya pindah ke area tunggu walaupun masih kebingungan hendak pergi ke mana.


Dengan kondisi badan yang lelah dan mengantuk dan belum ada tanggapan dari kawan-kawan di grup saya memutuskan ke hotel pukul 07:00 pagi. Walaupun check in baru bisa dilakukan pukul 14:00, saya minta izin untuk menumpang di ruang resepsionis sembari melakukan revisi terhadap materi sampai pukul 11:00 saya sudah dipersilahkan check in lebih awal. Setelah proses penelusuran sayang ternyata di hotel tersebut hanya ada satu peserta yang menginap yaitu Mas Bayu Aji. Sebagian pemateri/panitia menginap di Ibis Style Solo dan sebagian lagi di Asian Hotel. 



Menunggu Penjemputan Ojek Daring


Pukul 16:00 lewat saya berjalan kaki menyusuri jalan besar depan UNS untuk mengisi perut yang kosong. Saya mencari tempat makan yang tidak terlalu di pinggir jalan mengingat potensi terkontaminasi polusi haha. Saya menemukan tempat makan agak menjorok ke dalam dan memilih menu soto ayam. Saya menyodorkan uang 100 ribuan saat menu sudah dihidangkan dan duarrr kembaliannya Rp 93 ribu. Haha murah sekali untuk orang Jakarta seperi saya yang biasa makan soto ayam plus nasi minimal keluar uang Rp 15 ribu.

UNS yang Berbukit-bukit tapi Cari Makan Sekitar Agak Sulit Wkwkwk


Menjelang Maghrib, saya melihat di grup kedatangan Bang @fenris / Khairul Aizat Kamarudzzaman ke lokasi venue di gedung F FKIP. Saya berinisiatif menghubungi dia untuk bisa diberikan tumpangan sambil ngobrol-ngobrol lah. Alhamdulillah saat Maghrib itu kendaraan dia tiba di lokasi depan UNS Tower Hotel (persis depan hotel UNS Inn). Di lokasi venue saya berkenalan dengan banyak sekali orang yang selama ini saya tahu perbincangannya di media sosial atau platform grup. Benar, ini adalah kali pertama saya menghadiri "kopdar" besar bersama pegiat free/libre open source. Yang mengejutkan lagi, saya sempat dianggap dari Malaysia oleh beberapa orang seperti Mas Andik Nur Ahmad dan satu lagi saya lupa karena saya selalu mengobrol dengan Bang Fenris dan Bang Muhammad Syazwan Md Khusaini. 

Dari kanan ke kiri: Aizat aka fenris, saya sendiri, Wan, Kho Zhong Zheng aka ZZ, Youngbin Han, Saputro Aryulianto


Setelah menyapa dan mengobrol beberapa waktu sampai agak malam dengan beberapa panitia saya pun kembali ke hotel jalan kaki menggunakan panduan peta daring. Dengan kondisi perut lapar saya terhenyak lihat postingan grup Telegram ada foto makan malam bersama. Wah gini nih kalau tidak sehotel sama banyak orang jadi gak bisa ngajak bareng makan haha. Tak ada pilihan, pesan makanan secara daring menjadi jalan keluar. Lagi-lagi di sini saya kaget, harga makanan daring kok masih aja lebih murah bahkan dari harga beli langsung di Jakarta.


Hari Pertama Acara


Masuk ke hari pertama acara, saya bergegas langsung jalan kaki ke main hall yang merupakan tempat saya menyampaikan materi. Tapi sebelumnya, saya belum hapal sebenarnya lokasi karena sebelumnya diantar Fenris. Proses menuju lokasi gedung F FKIP cukup drama juga, saya nyasar beberapa kali walaupun menggunakan aplikasi peta daring. Bolak-balik jalan di siang yang panas cukup membuat kepala pening :D sampai akhirnya bisa masuk ke main hall. Namun berhubung saya mengisi di hari kedua, saya gunakan kesempatan ini untuk melihat dan memperhatikan situasi kondisi di lokasi. Main hall ini bagi saya mengingatkan pada ruang auditorium kampus saya dulu di Universitas Paramadina. Saya perhatikan penyampaian materi di main hall punya tantangan tersendiri. Dengan ruangannya yang sangat besar dan menampung banyak orang, mempertahankan fokus peserta ke materi menjadi sangat menantang. Banyak sekali para peserta sibuk mengobrol masing-masing atau ke booth-booth sponsor di sekitarnya. Tapi ya itu buat saya wajar, karena tidak semua pemateri (dan kemungkinan besar termasuk saya) yang bisa mempertahankan fokus perhatian dan mengajak peserta merasa terlibat dan antusias sampai selesai. Belum jika yang disampaikan adalah perkara-perkara teknis. Bahkan mungkin banyak pemateri yang tidak terbiasa atau malahan pertama kali berbicara di depan publik. Makin runyam kalau memakai pengantar Bahasa Inggris. Untuk itu saya putuskan sepertinya besok memakai pengantar Bahasa Indonesia agar tujuan materi lebih bisa disampaikan.


Saya juga menyempatkan menghadiri materi yang disampaikan Lothar K. Becker (Co-Chair LibreOffice Certification - Jerman) dan Franklin Weng - Taiwan tentang Program Sertifikasi LibreOffice di Ruang 1G110. Perlu pembahasan khusus terkait ini, tapi faktualnya dari Indonesia belum ada yang tersertifikasi. Ya semacam masalah ayam dan telur ini mah.


Selepas acara panitia menawarkan makan malam untuk para pembicara di Palm Ethnic Resto. Di sini makanannya menurut saya super enak, agak menyayangkan saya mengambil porsi kecil haha. Ada kejadian yang agak memalukan di tempat ini, cuman saya tidak akan menceritakannya di sini. Japri aja kalau mau tahu ya


Hari Kedua Acara


Tibalah hari Ahad 8 Oktober 2023 saya mengisi materi. Saya menyampaikan materi setelah Bang Farhan Perdana yang asyik banget itu selesai. "Waduh kebagian yang abis yang asyik", pikir saya. Total salindia (slide) saya adalah 41 halaman (dikurangi halaman judul dan halaman penutup), dengan waktu 45 menit harusnya satu salindia mesti dihabiskan dalam 1 menit. Saya juga sudah mengingat-ingat materi ajar public speaking Pak Anies Baswedan waktu masih jadi rektor kampus. Namun pas naik ke tempat yang disediakan saya merasa tidak bisa menerapkannya dengan baik. Tak terasa 45 menit berlalu begitu saja saat saya memaparkan pembahasan di salindia ke-39. Saya tahu waktu saya sudah habis karena jreng jreng jreng ternyata ada salah seorang panitia yang bertugas jadi pengingat waktu di depan yang baru saya ketahui keberadaannya saat itu juga karena dia mengangkat kedua tangannya membentuk huruf T. Padahal ya materi intinya itu hakikatnya ada di salindia 40 sampai dengan selesai, mana ada niatan buat praktik tipis-tipis tadinya pada akhirnya gak kesampean juga.  


Boleh dibilang saya kurang cermat mengalokasikan waktu presentasi, malah di awal saya terlalu banyak diskusi dengan panitia tentang kemungkinan menggunakan laptop sendiri yang akhirnya batal juga  bahkan yang agak fatal saya tidak mengetahui adanya sang pengingat waktu di kursi depan wkwkwk. Suatu lesson learned yang sangat berharga.




Malam kedua ini tidak luput juga panitia mengajak makan malam di Restoran Tirai Bamboe, salah satu tempat makan yang ternyata tidak ada bambu-bambunya sama sekali haha. Saya mengobrol cukup intens dengan Mas Utian Ayuba bosnya B-Tech yang ternyata satu mejanya itu kemungkinan karyawan-karyawannya. Salut euy ketemu pebisnis di bidang free/libre open source yang juga mengajak karyawannya ikut aktif di komunitas.



Hari Ketiga Bukan Acara


Hari ketiga memang bukan bagian dari acara karena di hari terakhir panitia menawarkan One Day City Tour. Saya memutuskan pindah ke Hotel Ibis Style Solo karena ada lebih banyak orang yang memilih penginapan di situ. Yang saya ingat ada Pak Ahmad Haris, Lothar, Franklin, Pak Didiet A. Pambudiono dengan tujuan agar lebih mudah berkomunikasi. Sayangnya mungkin karena kecapean saya kebablasan tidur setelah shalat Shubuh hingga sarapan agak siang. Dengan begitu saya memutuskan untuk menyusul ke lokasi. Lokasi pertama yang saya susul di Keratonan Surakarta. Tiket masuknya Rp35.000,00. Di situ saya izin shalat dulu ke seseorang di rombongan namun ternyata ada miskomunikasi sehingga keluar dari keraton saya tertinggal (kembali) haha. Lanjut ojek daring menyusul lokasi selanjutnya yaitu Masjid Raya Syeikh Zayed saya akhirnya bisa naik bus untuk tujuan-tujuan selanjutnya: makan siang di Adem Ayem Resto lalu ke The Heritage Palace dan terakhir membeli oleh-oleh di Javenir.


Boleh dibilang One Day City Tour ini berkurang kema'syukannya karena cuaca yang cukup panas membakar Surakarta. Tapi saya merasa bersyukur bisa ikut menikmati keindahan Surakarta. Kota pertama di Jawa Tengah yang saya kunjungi. Ada banyak sekali hal pertama yang saya alami berkat ikut LOUCA 2023 ini. 


Saya ucapkan terima kasih khususnya kepada sponsor yang mendukung terselenggarannya acara ini juga para panitia yang sudah bersusah payah menginfaqkan tenaga pikiran dan waktu yang tentunya tidak sedikit. Saya tentu tidak tahu detailnya namun saya merasa senang sekali banyak sekali anak-anak muda yang terlibat aktif. Saya juga berharap adanya regenerasi berkelanjutan terutama buat saya yang saat ini menjadi pemelihara aktif satu-satunya tema ikon LibreOffice upstream. Tidak mesti teman-teman wajib jago coding/pemrograman untuk ikut aktif berkontribusi, ada banyak wilayah yang bisa dijamah. Jika ada yang perlu sesi khusus kembali karena saya sebenarnya merasa berhutang tentunya Insya Allah saya tidak merasa keberatan.














06 December 2019

Mengapa Anda Harus Menghindari Format Standar Semu OOXML

Catatan: Ini adalah terjemahan bebas dari hasil wawancara Swapnil Bhartiya kepada Italo Vinogli, salah satu penubuh The Document Foundation; yayasan di balik proyek LibreOffice dan The Document Liberation.




Pemerintah Inggris baru-baru ini mengumumkan bahwa mereka akan menggunakan  standar dokumen yang memenuhi ISO, yaitu ODF (Open Document Format) untuk melihat dan membagikan dokumen pemerintah. Ini adalah langkah yang sangat penting karena akan merusak kunci vendor (vendor lock) Microsoft di mana saat ini Microsoft telah menjadi satu-satunya perusahaan yang berbasis di Amerika Serikat yang mampu memiliki dan mengendalikan semua dokumen yang dibuat di atas bumi ini. Microsoft terkenal karena menggunakan cara yang tidak etis untuk mempersulit pihak lain untuk menawarkan segala jenis interoperabilitas dengan produk mereka karena hal tersebut mampu mengancam pangsa pasar Microsoft.

Jadi kami menghubungi Italo Vignoli dari The Document Foundation, organisasi yang bertanggung jawab untuk mengembangkan LibreOffice yang merupakan forking dari OpenOffice.org, untuk memahami apa saja risiko menggunakan OOXML ...

Swapnil Bhartiya: Apa masalah sesungguhnya dengan menggunakan produk Microsoft atau format OOXML (ekstensi DOCX, XLSX, dan PPTX) secara
praktis dan teknologi?

Italo Vignoli: MS Office mengunci pengguna tidak hanya dengan format propietary, tetapi juga dengan format-format standar semu (pseudo-standard) OOXML. Hal ini terjadi karena cara Microsoft menangani format yang seharusnya standar.

Faktanya, setiap versi MS Office sejak 2007 memiliki implementasi OOXML yang berbeda dan tidak standar, yang didefinisikan sebagai "transisi" karena berisi elemen yang seharusnya tidak digunakan lagi di tingkat standar, tetapi masih ada karena alasan kompatibilitas.

Meskipun LibreOffice berhasil membaca dan menulis OOXML dengan cara yang cukup tepat, menjadi mustahil untuk mencapai interoperabilitas yang sempurna karena perbedaan versi non-standar ini.


Selain ketidakkompatibelan format, Microsoft - dengan OOXML-nya - telah memperkenalkan elemen yang dapat mengarahkan pengguna untuk menghasilkan dokumen yang tidak dapat dioperasikan, seperti C-Fonts (misalnya, Calibri dan Cambria).

C-Font adalah pilihan bawaan untuk dokumen MS Office, tetapi lisensinya melarang pengguna aplikasi perkantoran lain untuk mengadopsi font-font tersebut untuk dokumen apa pun (karena Anda harus memiliki lisensi Microsoft Office).

Jadi, pengguna LibreOffice yang menerima dokumen OOXML akan dapat membukanya dengan benar, tetapi dokumen tersebut tidak akan terlihat sama karena C-Font akan secara otomatis diganti dengan font lain.

Yang sering terjadi adalah pengguna LibreOffice akan berpikir bahwa dokumen tersebut tidak terlihat sama penyebabnya adalah karena LibreOffice dan bukan karena Microsoft sengaja membuat pengguna masuk ke dalam “ketidakcocokan visual” ini.

Jadi, menggunakan MS Office dengan format OOXML asli adalah masalah bagi semua orang, dan semakin banyak orang menggunakan OOXML, semakin banyak dokumen yang tidak standar.

Swapnil: OOXML disetujui "secara ilegal" sebagai standar ISO, meskipun ODF sudah menjadi standar. Berapa banyak spesifikasi OOXML yang digunakan dalam produk Microsoft sendiri?

Italo: Saya tidak setuju dengan pernyataan bahwa OOXML disetujui "secara ilegal". Di sisi lain, OOXML disetujui sesuai dengan proses "jalur cepat" yang sama sekali tidak memadai untuk standar seperti itu, dan ini memberi Microsoft peluang untuk menggunakan "politik" daripada proses yang biasa (yang dapat menunjukkan bahwa dua standar dokumen adalah omong kosong).

Sebenarnya, Microsoft menggunakan spesifikasi OOXML, tetapi tidak menggunakannya secara konsisten di antara versi-versi perangkat lunak sebagaimana sifat suatu standar berlaku. Jadi, saat ini kita memiliki OOXML 2007 Transitional, OOXML 2010 Transitional dan OOXML 2013 Transitional, selain OOXML 2013 Strict (yang bukan merupakan pilihan bawaan Microsoft Office 2013, dan karenanya tidak ada yang menggunakannya).

Pengguna MS Office tidak menyadari keadaan ini, dan menghasilkan "pelangi" versi dokumen yang merupakan masalah untuk interoperabilitas.

Swapnil: Interoperabilitas antara berkas OOXML yang dibuat dengan MS Office dan aplikasi lainnya terlepas itu LO, Google Documents, atau Calligra adalah mimpi buruk. Apa alasan ketidakcocokan ini?

Italo: LibreOffice adalah paket aplikasi perkantoran merdeka yang menawarkan tingkat interoperabilitas terbaik dengan dokumen OOXML, meskipun tidak dan tidak akan pernah sempurna. Masalah ini terkait dengan manajemen non standar dari standar OOXML oleh MS Office, dan juga untuk C-Font.

Tentu saja, Microsoft telah memperkenalkan C-Font di saat mereka harus mengganti format dokumen propietary dengan format yang standar (walaupun dikelola dengan salah) untuk secara artifisial memperluas masalah interoperabilitas ke tampilan visual.

Microsoft sangat efisien dalam hal mengunci pengguna, bahkan dengan solusi kreatif. Tentu saja, kunci mengunci tidak melihat interoperabilitas, yang merupakan konsep yang berlawanan. Karena itu, segala jenis interoperabilitas yang berasal dari Microsoft akan menjadi suatu penguncian "kreatif".

Swapnil: Apakah Microsoft melakukan sesuatu untuk mempersulit vendor lain untuk bekerja dengan OOXML?

Italo: Microsoft tampaknya berusaha membuatnya lebih mudah untuk bekerja dengan OOXML. Baru-baru ini, perusahaan tersebut telah merilis OOXML SDK di bawah Lisensi Apache (tidak diragukan bahwa Microsoft akan merilis sesuatu dengan lisensi open source sejati seperti GPL, LGPL atau MPL).
Namun, tindakan nyata terhadap interoperabilitas tidak akan pernah mudah dikenali. Microsoft terlalu pintar untuk membiarkan ekosistem mencurigai masalah potensial dengan format dokumen berdasarkan pada hambatan khusus yang dibangun dalam standar. Sebagai contoh, butuh waktu yang cukup lama untuk menemukan trik C-Font yang dibangun ke dalam versi terakhir dari MS Office, dan sebagian besar pengguna - termasuk manajer IT perusahaan - masih sepenuhnya tidak menyadarinya.

08 September 2019

Mengubah Tampilan QT4 di Ubuntu (MATE) 18.04 Agar Terintegrasi dengan Tema Sistem

Aplikasi pengelola sandi andalan saya, KeePassX yang menggunakan mesin QT di Ubuntu MATE 18.04 tampilannya seperti pendatang dari tahun 1990-an, akhirnya setelah mencoba beberapa tutorial, mulai dari pasang Adwaita-QT, menambahkan `export QT_QPA_PLATFORMTHEME=gtk2` dan `export QT_QPA_PLATFORMTHEME=qt5ct`di `~/.profile`

semua tidak berhasil saya sampailah pada percobaan sendiri pasang paket qtconfig-qt4 yang di Ubuntu 16.04 saya pasang juga kemudian mencoba mengubah preferensi penampilan GUI style menjadi GTK+ dari Default Setting:



Akhirnya KeePassX saya sudah jadi penduduk setempat. :)





02 June 2018

Tema Ikon Karasa Jaga untuk LibreOffice

Jauh sebelum era ikon flat menyerbu, sekitar lima tahun ke belakang dunia desktop GNU/Linux seperti memiliki masalah serius di antarmuka pengguna (UI/User Interface) yang tentu berpengaruh besar terhadap pengalaman pengguna (UX/User Experience). Saat itu satu-satunya (ya, satu-satunya) tema ikon yang sangat memikat hati saya adalah tema ikon Oxygen. Wow, begitu keren, bertekstur, realistis dan profesional!!

OK sebenarnya saya bingung mau bercerita dari mana. Jadi, tahun-tahun awal saya terpapar GNU/Linux (2009/2010) saya suka sekali mencoba-coba mengkreasikan ikon sendiri, karena jujur menggambar ikon dan logo adalah sesuatu yang sangat membuat saya ketagihan. Kadang saya lupa makan lupa mandi kalau sudah keasyik-ma'syukan dengan urusan satu ini. Bahkan, setelah punya istri pun acap kali lupa dunia sampai istri saya cemburu, xixixixi.

Sebenarnya apa yang mau saya katakan adalah proyek ikon itu sudah saya lakoni sejak ya katakanlah 2010. Saat itu dengan semangat menggebu-gebu dan penasaran yang tak hentinya akan perangkat lunak gratisan dan halal bernama Inkscape (Oh how I love you so much, terima kasih telah menggeser mantanku dulu waktu SMA si program pengolah vektor yang ada bunglonnya). Waktu itu ikonnya bergradasi, berwarna cerah dan norak abis hahaha. Saya juga lupa entah di mana salinan berkasnya. Ikon tersebut saya beri nama "Sundara", sebelum akhirnya nama tersebut saya dedikasikan untuk proyek remaster abal-abal yang sampai sekarang masih bertahan : Sundara OS (maaf masih blogspot karena situs di hosting lama mati, dan gak mau beli baru karena mesti bayar). Ikon tersebut lebih banyak nyontek tema ikon Win2-7 ala-ala Windows 7 yang kalau itu masih baru-baru. Sampai akhirnya saya diperkenalkan pada Oxygen.

Pengembaraan saya di dunia ikon ini semakin menarik dan liar (karena saking ngabisin banyak waktu muda saya heuheu) karena saya berambisi untuk membuat tema ikon profesional, keren, dan super lengkap kap kap kap kap....... Walhamdulillah selama 2012 sampai 2014 tema ikon yang saya beri nama Karasa Jaga inilah terus tumbuh. Bermodal awal dari campur aduk tema ikon yang ada, dan waktu awal hanya disediakan ukuran 48 px dan 128 px yang mana ukuran 48 px nya sendiri adalah hasil scaling-down yang ukuran 128 px. Artinya, awalnya cuma satu ukuran. Sampai pada tahap saya buatkan semua ukuran secara telaten dari 16 px, 22 px, 24 px, 32 px, 48 px, 64 px dan tentu 128 px. Hampir boleh dikatakan sebagian besar diambil dari sumber vektor tema ikon Oxygen.

Sampai pada tahun 2014 saya membuat desain ikon direktori sendiri (dan waktu itu terhitung cepat sekali hanya dalam waktu kurang dari satu hari di siang hari alias kurang dari 12 jam --lupa tepatnya) yang saya beri tag Karasa Jaga Next. Saya tandai seperti itu karena selain desain direktori yang menjadi penanda utama suatu ikon benar-benar baru, saya juga bertekad menambah ukuran yang lebih besar untuk layar HiDPI, dari mulai 256 px, 512 px sampai 1024 px.

<>

Bahkan lebih dari itu, saya juga merancang ikon Karasa Jaga untuk aplikasi-aplikasi yang ikonnya hard coded, alias menggunakan ikon sendiri di pustakanya. Kenapa saya ngotot ganti? Karena memang ikon mereka itu adalah hmmm Tango, suatu ikon yang tidak pernah saya senangi. Akhirnya Audacious, Scribus, Zekr dan apalagi ya itu semua saya ganti menggunakan Karasa Jaga di Sundara OS.


Ikon Karasa Jaga ini menjadi ikon bawaan desktop Sundara OS sampai saat ini. Saya sejak awal memiliki ambisi untuk menjadikannya super lengkap, dan alhamdulillah sangat bisa digunakan di hampir semua jenis lingkungan desktop, entah Unity yang sudah diproklamasikan mati itu, GNOME, Mate, XFCE, LXDE, KDE maupun Cinnamon. Untuk desktop kekinian macam Budgie, Pantheon atau Solus saya kurang begitu yakin karena sudah lama tidak melakukan pemeriksaan kompatibilitas lagi seperti dulu karena faktor m alias males hehe. Tapi seriusan, Karasa Jaga ini tema ikon pualing pol lengkap yang pernah saya temui di alam semesta ini (nyahaha berlebihan nih) . Ukurannya saja saat ini sekitar 133 Mb-an saat dalam bentuk direktori. Bandingkan dengan tema bawaan GNOME: Adawaita, itu cuman 4,4 Mb atau bahkan dengan ikon bawaan Ubuntu yang wajar saja relatif lebih banyak menghabiskan ruang karena bentuk berkasnya vektor itu: Humanity itu cuma menghabiskan ruang 13,9 MB saja. Saya tidak bisa membayangkan kalau Karasa Jaga ini dipaketkan dalam bentuk berkas vektor juga. Ya, paling mendekati walaupun belum sampai setengahnya sih ya tema ikon induknya yaitu Oxygen, sekitar 37,1 MB. Itu tadi kita bicara total ukuran seluruh berkasnya, belum bicara jumlah berkasnya.


Nah, terkait ambisi di atas itu saya juga akhirnya berinisiatif untuk membuat tema ikon Karasa Jaga untuk LibreOffice. Sejak bulan April 2018 lalu entah kenapa saya jadi terpacu untuk menyempurnakan Karasa Jaga di LibreOffice, mungkin gereget aja ya sampai saat ini masih banyak yang masih fallback ke si Tango. Akhirnya saya menostalgia masa dulu kala. Mulai mendesain dan  melakukan pengetesan hasil. Bedanya, kalau dulu serba manual pake sistem GUI, sekarang saya otomasi semua menggunakan skrip bash; jika dulu kerjaan saya simpan di lokal dan hasilnya bisa dinikmati hanya terbatas di desktop Sundara OS, sekarang semua orang bisa menikmatinya, dan kerjaan saya itu baik berkasnya maupun perubahan-perubahannya semua terrekam dengan baik. Itulah keindahan dari sistem kendali versi Git. Saya ini bodoh sekali ya kenapa gak dari dulu pake itu semua, kan gak perlu ngelus-ngelus dada nginget-nginget semua kerjaan hilang karena harddisk yang rusak fisiknya, heuh. Ya, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali lah ya. Sisa karya ikon Karasa Jaga yang bisa saya selamatkan, itupun hasil ekstrak dari ISO remaster Sundara OS yang tentu tidak semutakhir kerjaan saya di harddisk laptop lama dan penyempurnaan sedikit saya simpan semua di Github.

Di situ sudah ada skrip otomatisasi untuk pemasangan dan penghapusannnya.

https://github.com/rizmut/karasa-jaga-icon-theme

Untuk LibreOffice ada di

https://github.com/rizmut/libreoffice-style-karasa-jaga


Sampai bulan kemaren saya selalu membagikan alamat proyek ikon saya yang kedua itu untuk meminta saran balik (dan gak ada yang ngasih saran apapun, well). Pas banget qadarullah di grup Telegram LibreOffice sedang (di)ramai(kan) tema ikon Colibre yang sedianya akan hadir di versi 6.1. Tema ikon Colibre ini mengambil HIG (Human Interface Guideline)-nya tema di Windows 10, plus dia juga menggunakan palet warna dari Windows 10 tapi dibuat dari nol agar tidak melanggar lisensi. Kudos buat Andreas Kainz.

Balik lagi ke grup Telegram. Nah, saya akhirnya merasa terbantu dengan tema ikon Colibre ini karena dia memang akan menjadi ikon kandidat kuat pengganti tema ikon Galaxy yang sebelumnya digunakan oleh OpenOffice.org dan diwariskan ke LibreOffice menjadi tema ikon fallback selama bertahun-tahun. Tujuaannya sih menyediakan dukungan penuh pada antarmuka Muffin yang salah satunya yang sering diomongin ya Tabbed Bar ala-ala Fluent UI alias Ribbon Interface-nya Microsoft Office itu, yang mana Muffin dengan segala varian di dalamnya (Tabbed group, Tabbed compact, Groupedbar full, Groupedbar Compact) itu membutuhkan ikon yang lebih banyak dengan ukuran lebih besar. Jadi si Colibre ini dibuat agar menjadi tema ikon super lengkap. OK, dari sana saya rajin sekali mengunduh daily build master LibreOffice 6.1 alpha untuk melakukan sinkronisasi antara Karasa Jaga dengan Colibre agar bisa semakin lengkap. Sampai pada akhir April Andreas Kainz, sang desainer Colibre meminta saya untuk memasukkan Karasa Jaga ikon ke LibreOffice core, alias masuk ke master LibreOffice.

Well, saya mendengar itu awalnya ragu, apakah pantas tema ikon grasak-grusuk ini masuk ke core? Belum lagi denger Heiko Tietze, seorang anggota The Document Foundation yang menyarankan saya untuk sekadar menyediakan Karasa Jaga sebagai ekstensi semata (walau akhirnya gagal saya publikasikan di situs ekstensi LibreOffice karena masalah usabilitas web, tak tahu lah). Saya agak gak PD juga sih. Hmmm, tapi bismillah saya coba dulu dengan membuat tiket di BugZilla LibreOffice. Tadaaa munculah tdf#117342 (https://bugs.documentfoundation.org/show_bug.cgi?id=117342).

Saya tidak sabar menunggu tanggapan dari komunitas, pengembang dan sukarelawan sekalian dan hasilnya? Empat orang setuju dan satu orang tidak setuju. Booom, saya pun akhirnya diarahkan untuk membuat patch terkait ini. Ya, walaupun sempat salah di sana-sini terutama alur kerja Git mereka yang cukup membingungkan, akhirnya saya pun berhasil menaikkan Karasa Jaga ke core. Bilang apa? Horeeeeeeee, eh alhamdulillaaaaah. Untuk pertama kalinya juga saya bilang hamdalah di grup Internesional itu hehehe.

Beberapa hari kemudian ada surel (surat elektronik) masuk, dan apaah? Saya dapet sertifikat penghargaan untuk patch pertama di LibreOffice. Seneng sih buat saya mah atuh. Seumur hidup baru kali ini saya benar-benar merasa berkontribusi dan jadi bagian komunitas besar FLOSS (Free/Libre Open Source Software). Ya, sebelumnya sih pernah juga, paling membantu penerjemahan atau dokumentasi. Tapi tidak pernah memberikan sumbangsih yang memang menjadi kegemaran saya. Ini jadi sesuatu banget, istimewa pokona mah.


Sebagai maklumat tambahan bahwa selama ini LibreOffice hanya menggunakan ukuran ikon 16 px dan 24 px (pengecualian tema Oxygen yang 22 px), maka dengan semakin maraknya layar besar, kebutuhan untuk ikon yang lebih besar pun semakin mendesak sampai akhirnya muncul tema ikon Breeze (dari KDE Plasma 5) yang mendukung ukuran 32 px.

Nah, dari keseluruhan tema ikon LibreOffice yang ada itu (Industrial, Tango, High Contrast, Breeze, Elementary, Colibre) setelah saya hitung-hitung Karasa Jaga lah yang paling lengkap. Berikut hasil hitungan kasar saya terhadap jumlah seluruh berkas bitmapnya masing-masing pada tanggal 22 Mei 2018 lalu

Breeze: 2664
Colibre: 2912
Elementary: 1830
Galaxy: 3539
Karasa Jaga: 4719
Sifr: 1305
Tango: 1219

Karasa Jaga memang mewarisi kelengkapan Colibre sekaligus ukuran 32 px nya yang sudah lengkap semua sementara Colibre belum mendukung ukuran 32 px. Ringkasnya, saat ini hanya ada dua tema ikon LibreOffice yang sudah mendukung ukuran 32 px, yaitu Breeze dan Karasa Jaga. Sementara dari dua tema ikon tersebut Karasa Jaga-lah yang memiliki varian ikon yang menyamai kelengkapan Colibre untuk ukuran 16 px dan 24 px. Perbandingan ini ya saat artikel ini ditulis.

Kabar mutakhir (15 Juni 2018) Andreaz sedang mengerjakan Colibre ukuran 32px.


Oh ya, mungkin ada yang bertanya, apa itu "Karasa Jaga", karena di grup yang sama juga ada yang bertanya

Ini jawaban saya:

Something visioner, "Karasa" means "feel", "Jaga" means "future". Those words is a Sundanese phrase. In the simplest form the meaning is "feel the future ". It teach us to be patient, to be resilience to do what would be a good thing in the future, what help us to reach our dream in the future. 😇😊
Bagi yang sudah tidak sabar ingin mencoba Colibre, dan juga Karasa Jaga, bisa mengunduhnya di alamat di bawah ini. Pilih sesuai sistem operasi dan arsitektur Anda. Sekalian cari-cari awakutu (bug) juga ya biar makin keren si LibreOffice-nya.

http://dev-builds.libreoffice.org/daily/libreoffice-6-1

02 October 2017

Instalasi dan Konfigurasi Server MySQL 5.7 pada CentOS 7 untuk Akses Jauh (Remote Access) dari Jaringan Lokal

Sebagaimana diketahui, MySQL adalah sistem manajemen basis data relasional / Relational Database Management System (RDBMS) kode sumber bebas terbuka (free open source) yang sangat populer. Dalam kesempatan kali ini saya akan berbagi cara instalasi MySQL versi 5.7 pada CentOS atau Red Hat 7 melalui repositori Yum serta cara megizinkan akses ke MySQL tersebut dari jaringan lokal.

Tahap Instalasi MySQL Server

Menambahkan Repositori Yum Local

Dalam kesempatan ini kita akan menggunakan repositori Yum MySQL resmi dari Oracle. Repositori ini selain menyediakan MySQL server dan client, juga menyediakan utilitas MySQL, MySQL Workbench, Connector/ODBC, dan Connector/Python. Skenario yang digunakan adalah pemasangan baru server MySQL, bukan penggantian atau upgrade server MySQL yang sudah ada.


Untuk menambahkan repositori Yum MySQL resmi kita harus mengunduhnya dari situs Oracle. Pada bagian Select Operating System, pilih Red Hat Enterprise Linux/Oracle Linux pilih Red Hat Enterprise Linux 7 / Oracle Linux 7 (x86, 64-bit), RPM Package MySQL Server atau Red Hat Enterprise Linux 7 / Oracle Linux 7 (x86, 32-bit), RPM Package MySQL Server kemudian klik Download. Diperlukan akun untuk melakukan pengunduhan (atau kalau lagi males bisa pake Bugmenot) (versi terakhir saat artikel ini ditulis adalah 5.7.19).

Pasang paket yang telah diunduh dengan perintah sebagai berikut:
yum localinstall mysql57-community-release-el7-7.noarch.rpm

Pemasangan di atas sekaligus selain menerapkan repositori baru juga mengunduh kunci GPG untuk pemeriksaan integritas paket.

Pastikan repositori Yum MySQL sudah berhasil ditambahkan dengan perintah sebagai berikut:
yum repolist enabled | grep "mysql.*-community.*"

Memasang MySQL

Pasang MySQL dengan perintah di bawah
yum install mysql-community-server

Menjalankan Server MySQL

Jalankan layanan MySQL dengan perintah di bawah
systemctl start mysqld

Periksa status layanan MySQL
systemctl status mysqld

Pastikan versi MySQL yang terpasang
mysql --version

Mengamankan Pemasangan MySQL

Diperlukan perintah mysql_secure_installation untuk mengamankan pemasangan MySQL dengan menjalankan pengaturan penting seperti sandi bagi root, menghapus pengguna anonim, menghapus login root, dan lain sebagainya.

Sebagai catatan, MySQL versi 5.7 ke atas membuat sandi acak yang disimpan di /var/log/mysqld.log setelah proses pemasangan. Jalankan perintah berikut untuk mengetahui sandi acak tersebut:

grep 'temporary password' /var/log/mysqld.log

Setelah mendapatkan sandi acak tersebut, jalankan perintah berikut dan masukkan sandi acak tadi. Ikuti petunjuk yang diberikan secara hati-hati dan jawab sesuai kebutuhan.
mysql_secure_installation


Sambungkan ke Server MySQL


Sambungkan server MySQL yang baru tadi dengan perintah
mysql -u root -p


Konfigurasi Akses Jauh Server MySQL

Konfigurasi Firewalld untuk Mengizinkan Trafik MySQL


Secara bawaan, CentOS 7 menggunakan firewalld sebagai perangkat lunak dinding api sistem yang mana memiliki aturan yang  ketat. Sementara MySQL menggunakan port 3306 untuk berkomunikasi, port ini secara bawaan tidak dalam keadaan open sehingga untuk mengizinkan akses jarak jauh dari jaringan lokal maka kita harus memutakhirkan pengaturan firewalld.
Cek status service firewalld terlebih dahulu
systemctl status firewalld

Pastikan service mysql terdaftar  oleh firewalld dengan perintah sebagai berikut:
firewall-cmd --get-services

Untuk mengizinkan akses jarak jauh dari jaringan lokal, kita harus membuka port 3306 ke seluruh IP. Namun pastikan bahwa jika dan hanya jika server MySQL ini memang berada dalam mesin dengan IP lokal.

firewall-cmd --zone=trusted --add-port=3306/tcp --permanent

firewall-cmd --zone=public --add-service=mysql --permanent



Muat ulang firewalld
firewall-cmd  --reload



Pastikan port 3306 sudah listening
netstat -tulpn


Konfigurasi Pengguna untuk Akses Remote pada Basis Data MySQL
Untuk mengizinkan akses remote, sunting berkas pengaturan server MySQL di /etc/my.cnf. Yang perlu diperhatikan adalah memberi komentar baris skip-networking dan menambahkan atau menyunting baris bind-address dengan alamat IP server MySQL kita:
bind-address=Alamat-IP-Server-MySQL

Sebagai contoh, jika alamat IP server MySQL kita adalah 192.168.100.7 maka dalam berkas tersebut menjadi seperti berikut ini (urutan tidak berpengaruh)

[mysqld]
datadir=/var/lib/mysql
socket=/var/lib/mysql/mysql.sock

# Disabling symbolic-links is recommended to prevent assorted security risks
symbolic-links=0

log-error=/var/log/mysqld.log
pid-file=/var/run/mysqld/mysqld.pid
bind-address=192.168.100.7
#skip-networking


Simpan dan tutup berkas kemudian jalankan ulang layanan mysqld.
systemctl restart mysqld

Memberikan Akses ke Alamat IP Jarak Jauh


Sambungkan ke MySQL
mysql -u root -p
Misalkan kita akan membuat basis data appdb yang akan dipakai untuk basis data.

Hibahkan akses ke basis data baru

mysql> CREATE DATABASE appdb;
mysql
> GRANT ALL ON appdb.* TO root@'192.168.100.%' IDENTIFIED BY 'sandi';

Perhatikan bahwa tanda % sebagai tanda wildcard artinya semua pengguna root (sebagai pengguna umum yang biasanya dibuat) dengan IP 192.168.100.x/24 akan bisa mengakses basis data appdb pada server MySQL ini.

Jika ingin menghibahkan ke semua basis data di server MySQL, jalankan perintah sebagai berikut:

GRANT ALL PRIVILEGES ON *.* TO 'root'@'192.168.100%' IDENTIFIED BY 'sandi-anda' WITH GRANT OPTION;

Rujukan
https://devops.profitbricks.com/tutorials/install-mysql-on-centos-7/
https://wiki.mikejung.biz/Firewalld
https://www.digitalocean.com/community/questions/mysql-remote-access
https://www.tecmint.com/install-latest-mysql-on-rhel-centos-and-fedora/
https://mariadb.com/kb/en/library/configuring-mariadb-for-remote-client-access/




24 September 2017

Renungan Kecil tentang Equinox dan Sains Islam


Oleh Ismail Al Alam

Beberapa hari lalu, BMKG memprediksi bahwa hari ini, 24 September 2017, akan terjadi equinox, yakni keadaan di mana posisi matahari dari sudut pandang bumi berada persis di garis khatulistiwa.

Keadaan ini akan meningkatkan suhu bumi beberapa derajat lebih tinggi. Kita akan merasa lebih kepanasan. Tetapi di Cileungsi, langit sudah mendung menjelang siang, dan turun hujan walau sebentar di sekitar pukul 14:00.  Beberapa teman yang bercakap soal rencana mereka di WhatsApp Group juga mengabarkan bahwa hujan turun di tempatnya berada.

***

Sains menunjukkan kita banyak prediksi tentang kejadian alam, karena sains adalah upaya menjelaskan kejadian alam berdasarkan hukum sebab-akibat. Dari penjelasan tersebut, sains memberikan kita pola-pola berulang yang bisa diterapkan pada fenomena untuk memprediksi kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi.

Oleh Imam Al-Ghazali, hukum sebab-akibat dikaitkan dengan keterlibatan langsung Allah atas segala kejadian, lewat perbuatan terus mencipta secara atomik, sehingga sesungguhnya tiada daya dan upaya selain atas kehendak Allah. Dalam bahasa para pengkaji pemikiran Islam, paham ini disebut dengan okasionalisme (occasionalism).

Historiografi pemikiran Islam yang diupayakan beberapa orientalis (dan kalangan muslim pembeonya) menuduh pemikiran Imam Al-Ghazali ini sebagai sumber kemandekan pikiran dan kemalasan berusaha umat Islam. Padahal selain berargumen demikian, Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa, karena Allah Maha Pengasih dan mengasihi manusia yang memiliki keterbatasan akal, maka Allah "lebih sering" (tentu, dalam ukuran nalar kita tentang waktu) mengatur alam ini dengan pola-pola tertentu, sehingga akal kita yang terbatas dapat mempelajarinya.

Saat itulah, sains lahir dari peradaban manusia. Hal ini juga berlaku pada perbuatan manusia; sekalipun penentu semua perbuatan manusia adalah Allah, tetapi manusia memiliki kesadaran akan perbuatannya sendiri dan terus menambah pengetahuan tentang perbuatan yang diridhai dan dimurkai Allah, sehingga manusia tetap dikenai kewajiban untuk berbuat sesuai ridha Allah, dan melaksanakan apa yang dimurkai Allah adalah kezaliman manusia atas diri dan sesamanya.

Sains yang lahir dari kesadaran ilahiah di atas, tentang alam (sains alam) dan manusia (sains sosial-humaniora), adalah sains Islam. Penerapan sains Islam di masa kini akan banyak bersentuhan dengan teori, metodolologi, teknologi, dan obyek kajian yang sama dengan sains sekuler yang berlangsung tanpa kesadaran ilahiah. Selain menjelaskan atomisme secara rasional yang memuaskan akal kita, Imam Al-Ghazali juga menjelaskan cara menjaga kesadaran itu agar senantiasa hadir kepada jiwa kita sebagai pengetahuan langsung (intuitif), yakni dengan melatih diri untuk menjalankan syariat di tingkat ihsan atau, lebih gamblang lagi, dengan mengamalkan tasawuf.

***

Tatkala mengerahkan upaya saintifik untuk mengetahui penyebab suhu siang hari yang lebih panas dari sebelumnya, dan hasilnya malah menunjukkan kemungkinan terjadi equinox di tanggal 24, kita sesungguhnya telah melakukan ikhtiar, yakni memilih dan melakukan yang terbaik dari kebaikan-kebaikan yang kita peroleh berdasarkan ilmu. Kita jadi lebih menyiapkan diri, keluarga, dan teman tidak terlalu lama berada di bawah terik matahari langsung, dan minum air lebih banyaj demi kesehatan.

Ikhtiar yang dilakukan dengan tetap menyadari bahwa semua sudah dalam pengaturan Allah, akan membuat kita lebih rendah hati ketika berhadapan dengan kecanggihan temuan sains yang memukau dan sering melenakan kita. Siapa yang menyangka pula kalau ternyata Allah berkehendak hari ini mendung, turun hujan, dan suhu malah menjadi sejuk setelahnya?

Wallahu a'lam

19 August 2017

Tashawuf, Tarekat dan Golongan Modernis dalam Timbangan

Oleh: Ust. Priyo Djatmiko 07/08/2017

Salah satu persoalan yang sulit diterangkan pada teman-teman berlatar kampus atau kantoran adalah pertanyaan tentang tasawuf dan tarekat. Yang sulit bukan memberikan jawaban yang (saya yakini) benar, tapi bagaimana memahamkannya mengingat gap pemahaman yang jauh. Gap ini muncul bukan saja karena ilmu pengetahuan Islam dalam arti tradisi dan klasik sudah begitu jauh, tapi juga karena cara berpikir modernis yang menguasai akal-akal manusia zaman sekarang, baik diwariskan oleh tradisi keluarga modern (memang bapak ibu kita relijius tapi ini muncul belakangan karena tren kesadaran relijius paska Orde Baru bukan muncul dari warisan tradisi generasi sebelumnya), tradisi pendidikan modern (sedikit banyak sekuler dan positivistik), dan paparan kehidupan modern (media, wacana).


Bagaimana menjembatani perbedaan latar belakang tersebut?


Saya selalu mencoba menjelaskan, istilah tazkiyatun nafs dan tashawuf sama-sama buatan manusia, dan meski tujuannya sama yaitu memperbaiki ihsan atau akhlak lahir dan akhlak batin, keduanya memiliki metode berbeda yang harus dipahami, serta perbedaan ini tidak sesederhana seperti yang dipikirkan para modernis bahwa yang satu lebih murni sementara yang lain sudah tercemar, yang satu rasional dan yang lainnya penuh mistik yang ketinggalan jaman.

Yang saya maksud perbedaan metodis adalah, tazkiyatun nafs mengandaikan akhlak dapat diperbaiki cukup dengan me-naqal (mendikte) teks-teks (quran, hadits, atsar) tentang akhlak dan ruhani, deskripsinya, definisi dan motivasi-motivasinya lalu sang objek silahkan menghadapi dunia luar dengan berbekal pengetahuan atas teks-teks tersebut. Pendekatan ini nyaris sangat murni kognitif dan terlepas dari struktur pemikiran islam tentang wujud. Sementara itu tasawuf menggunakan metode latihan, proses dibantu dengan media guru (tidak hanya teks), serta ada ijtihad-ijtihad baik bersifat metode latihan, perkataan-perkataan berisi pendetilan kondisi-kondisi serta pemikiran tentang hubungan antara perilaku dengan ruh, serta tingkatan-tingkatannya. Bagi saya posisi ijtihad tersebut tak terhindarkan sebagaimana di dunia pendidikan metode dan narasi berkembang, sebagaimana di dunia fiqh ada ijtihad-ijtihad baru. Tentu ada di antara ijtihad tersebut ada yang benar ada yang salah, tapi kita hanya bisa menyeleksinya dengan memasuki dunia ijtihad, menilai kasus per kasus, memberlakuan kriteria-kriteria ilmiah bukan kriteria generalis, yaitu memandang semua yang ada di kotak ijtihad sebagai sesuatu yang salah semuanya.

Jadi mengapa lalu tasawuf dan tarekat dalam sejarah ada, tidak terlepas dari kebutuhan adanya orang-orang yang ingin berproses menjadi baik tersebut, yang lalu disebut dengan murid (muriid "orang yang berkehendak"). Saya memberikan contoh, dalam kehidupan modern kita mengetahui di bidang karir, bisnis, gaya hidup, finansial, akademis, kesehatan, seni, penulisan, ada yang disebut dengan coaching atau mentor. Orang yang ingin mencapai kesempurnaan (master) dalam bidang yang ia geluti disarankan punya personal coaching atau mentor. Sebut saja orang yang ingin menurunkan berat badan. Ia tidak hanya cukup dengan membaca tentang aturan gizi makanan dan modul exercise, dia juga menyewa professional coach, mereka membuat pertemuan rutin, sang coach memberikan set latihan dan petunjuk menu untuk dipatuhi. Petunjuk dari coach ini tidak selalu sama dengan buku, ada yang muncul dari pengalaman pribadi. Yang diambil dari buku pun melalui seleksi dan apropriasi dari coach untuk si trainee. Meskipun bisa, umumnya trainee patuh, dia tidak keukeuh untuk mengubah-ubah petunjuk dari coach dengan kombinasi dari manual lain atau buku lain, misalnya, baik atas alasan kepraktisan, atau alasan dia tidak cukup ilmu.


Analogi tentang petunjuk praktis buatan para exercise coach itu adalah ijtihad dalam bentuk modul susunan dzikir untuk dirutinkan. Secara normatif, syariat menganjurkan bahwa semakin banyak dzikir semakin bagus, semakin dawam semakin bagus, sehingga lalu muncul pertanyaan: rangkaian dzikir seperti apa yang mau dirutinkan oleh murid? Apakah rangkaian dzikir tersebut bersifat universal? Terdapat beberapa teks hadits tentang dzikir untuk dibaca rutin pada waktu tertentu, tapi teks ini tidak banyak, dan yang terpenting adalah teks-teks itu terpisah, bukan satu kesatuan. Di sini tidak terhindarkan ada ruang ijtihad. Sebagian guru membuat rangkaian dzikir untuk diajarkan, sebagian diambilnya dari nash (manqul), sebagian ditambahnya dari tajribah atau teks yang ma'qul redaksinya. Secara umum berdoa/berdzikir dengan teks yang ma'qul diizinkan selama tidak menyelisihi syariat. Menurut saya lucu kalau serta merta fenomena ini ditolak. Apakah kita bisa ngotot misalnya meminta orang berdzikir dengan susunan kita yang kita labeli 100% sesuai Quran dan sunnah, misalnya dengan memberikan teks hishnul muslim? Hishnul muslim sendiri andaikan dari teks yang 100% sahih, susunannya bersifat ijtihadi. Melarang satupun modul susunan dzikir untuk dilazimkan karena khawatir jatuh pada bid'ah lazimiyah pun sesuatu yang ijtihadi, selain itu agak musykil dalam konteks kita mau mentarbiyah murid. Jadi ijtihad latihan dalam dunia tarbiyah nafs itu sesuatu yang niscaya.

Jika untuk bidang duniawi seperti itu kita mau membuat komitmen mengikuti petunjuk manusia, dan kita tahu petunjuk-petunjuk itu bervariasi dan pilihan tapi kita tunduk pada petunjuk dari sang coach, kenapa kita tidak bisa setidaknya memiliki "intellectual empathy" untuk memahami adanya realita tersebut jika tidak mau mengikuti? Hal ini tidak sulit sebetulnya jika kita belajar dalam posisi obyektif dan tidak melihat dengan kacamata antipati terlebih dahulu. Ketiadaan intellectual empathy sebetulnya penyakit modernisme atas tradisi dan ini secara tidak sadar diadopsi di dunia islam memang.

Tentu saja sama dengan dunia profesional tersebut, ada coach-coach gadungan, ada motivator-motivator inkompeten dan bahkan dari sekian yang bagus tidak semuanya cocok dengan kita sebagai trainee, baik itu kecocokan kesetujuan pandangan atau kecocokan teknis dan konteks, sehingga kita bisa memilih mana yang kita anggap pas, atau tidak memilih karena belum ketemu yang pas, atau simpel tidak memilih karena kita ingin berproses secara independen (otodidak).

Sebetulnya semua itu oleh Imam Ibn Taimiyah dengan jenius sudah diringkas di risalah "Al Adab wat Tashawwuf, bab Ilm as Suluk":

"Was shawab, annahum mujtahiduuna fii thaa'atillah, fa fiihim as saabiqal muqarrab bi hasbi itihadihi wa fihim al muqtashid aladzi huwa min ahlil yamiini. Wa fi kullin min as-shanfani man qad yajtahidu fa yukhthi', wa fiihim man yudznibu fa yatuubu aw laa yatuubu, wa minal muntasibiina ilayhim man huwa dzhalimun li nafsihi 'aashin li rabbihi"

[yang benar, mereka adalah kelompok yang berijtihad dalam upaya taat pada Allah sebagaimana kelompok selain mereka juga berijtihad dalam upaya taat pada Allah, maka di antara mereka ada kelompok terdepan yang didekatkan pada Allah sesuai hasil ijthadnya, dan di antara mereka ada kelomok pertengahan yang mereka ini termasuk 'kelompok kanan' (istilah qurani untuk menyebut ahli kebaikan). Dan di setiap kedua kelompok tadi, ada yang berijtihad lalu salah, ada yang berdosa lalu bertobat, ada pula yang tak bertobat atas dosanya. Dan ada juga yang termasuk mengafiliasikan diri pada mereka orang-orang yang zalim pada dirinya sendiri dengan bermaksiat pada Allah].

------------------
NB. Di atas saya menyinggung ijtihad berupa perkataan-perkataan deskriptif dan naratif tentang wujud dan ruh itu niscaya ada, itu saya yakini. Aqidah islam kita memahami akhlak itu bukan sekadar perilaku luar (behavior, act), bukan pula ekspresi dalam-dangkal (emosi, feeling), bukan pula sekedar pengetahuan teks (kognitif, intelektual). Kita memiliki aqidah, akhlak/behavior itu terkait dan manifestasi dari kondisi-kondisi hati, ruh, dan ruh itu wujud yang ghaib. Kita meyakini di bidang ini, guru yang kompeten mau tidak mau haruslah ia yang kompeten hatinya, ruhaninya bukan sekedar kompeten kognisinya, atau penguasaannya atas teks. Tak terhindarkan, memilih guru ruhani kita akan memberlakukan kriteria subjetif (ithmi'nan-nya hati kita terhadapnya) selain kriteria obyektif (iltizam yang bersangkutan pada syariat).

Dalam prosesnya, pengalaman-pengalaman dan penghayatan-penghayatan ruhani ketika diajarkan, dalam sebagian kondisi diceritakan dalam bentuk perkataan (atau tulisan), tidak selalu bahasa itu dapat mewakili yang ingin disampaikan sehingga terkadang disalahpahami (ditolak karena dianggap sesat, atau dipraktekkan secara salah sehingga menghasilkan kesesatan). Yang pertengahan, adil dan inshaf menurut saya adalah kita memiliki kadar husnuzhan (dibawa ke sangkaan yang baik daripada sangkaan yang buruk), tabayun (klarifikasi), tatsabbut (verifikasi) yang lebih banyak dalam membaca perkataan-perkataan/ekspresi-ekspresi terkait hal itu, di samping tetap menimbang semua itu dengan timbangan syariat dan hikmah. Pada akhirnya, kelompok yang ber-tasawuf dan yang tidak, semuanya ijtihad dalam upaya mentaati Allah. Semuanya punya risiko untuk, dan ditimbang dengan timbangan yang sama, atas kriteria: kesesuaian dengan kebenaran, tidak adanya ghurur atau fanatik kelompok, efektivitas memperbaiki murid dan pelayanannya pada umat secara luas.

12 August 2017

Ar-Rofi'i dan An-Nawawi, Dua Pendekar Ulama Syafi'iyyah

Ust. Muafa
21 Dzul Qo’dah 1438 H

Dalam mengajarkan ilmu fikih, Asy-Syafi’i tidak hanya menyampaikan hasil jadi ijtihadnya, tetapi juga menyajikan metode yang mengantarkan pada ijtihad tersebut.

Oleh karena itu, karya Asy-Syafi’i bukan hanya berisi pembahasan hasil jadi hukum fikih seperti kitab Al-Hujjah dan Al-Umm, tetapi juga karya yang terkait dengan sejumlah rumusan ushul fikih yang menjadi aspek epistemologis untuk menggali hukum fikih semacam kitab Ar-Risalah versi awal yang ditulis di Baghdad maupun Ar-Risalah versi revisi yang ditulis di Mesir.

Asy-Syafi’i bukan hanya memberi ikan, tetapi juga jala dan pancing.

Dengan warisan metodologi ilmu fikih yang jelas seperti itu, wajar jika murid-murid Asy-Syafi’i dan ulama Syafi’iyyah pada masa selanjutnya sanggup memecahkan persoalan-persoalan baru di masyarakat -yang belum pernah terjadi dan dibahas Asy-Syafi’i- dengan memakai metode istinbath Asy-Syafi’i.

Tidak heran, hanya dalam tempo kira-kira kurang dari 300 tahun semenjak wafatnya sang Imam,  sejumlah ulama syafi’iyyah telah berhasil mengkodifikasikan variasi ijtihad madzhab dengan tingkat kedalaman dan kekayaan yang luar biasa. Kira-kira abad 5 H lahirlah karya-karya besar yang menghimpun hampir semua wujuh (ijtihad-ijtihad madzhab) dengan kedua alirannya (Irak dan Khurasan) seperti Nihayatu Al-Mathlab (نهاية المطلب) karangan Al-Juwaini, Al-Hawi Al-Kabir (الحاوي الكبير) karangan Al-Mawardi, Bahru Al-Madzhab (بحر المذهب) karangan Ar-Ruyani dan lain-lain.

Hanya saja, untuk mengklaim pendapat madzhab Asy-Syafi’i dengan bertumpu pada kitab-kitab tersebut adalah tindakan yang tidak bijak. Hal itu dikarenakan para mujtahid madzhab syafi’iyyah tidak satu kata dalam menghasilkan satu produk ijtihad. Metodenya bisa sama, tetapi hasil akhirnya ternyata bisa beda. Riwayat ijtihad Asy-Syafi’i sendiri juga ditransmisikan tidak satu suara ketika membahas satu masalah tertentu. Ada muridnya yang meriwayatkan Asy-Syafi’i berpendapat A, sementara yang lainnya meriwayatkan berpendapat B. Hal ini menimbulkan problem bagi para awam yang memutuskan bermadzhab Asy-Syafi’i dan ingin memegang pendapat yang mu’tamad (resmi/sah). Ia akan bingung, “sebenarnya yang mana pendapat Asy-Syafi’i itu?”

Melihat problem madzhab seperti ini, maka bangkitlah Ar-Rofi’i (wafat 623 H) untuk melakukan penyelidikan dan penelitian besar-besaran. Targetnya adalah menemukan klaim yang sah bahwa sebuah ijtihad bisa dinisbatkan kepada Asy-Syafi’i atau sesuai dengan ushul fikih Asy-Syafi’i. Dari tangan beliau lahirlah dua kitab penting, yaitu Al-Muharror (المحرر) dan Fathu Al-‘Aziz (فتح العزيز) (disebut juga Asy-Syarhu Al-Kabir (الشرح الكبير).

Tetapi pekerjaan Ar-Rofi’I belum rampung.

Apa yang belum selesai dari Ar-Rofi’I dilanjutkan dan disempurnakan oleh An-Nawawi (wafat 676 H). Beliau melakukan penelitian serius terhadap kitab-kitab ulama syafi’iyyah mutaqoddimin, termasuk mengkaji karya-karya Ar-Rofi’I. Akhirnya, dari penelitian ini lahirlah karya-karya yang setiap karya itu dari sisi mutu dan bobot ilmiahnya setara dengan disertasi doktoral  di zaman sekarang. Lahirlah kitab-kitab bermutu seperti At-Tahqiq, Al-Majmu’, At-Tanqih, Roudhotu Ath-Tholibin, Minhaju Ath-Tholibin dan lain-lain.

Dua pendekar Syafi’iyyah ini akhirnya menjadi tumpuan ulama syafi’iyyah generasi selanjutnya jika ingin mengetahui mana pendapat Asy-Syafi’i yang valid.

Sebagai penghormatan atas jasa besar  beliau berdua, mereka digelari dengan sebutan Asy-Syaikhan (الشيخان) dalam madzhab Asy-Syafi’i. Gelar yang nampaknya jauh lebih berkelas daripada gelar profesor di zaman sekarang.

Ar-Romli berkata,
فتاوى الرملي (4/ 262)
مِنْ الْمَعْلُومِ أَنَّ الشَّيْخَيْنِ رَحِمَهُمَا اللَّهُ قَدْ اجْتَهَدَا فِي تَحْرِيرِ الْمَذْهَبِ غَايَةَ الِاجْتِهَادِ وَلِهَذَا كَانَتْ عِنَايَاتُ الْعُلَمَاءِ الْعَامِلِينَ، وَإِشَارَاتُ مَنْ سَبَقَنَا مِنْ الْأَئِمَّةِ الْمُحَقِّقِينَ مُتَوَجِّهَةً إلَى تَحْقِيقِ مَا عَلَيْهِ الشَّيْخَانِ وَالْأَخْذِ بِمَا صَحَّحَاهُ بِالْقَبُولِ وَالْإِذْعَانِ مُؤَدِّينَ ذَلِكَ بِالدَّلَائِلِ وَالْبُرْهَانِ

“…telah diketahui bahwa syaikhan (Ar-Rofi’I dan An-Nawawi) rahimahumallah telah bersungguh-sungguh dalam melakukan tahrir madzhab (menyeleksi ijtihad ulama syafi’iyyah agar sah dinisbatkan pada madzhab syafi’i) dengan kesungguhan luar biasa. Oleh karena itu, perhatian para ulama sejati dan rekomendasi para imam-imam muhaqqiq generasi sebelum kita diarahkan untuk meneliti apa yang disepakati syaikhan dan mengambil apa yang disahihkan oleh mereka berdua dengan menerima dan tunduk, seraya menjelaskan dalil-dalil dan argumentasinya…”

Rahimahumallahu rahmatan wasi’ah.

20 July 2017

Mendefinisikan dan Memetakan Ilmu dalam Islam


Dr. Syamsuddin Arif
Direktur Eksekutif INSISTS
Kredit: Matt Neighbors


Tiada yang lebih benar dapat dinyatakan tentang peradaban Islam daripada apa yang telah Professor Rosenthal amati dengan tepat: peradaban yang di dalamnya ilmu berjaya. Ilmu telah terbukti merupakan sebuah ‘istilah budaya yang unik’ sekaligus ‘daya benah yang paling efektif.’ Ilmu merupakan unsur utama yang telah memberikan peradaban Muslim bentuk dan coraknya yang khas. Bahkan, “tidak ada konsep yang telah berjalan sebagai suatu penentu dari peradaban Muslim dalam segala seginya sebagaimana ‘ilm [ilmu]”.[1] Tulisan ini akan memeriksa ulang konsep ilmu dalam Islam, dengan memusatkan perhatian pada bagaimana ilmu dipahami dan dipetakan oleh ulama dari beragam aliran pemikiran selama rentang ratusan tahun. Walau tulisan ini tidak mengklaim menawarkan sesuatu yang baru, tapi diharapkan akan menyumbang sesuatu atas debat yang berlansung tentang islamisasi ilmu.

 Mendefinisikan Ilmu

Mari kita mulai dengan bertanya, “Apakah ilmu?” Ketika dihadapkan pada pertanyaan ini, kebanyakan kita akan terusik, enggan menjawab, atau tidak peduli belaka. Ada yang berkata, ‘ilmu adalah apa yang kamu tahu.’ Tapi sesungguhnya ini bukanlah definisi, melainkan suatu tautologi—sekadar berkata bahwa ilmu adalah ilmu, dan sama sekali tidak menyatakan apapun. Oxford English Dictionary (yang pasti sudah disusun oleh sebuah tim penulis terdidik yang cakap) mendaftar tiga arti untuk kata “ilmu”: (i) informasi dan kecakapan yang diperoleh melalui pengalaman atau pendidikan; (ii) keseluruhan dari apa yang diketahui; (iii) kesadaran atau kebiasaan yang didapat melalui pengalaman akan suatu fakta atau keadaan.[2]

Coba lihat yang pertama. Dapatkah kita katakan bahwa ilmu adalah informasi? Kita mungkin menganggap begitu, tapi saya akan berbeda berdasarkan setidaknya dua alasan. Pertama, informasi dapat benar atau salah, jadi jika ilmu adalah informasi, maka ilmu mencakup informasi yang benar dan salah. Tapi bagaimana bisa mengatakan tahu sesuatu ketika ternyata hal itu adalah akibat misinformasi atau salah-informasi? Kedua, jika kita sepakat dengan Cambridge English Dictionary bahwa informasi adalah ‘fakta tentang suatu keadaan, orang, peristiwa, dst.,’ maka fakta setara dengan ilmu. Namun, fakta bukanlah ilmu dan ilmu tidak bisa dikacaukan dengan fakta. Bahkan kamus yang sama menyebutkan bahwa ‘fakta’ adalah “sesuatu yang diketahui telah terjadi atau wujud, terutama sesuatu yang dengannya suatu bukti itu wujud, atau yang mengandung informasi.”[3] Saya menulis miring kata ‘diketahui’ untuk menunjukkan adanya pendefinisian yang berputar-putar atasnya.

Demikian juga, untuk mendefinisikan ilmu dalam hal kecakapan dan keahlian adalah problematis. Misalnya, kita tahu persis apa itu pesawat udara. Kita memiliki ilmu tentang itu dalam arti bahwa jika kita diminta untuk menggambarnya akan dengan mudah dilakukan; atau jika diminta untuk menunjukkannya di sebuah banda udara akan mudah menunjuknya. Namun, ilmu semacam ini bukanlah keahlian. Mengetahui apa itu pesawat udara tidak berarti ahli tentangnya. Sebaliknya juga benar: keahlian menyiratkan ilmu, tapi ilmu tidak musti berarti keahlian. Dan jika pendidikan mengacu pada suatu proses mengenal dan menuai ilmu, defini itu hanya membawa kita kembali pada pertanyaan, ‘Apakah ilmu?’

Definisi kedua yang diberikan di atas – bahwa ilmu adalah keseluruhan dari apa yang diketahui – juga patut dipertanyakan. Jika ‘apa yang diketahui’ adalah ilmu, semata menyatakan bahwa ilmu adalah ilmu. Yang ketiga pun tidak lebih baik. Kesadaran (awareness) mungkin bisa timbul dari ilmu, tapi ilmu bukan kesadaran. Kita mungkin sadar akan nyamuk yang berada di sekitar kita; tapi itu tidak berarti sama dengan memiliki ilmu tentang nyamuk—kecuali jika kita seorang ahli biologi. Demikian pula, jika ilmu berarti kebiasaan (familiarity), maka kebiasaan menyiratkan ilmu. Namun seringkali tidak demikian halnya. Karena, kita dapati orang-orang yang cukup terbiasa dengan komputer tapi bukan pakar ilmu komputer dan maka mereka memiliki sedikit ilmu, jika memang memilikinya, tentang komputer.

Nyaris seribu tahun sebelum kelahiran Rasulullah SAW, seorang bernama Plato sampai pada definisi sebagai berikut. “Ilmu adalah keyakinan sejati yang dibenarkan” (μετὰ λόγου ἀληθῆ δόξαν), ujarnya dalam Theaetetus 201c8, salah satu Dialog-dialognya yang terkenal.[4] Definisi ini ringkas-padat tapi mendalam. Kita dapat memecahnya menjadi tiga unsur: (i) keyakinan; (ii) kebenaran dan (iii) nalar. Hal-hal ini adalah tiga syarat yang harus dipenuhi untuk proposisi apapun agar memenuhi syarat sebagai ilmu. Pertama-tama, sesuai nalar Plato, mengetahui adala ilmu. Jika kita tahu bahwa gula itu manis, kita sesungguhnya yakin pada keberadaan sesuatu yang disebut ‘gula’ dan kita yakin akan rasanya yang manis. Namun, ilmu bukanlah sekadar yakin. Hanya keyakinan-keyakinan yang benar dapat disebut ilmu. Keyakinan yang salah bukanlah ilmu, menurut Plato. Tapi bagaimana kita dapat membedakan keyakinan yang benar dari yang salah? Di sinilah berperan ‘logos’. Supaya memenuhi syarat sebagai ilmu, keyakinan kita harus didukung oleh nalar. Maksudnya, suatu keyakinan itu benar jika dan hanya jika secara nalar dibenarkan. Suatu keyakinan yang benar sebab suatu kebetulan tidak memenuhi syarat sebagai ilmu. Sesungguhnya, sebagaimana sering kita jumpai halnya, keyakinan yang minim bukti seringkali salah, meski keyakinan demikian ini mungkin terkadang malah benar. Definisi Plato ini sudah pernah mendapat sanggahan. Salah satu yang terkenal adalah dari Edmund L. Gettier. Dalam suatu tulisan ilmiahnya yang kini termasuk klasik, Gettier mencoba menyanggah definisi ini dengan menunjukkan keadaan dimana seseorang memiliki keyakinan yang benar yang dibenarkan hingga taraf tertentu, tapi tidak pada taraf yang dikehendaki Plato (mis., keyakinan seseorang yang benar semata karena kebetulan, ketika orang itu tidak punya bukti yang berhubungan dengan fakta sebenarnya, dan sehingga yakin akan kebenaran semata karena kebetulan), namun dalam keadaan demikian, semua orang sepakat bahwa orang itu memiliki ilmu.[5]

Tampaknya jelas bahwa ilmu tidak dapat didefinisikan tanpa menyertakan pendapat yang berputar-putar dan tautologi (yaitu menyatakan ilmu adalah ilmu).[6] Namun, ini tidak berarti bahwa kita tidak bisa membahas ilmu sama sekali. Barangkali karena alasan ini para filusuf tertarik mendefinisikan daripada membahas beragam jenis ilmu. Maka, Bertrand Russell membedakan ilmu akan sesuatu dan ilmu akan kebenaran, dan kemudian membagi-bagi apa yang ia sebut ilmu akan sesuatu menjadi dua bagian: (i) ilmu berdasarkan pemerian dan (ii) ilmu berdasarkan pengenalan.[7] Ada sejumlah hal yang kita tahu “tangan pertama” dan yang sebatas kita dengan atau baca – dengan kata lain hal-hal yang digambarkan pada kita. Sebagian besar ilmu kita masuk dalam kotak pertama. Kita tahu bahwa jarak yang memisahkan Matahari dari planet kita adalah sekitar 150 juta kilometer tidak berdasarkan pengenalan langsung melainkan penggambaran yang kita jumpai di buku-buku dan laporan ilmiah.

Ilmu Menurut Ulama

Selama berabad-abad ulama telah terus-menerus membahas ilmu secara intensif dan ekstensif seperti benar-benar diakui oleh siapapun yang mengenal baik melalui banyaknya kepustakaan yang membahas ini. Beragam definisi ilmu telah dikemukakan oleh para teolog dan fuqaha, filusuf dan para ahli bahasa.[8] Demi tujuan kita saat ini, akan dibahas empat defini ilmu berikut ini.

Yang pertama diajukan oleh seorang pakar filologi al-Raghib al-Isfahani (w.443/1060).[9] Dalam karyanya Kamus Istilah Quran ilmu didefinisikan sebagai “persepsi suatu hal dalam hakikatnya” (al-‘ilm idrak al-shay’ bi-haqiqatihi.[10] ini artinya bahwa sekadar menilik sifat (mis., bentuk, ukuran, berat, isi, warna, dan sifat-sifat lainnya) suatu hal tidak merupakan bagian dari ilmu. Mendasari definisi ini adalah suatu pandangan filosofis bahwa setiap zat terdiri atas essence dan accidents. Essence adalah apa yang membuat sesuatu sebagai dirinya, sesuatu darinya akan tetap satu dan sama sebelum, semasa, setelah perubahan, maka disebut sebagai hakikat. Ilmu adalah segala hal yang menyangkut hakikat yang tak berubah.

Definisi kedua diberikan oleh ‘Hujjat-al-Islam’ Imam al-Ghazali (w.505/1111)[11] yang memerikan ilmu sebagai “pengenalan sesuatu atas dirinya (ma‘rifat al-shay’ ‘ala ma huwa bihi.[12] Definisinya di sini, untuk tahu sesuatu berarti mengenali sesuatu itu sebagai adanya. Tiga hal di sini yang perlu diuraikan. Pertama, dengan menyatakan bahwa ilmu adalah pengenalan, Imam al-Ghazali tampak menekankan fakta bahwa ilmu merupakan masalah per orangan. Ilmu mewakili keadaan minda—yaitu, keadaan dimana sesuatu itu tidak lagi asing bagi orang tersebut karena dikenali oleh minda orang tersebut. Kedua, tidak seperti istilah idrak (digunakan dalam pendefinisian al-Isfahani) yang tidak hanya menyiratkan suatu gerakan nalar atau perubahan dari satu keadaan kepada keadaan lain (mis., dari keadaan jahil kepada keadaan berilmu) tapi juga menyiratkan bahwa ilmu datang sebagaimana adanya ke dalam minda seseorang dari luar, istilah ma’rifah dalam definisi Imam al-Ghazali mengiaskan kepada fakta bahwa ilmu selalu merupakan semacam penemuan-diri. Seseorang mungkin membandingkan hal ini dengan teori anamnēsis Plato, dimana pembelajaran dikatakan terdiri atas mengingat-ingat ide dhahiri yang sudah dimiliki. Poin lain yang relevan terdapat pada ungkapan ‘ala ma huwa bihi. Dalam pandangan Imam al-Ghazali, kita tidak dapat mengklaim memiliki ilmu sesuatu kecuali jika dan hingga kita tahu sesuatu itu ‘apa adanya.’ Sesungguhnya, sesuatu itu tampak tidak sebagaimana hakikatnya. Bumi tampak datar, bintang tampak kecil, matahari tampak mengelilingi bumi, dan seterusnya. Maka definisi ini menempatkan hal-hal ini sebagai dugaan, khayalan, dugaan, ilusi, halusinasi, mitos dan semacamnya di luar cakupan ilmu.

Suatu alternatif defini dikemukakan oleh seorang ahli logika Athir al-Din al-Abhari (w.663/1264). Baginya ilmu adalah menghampirnya ‘gambar’ suatu benda dalam fikiran (…).[13] demikian juga bagi Ibn Sina (w. 428/1037),[14] definisi ini menunjukkan bahwa untuk mengetahui sesuatu artinya membentuk suatu pemikiran tentangnya, memiliki gambaran sesuatu itu tergambarkan dalam benak. Dengan kata lain, mengetahui adalah melakukan konseptualisasi. Ilmu adalah representasi mental atau konsepsi suatu hal yang diketahui si orang yang mengetahui, menyebabkan terjadinya pembedaan moderen antara ‘ilmu konseptual’ dan ‘ilmu proporsional’ (yang, sayangnya, gagal dipertimbangkan definisi ini). Karena kita tahu tidak hanya apa sesuatu itu, tapi juga bagaimana, di mana, kapan, dan mengapa sesuatu itu begini dan begitu. Ilmu kita tentang ular, misalnya, biasanya tidak terbatas pada hanya memiliki gambarannya pada benak kita dan menjadikan kita awas kala menghadapinya, tapi juga disertai dengan serangkaian keyakinan tentang fakta bahwa ular adalah hewan ganas, agresif yang serangannya dapat mengakhiri nyawa seseorang.

Al-Sharif al-Jurjani (w. 816/1413) dalam bukunya Ta’rifat mendefinisikan ilmu sebagai tibanya minda pada makna sesuatu (…).[15] Definisi ini dipertimbangkan oleh ‘Ali Celebi Qinalizadeh (w. 979/1572) sebagai yang terbaik yang ia ketahui.[16] Definisi inilah dan yang lebih awal oleh Ibn Sina dan al-Abhari yang Professor Syed Muhammad Naquib al-Attas (l. 1935) telah sintetiskan dalam monografnya berjudul The Concept of Education in Islam. Menurutnya, ilmu paling tepat didefinisikan sebagai ‘tibanya makna dalam jiwa sekaligus tibanya jiwa pada makna’[17] (…). Satu hal yang menjadi jelas dalam definisi gabungan ini: ilmu adalah tentang makna. Benda, fakta atau peristiwa apapun, dikatakan diketahui oleh seseorang jika ia bermakna baginya. Jadi, kucing tidak tertarik kepada uang justru karena kucing tidak tahu makna uang; bagi hewan seperti kucing uang tidak bermakna. Makna uang tidak mencapai mindanya, dan juga sebaliknya minda kucing tidak memahami makna uang. Sekarang, makna mengungkapkan hubungan antara benda – maksudnya, bagaimana benda dan peristiwa tunggal saling berhubungan, menentukan definisi keragaman tempat, peran, fungsi, dst. dalam sistem manapun – linguistik, logika, ilmiah, sosial, politik, ekonomi, hukum, atau selainnya – mereka berasal. Semakin kita tahu tentang sesuatu semakin bermakna sesuatu itu bagi kita, dan maka semakin kita membicarakannya, menganalisanya secara rinci dan menjelaskannya secara panjang lebar. Dengan definisi ini al-Attas secara tepat menunjukkan fakta bahwa dalam proses kognisi minda “tidak semata resipien pasif seperti tabula rasa tapi juga yang aktif dalam arti mengatur dirinya menjadi siap untuk menerima apa yang ingin diterimanya” secara sadar serta secara selektif.

Tidak semua ulama setuju dengan definisi konseptual ilmu ini. Mahaguru sufi asal Andalusia Ibn ‘Arabi (w. 638/1240), misalnya, mendefinisikan ilmu sebagai penerimaan mental atas [ilmu tentang] segala hal dalam batas dirinya apa adanya (tahsil al-qalb amran-ma ‘ala hadd ma huwa ‘alayhi dhalika al-amr).[18] Baginya ilmu adalah sifat () yang dianggap berasal dari minda melalui penerimaan tersebut sehingga minda itu disebut yang mengetahui, dan segala hal disebut sebagai yang diketahui. Maka Ibn ‘Arabi menolak gagasan terkenal yang dikemukakan oleh para ahli logika yang menyatakan bahwa ilmu terdiri atas konsepsi mental (tasawwur) dan keyakinan (tasdiq). Ilmu bukanlah representasi mental dari benda yang dikenal, bukan pula makna (ma‘na) yang ditangkap oleh yang mengetahui. Dalam pandangannya, tidak segala hal yang dikenal dapat dipahami, tidak juga halnya bahwa setiap orang yang tahu membentuk suatu konsep dalam mindanya. Menurut para filusuf, konsepsi merujuk pada tindakan membayangkan dari si orang yang tahu, membentuk bayangan mental yang merepresentasikan benda yang ia kenal. Namun, Ibn ‘Arabi menyanggah bahwa representasi mental ini tidak lain hanyalah keadaan mental (halah) yang secara sementara digenggam oleh kecakapan imajinatif si yang tahu, meskipun ia tidak menolak adanya hal tertentu yang dikenal ilmu yang melampaui dan lepas dari pemahaman kecakapan imajinasi manusia.[19]

Memetakan ilmu

Urusan mengelompokkan ilmu dimulai di akhir masa kuno, terutama di abad ke-5 – 6 di Alexandria. Para sarjana Helenisme membangun suatu skema pengelompokkan karya-karya Aristoteles dimana suatu risalah dicocokkan dengan suatu bidang kajian. Meskipun tujuan awal pengelompokkan ini bersifat deskriptif dan pedagogis, hal tersebut memperoleh penerimaan universal dari generasi selanjutnya di seluruh belahan dunia yang dipengaruhi budaya Yunani.[20] Ini tidak berarti bahwa pengelompokkan tersebut murni merupakan temuan belakangan. Dalam karyanya Nicomachean Ethics Aristoteles sudah menggariskan perbedaan antara seni (téchne) dan sains (episteme), dimana yang terdahulu merujuk pada sisi kalkulatif (to logistikon) jiwa rasional manusia dalam menangani hal-hal yang berubah dalam kesehariannya, sementara yang belakangan pada sisi ilmiah (to epistêmonikon) ketika menangani entitas mutlak seperti kebenaran penting matematika.[21] Aristoteles juga membahas sains yang spekulatif (hai theoretikai) yang berbeda dari yang praktis (hai praktikai) dan yang produktif (hai poietikai). Menurutnya, sains spekulatif, juga dikenal sebagai filsafat teoritis (philosophíai theoretikaí) dapat dibagi menjadi matematika (kemudian dibagi lagi oleh Ammonius menjadi aritmatika, geometri, astronomi dan musik—yaitu quadrivium yang terkenal), fisika (ilmu alam) dan teologi, sementara sains praktis menjadi etika, ekonomi dan politik. Namun, dari semua sains teoritis, hanya filsafat utama (he prote philosophía) atau metafisika yang dianggap universal dan unggul.[22] Pengelompokkan ini diteruskan ke Abad Pertengahan, diadopsi oleh kaum para filusuf Nasrani, Muslim dan Yahudi, walau dengan penambahan dan perubahan yang penting[23], dan menjadi standar program pendidikan humaniora.

Misalnya, pengelompokkan demikian direproduksi oleh Abu Yusuf Ya‘qub ibn Ishaq al-Kindi (w. 252/865) dalam risalah berjudul Tentang jumlah tulisan Aristoteles dan yang diperlukan untuk memulai filsafat, jelas untuk tujuan pedagogis. Al-Kindi tidak hanya mendaftar karya-karya Aristoteles, membaginya menjadi empat kelompok (mis., logika, fisika, psikologi dan matematika); ia juga menyarankan mereka yang ingin mempelajari filsafat untuk memulainya dengan matematika yang ia anggap harus ada bagi nalar ilmiah. Selain itu, ia membuat perbedaan antara ilmu manusia (al-‘ilm al-insani) yang didapat dari kerja keras dan belajar giat dan ilmu ilahiah (al-‘ilm al-ilahi) yang ia samakan dengan nubuwah atau wahyu dari Allah.[24]

Al-Farabi-lah (w. 339/950) yang pertama kali dalam sejarah Islam berupaya secara sistemis dan dalam bentuk sebuah buku berjudul Ihsa’ al-‘Ulum seluruh sains sesuai pengelompokkan Aristoteles dan pada saat yang sama juga menerapkan tradisi budaya Islam dan Arab. Al-Farabi mengelompokkan sains menjadi lima kelompok, masing-masing, dengan sub-bagiannya, ia definisikan dan tujuannya dijelaskan. Pembagian pertama adalah sains bahasa (‘ilm al-lisan) atau linguistik, yang mencakup sains kata-kata (‘ilm al-alfaz) atau morfologi dan sains tata katanya (‘ilm qawanin [al-alfaz]) atau sintaksis alias tata-bahasa, sains tulisan (‘ilm qawanin al-kitabah) atau ortografi, sains bacaan (‘ilm qawanin al-qira’ah) atau fonologi, dan sains puisi (‘ilm qawanin al-ash‘ar) atau prosodi. Bagian kedua adalah logika (‘ilm al-mantiq), yang merangkum delapan sub-bagian yang membahas peristilahan dan konsep (al-maqulat), proposisi (al-‘ibarah), nalar silogistik (al-qiyas), nalar apoditik (al-burhan), nalar dialektik (jadaliyyah), sophistry (al-mughalatah), retorika (al-khitabah) dan perpuisian (al-shi‘r). Kelompok ketiga adalah matematika (‘ilm al-ta‘alim), yang terdiri atas tujuh bagian: aritmatika (‘ilm al-‘adad), geometri (‘ilm al-handasah), optik (‘ilm al-manazir), astronomi (‘ilm al-nujum [sic!]), musik (‘ilm al-musiqa), dinamika (‘ilm al-athqal) dan mekanika (‘ilm al-hiyal). Kelompok keempat adalah sains fisik dan metafisik (‘ilm al-tabi‘i wa al-‘ilm al-ilahiy). Fisika dibagi menjadi delapan bagian: (i) wacana umum tentang fisika (al-sama‘ al-tabi‘i) yang membahas prinsip-prinsip dan sifat-sifat benda alam, (ii) kosmologi (al-sama’ wa al-‘alam) (iii) kejadian dan kerusakan (al-kawn wa al-fasad), (iv) meteorologi (al-athar al-‘ulwiyyah), (v) mineralogi (al-ma‘adin), (vi) botani (al-nabat), (vii) zoologi (al-hayawan) dan (viii) psikologi (al-nafs). Metafisika dibagi menjadi tiga bagian: ontologi, aetiologi-epistemologi, dan henologi-teologi. Terakhir, di kelompok kelima terdapat tiga sains: politik (‘ilm al-madani), sains hukum Islam atau perhukuman Islam (fiqh), dan teologi (kalam).[25] Harus dicatat bahwa pengelompokkan al-Farabi sebagaimana al-Kindi dibuat sesuai dengan metoda didaktika, untuk diadopsi sebagai kurikulum pendidikan tinggi serupa dengan silabus dalam biografi Aristoteles (yang tersedia dalam bahasa Arab),[26] yang menandakan urutan yang benar dimana sains-sains itu harus dipelajari.

Seorang polymath (pakar serba-bisa) terkenal Ibn Sina (w. 428/1037) telah menawarkan tiga skema berbeda pengelompokkan dalam beberapa karyanya. Dalam risalah khusus berjudul Fi Aqsam al-‘Ulum al-‘Aqliyyah (tentang Pembagian Sains Intelektual) ia melakukan elaborasi pengelompokkan apa yang disebut sains intelektual atau rasional, yang sering dibedakan dari sains tradisional (al-‘ulum al-naqliyyah). Sebagaimana Aristoteles dan al-Farabi sebelumnya, Ibn Sina membagi sains menjadi teoritis (nazari) dan praktis (‘amali). Sasaran sains teoritis adalah untuk mendapatkan kebenaran dan kepastian (husul al-i‘tiqad al-yaqini) tentang hal-hal yang wujud secara objektif dan mandiri dari manusia dan perbuatannya. Maka, teologi dan metafisika termasuk dalam sains teoritis. Sains praktis memiliki tujuan yang beda; sains ini dipelajari tidak demi memperoleh kebenaran atau kepastian tentang dunia, melainkan untuk mendapat pandangan yang benar tentang hal-hal diperlukan manusia agar menjadi baik (yaitu, memiliki kehidupan yang baik sebagai individu, anggota keluarga dan warga). Singkatnya, sementara sains teoritis mengurus kebenaran (al-haqq), sains praktis adalah cara menemukan Kebaikan (al-khayr).

Sains teoritis memiliki tiga kelompok: yang terbawah adalah sains alami, di pertengahan sains matematika, dan metafisika dianggap yang tertinggi. Sains alami ditempatkan di bawah karena berurusan dengan hal-hal yang secara logis dan ontologis berkaitan dengan masalah dan perubahan fisik, seperti (sains) benda-benda bundar dan empat unsur alam serta serangkaian keadaan seperti gerak dan diam, alterasi dan transformasi, kejadian dan kerusakan, dan sifat-sifat yang menyebabkan keadaan ini semua. Sains matematika agak unik karena mengkaji entitas abstrak yang berkaitan dengan hal-hal yang ontologis walau tidak logis, seperti bilangan, bentuk dan bangun. Bedanya, apa yang dipelajari oleh metafisika sepenuhnya abstrak, entitas yang sekaligus secara ontologis dan logis mandiri dari zat dan perubahan, mis., esensi dan wujud, kesatuan dan keragaman, individualitas dan universalitas, kausalitas, dst. Sains praktis ada tiga macam: satu macam berurusan dengan kesejahteraan manusia sebagai pribadi, yang satunya dengan manajemen manusia sebagai anggota rumah tangga, dan terakhir, sebagai warga negara. Yang pertama dikenal dengan etika, yang kedua ekonomi, dan yang terakhir politik. Ibn Sina secara tersurat menyebut [Nicomachean] Ethics-nya Aristoteles dan Republic-nya Plato sebagai rujukan yang harus ada soal ini.

Ibn Sina memilah lebih jauh sains alamiah menjadi dua kelompok: ‘prinsip’ () dan ‘akibat’ (). Delapan sains termasuk dalam kelompok prinsip: (i) fisika; (ii) tentang langit dan alam semesta; (iii) kejadian dan kerusakan; (iv) tentang gejala meteorologis; (v) tentang mineal; (vi) tentang tumbuhan; (vii) tentang hewan; dan (viii) tentang jiwa/ruh. Sains alamiah akibat terdiri atas tujuh: (i) kedokteran; (ii) astrology (‘ilm ahkam al-nujum); (iii) fisiognomi (‘ilm al-firasah); (vi) oniromancy (‘ilm al-ta‘bir); (v) sains ajimat (‘ilm al-talisman); (vi) theurgy atau sulap (‘ilm al-niranjiyyat); dan (vii) alkimia (‘ilm al-kimya). Sains matematika mencakup empat bagian utama: (i) arimatika (‘ilm al-‘adad); (ii) geometri (‘ilm al-handasah); (iii) astronomy (‘ilm al-hay’ah); (iv) musik (‘ilm al-musiqa); masing-masing dibagi lebih lanjut: aritmatika menjadi seni hitung India dan aljabar; geometri menjadi geodesi (‘ilm al-masahah), rekayasa (‘amal al-hiyal ); optik (‘ilm al-manazir wa al-maraya), sains berat dan keseimbangan (‘ilm al-awzan wa al-mawazin), mekanika (‘amal jarr al-athqal) dan hidrolika (‘ilm naql al-miyah); astronomi menjadi seni membuat tabel astronomi dan kalender (‘ilm al-zijat wa al-taqawim); dan musik menjadi seni memainkan peralatan musik. Metafisika dibagi menjadi lima bagian utama: (i) kajian konsep umum (al-mawjudat al-‘ammah) atau ontolgy; (ii) prinsip dan dasar (al-usul wa al-maadi’) sains; (iii) tentang Kebenaran Awal (al-Haqq al-Awwal); (iv) tentang zat spiritual primer dan sekunder (al-jawahir al-ruhaniyyah); (v) tentang hubungan antara zat langit dan bumi. Tiga bagian akibat mencakup penyelidikan atas sifat dan modalitas wahyu (al-wahy) dan inspirasi (al-ilham), gejala peristiwa ajaib (karamat wa mu‘jizat), sifat kenabian (nubuwwat), angelogy dan eskatologi (‘ilm al-ma‘ad).[27] Pada bagian pengantar pada Ilahiyyat (Metafisika) karyanya al-Shifa’ Ibn Sina membagi sains menurut status ontologis hal-hal yang dikaji, sesuai dengan dua kelompok dimana realitas yang mencakup semua hal yang wujud (al-ashya’ al-mawjudah) dibagi-bagi, yaitu: (i) yang wujud akibat selain atau di luar perbuatan dan kehendak kita (laysa wujuduhu bi-ikhtiyarina wa fi‘lina) dan (ii) yang wujud akibat perbuatan dan kehendak kita (ashya’ wujuduha bi-ikhtiyarina wa fi‘lina).[28]

Di antara para ushuliyyun yang memberikan sumbangsih atas tema bahasan kita, dua yang layak kita sebut yaitu Ibn Hazm (w. 456/1064) dan Imam al-Ghazali (w. 505/1111). Seorang ulama produktif asa Andalusia, Ibn Hazm dikenal sebagai seorang faqih alih-alih filusuf. Konsepnya tentang ilmu antar lain dijabarkan di Tawqif, sebuah risalah yang ditulis menanggapi pertanyaan yang dialamatkan padanya tentang status sains-sains kuno (‘ulum al-awa’il) dan revealed knowledge (‘ilm ma ja’at bihi al-nubuwwah). Ia menegaskan bahwa yang terdahulu, terdiri atas filsafat dan logika, merupakan ilmu yang bermanfaat dan utama karena mengandung ilmu tentang alam dan menawarkan analisis konsesptual atas hal-hal menjadi genera dan spesies, universal dan partikular, substances dan accidents, sembari menuntun kepada kebenaran dengan memberikan bukti-bukti rasional. Demikian juga dengan matematika, kedokteran, dan astronomi. Namun, seberapapun bermanfaatnya sains-sains ini, Ibn Hazm enggan berkomentar, tidak dapat mengalahkan keunggulan revealed knowledge yang Nabi teruskan kepada kita. Ini karena yang terakhir (revealed knowledge) memberikan apa yang ruh manusia perlukan demi kebahagiaan dan keselamatannya baik di dunia maupun di akhirat.[29] Dalam Taqrib-nya Ibn Hazm menyebutkan dua-belas sains utama yang ia anggap bermanfaat bagi manusia setiap saat dan yang menjadi asal sains-sains lainnya: (i) sains-sains al-Qur’an, (ii) sains-sains Hadits, (iii) fiqh, (iv) logika, (v) tata bahasa, (vi) leksikografi, (vii) puisi, (viii) sejarah, (ix) kedokteran, (x) matematika, (xi) geometri, dan (xii) astronomi. Namun, dalam kitabnya Maratib al-‘ulum, ia mengembangkan pengelompokkan sains-sains dari segi suatu program kajian yang dimulai sejak usia 5 tahun dengan bahasa dan al-Qur’an dan berlanjut hingga penguasaan teologi rasional, dimana murid akan dilatih untuk membuktikan apakah dunia ini diciptakan atau tidak, dan selanjutnya menanyakan apakah nubuwah itu mungkin atau tidak, dan mengarah pada pengakuan keberadaan Tuhan dan penerimaan perlunya dan sahihnya nubuwah Nabi Muhammad SAW.[30]

Beralih ke Imam al-Ghazali, kita jumpai pengelompokkan ilmu yang cukup berbeda. Dalam karya monumentalnya Ihya’ ‘Ulum al-Din (Kebangkitan Ilmu-ilmu Agama), bab pertamanya diperuntukkan secara panjang lebar membahas tentang ilmu, Imam al-Ghazali memperkenalkan dua kelompok besar ilmu: sains-sains pratek keagamaan (‘ilm al-mu‘amalah) dan sains-sains pengungkapan ruhiyah (‘ilm al-mukashafah). Yang pertama merujuk pada ilmu yang berurusan dengan prasyarat untuk memperoleh yang kedua. Sains-sains pengungkapan ruhiyah adalah apa yang dibicarakan oleh Nabi secara tersirat dan singkat melalui perlambang dan kiasan (bi al-ramz wa al-isharat ‘ala sabil al-tamthil wa al-ijmal). Sains-sains pratek keagamaan dibagi menjadi sains eksoterik (zahir), mencakup kegiatan fisik seperti ritual dan kebiasaan, dan sains esoterik (batin), berhubungan dengan kegiatan ruhiyah hati dalam hubungannya dengan dunia malaikat di luar persepsi inderawi.[31]

Selanjutnya, Imam al-Ghazali berdasarkan sebuah hadis (yang menyatakan bahwa menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim) telah mengelompokkan ilmu menjadi fard ‘ayn (tugas perorangan) dan fard kifayah (kewajiban kelompok). Yang pertama menunjukkan sains-sains yang setiap Muslim yang waras harus ketahui terkait dengan persyaratan dan larangan agama (al-‘ilm bikayfiyyat al-‘amal al-wajib fi‘luhu aw tarkuhu), sedangkan yang kedua mencakup sains-sains yang penguasaannya wajib hukumnya bagi suatu masyarakat Muslim secara keseluruhan tidak tidak mengikat bagi tiap individu Muslim karena dapat dilaksanakan oleh sebagian saja dari mereka. Ilmy yang masuk kelompok kedualah (fard kifayah) yang amat panjang lebar dijelaskan oleh Imam al-Ghazali. Pertama, ia membaginya menjadi sains-sains agama (shar‘iyyah), diambil dari dan berkisar tentang Wahyu Allah dan Sunnah Rasulullah, dan yang non-agama (ghayr shar‘iyyah), diperoleh melalui nalar, pengalaman/percobaan, dan konsensus. Kemudian, sebagaimana sains-sains agama dibagi menjadi yang terpuji dan yang tercela, demikian juga yang non-agama dibagi menjadi tiga bagian: yang terpuji, yang tercela dan yang diperbolehkan.

Pembahasan kita tentang pengelompokkan ilmu dalam Islam tidak akan sempurna tanpa melihat karya-karya terkait dari al-Suyuti (w. 911/1505) dan Tashköprüzadeh (w. 968/1560). Namun, karena ruang dan waktu yang terbatas, kita tidak akan membahas pengelompokkan ilmu mereka.

Kesimpulan

Kita tidak dapat melebih-lebihkan fakta bahwa peradaban Muslim dibangun di atas dan dipenuhi oleh ilmu. Tulisan di atas dimaksudkan untuk memberikan sekelumit besarnya rasa ketertarikan ulama yang telah menunjukkannya dalam pembicaraan yang serius tentang ilmu dan mengungkapkan sikap umum mereka terhadap sains. Apakah untuk tujuan didaktik atau pedagogik, bibliografis, filosofis, atau agama, ulama mulai melakukan katalogisasi dan pengelompokkan bermacam disiplin sejak abad 3 Hijriah/9 Masehi. Tidak diragukan lagi memiliki kesungguhan pada prinsip-prinsip dasar Islam, namun ulama salaf cukup berwawasan luas untuk menyambut sains-sains kuno dan asing – sikap terbuka yang secara fasih diungkapkan oleh al-Kindi: “Kami kita seharusnya malu menghargai kebenaran dan memperolehnya dari mamapun asalnya, bahkan jika itu berasal dari ras yang jauh dan bangsa yang berbeda dari kita.”[32] Dihadapkan pada sedemikian banyak rangkaian ‘ulum al-awa’il, ulama mampu menyatukan sains-sains yang diterima dari Yunani, Persia dan India seperti kedokteran, astronomi dan matematika ke dalam skema epistemik Islami. Proses penyaringan dan pemilahan, pencetakan-ulang dan pemurnian sebelum asimilasi dan apropriasi bahan-bahan keilmuan asing yang panjang dan rumit inilah yang disebut Islamisasi. Sesungguhnya, mengingat sedemikian banyaknya jumlah ilmu dan informasi yang kita dapatkan saat ini, pentingnya mendefinisikan dan memetakan ilmu tidak lagi perlu dianggap berlebihan, kecuali kita salah mengira tembaga sebagai emas dan kesesatan sebagai kebenaran. (***)

[1] Lihat Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant, edisi baru (Leiden: E.J. Brill, 2007), 2 dan 340-1

[2] Online Oxford Dictionary, http://oxforddictionaries.com/view/entry/m_en_gb0447820 (ed. April 2010).

[3] Cambridge English Dictionary (London)

[4] Kata perkata yang Plato berikan pada lisan Theaetetus adalah sebagai berikut: “Ia berkata bahwa ilmu adalah pendapat yang benar demi nalar (ἔφη δὲ τὴν μὲν μετὰ λόγου ἀληθῆ δόξαν ἐ$ιστήμην εἶναι)”; cf. Terjemahan Latinnya: “… inquit autem opinionem veram cum ratione scientiam esse.”

[5] Lihat Edmund Gettier, “Is Justified True Belief Knowledge?” Analysis 23 (1963), 121-123

[6] Bahwa ilmu itu dapat didefinisi telah dibahas, misalnya, oleh Imam al-Ghazaly dalam karyanya al-Mustasfa (Cairo, 1356/1937), 1:17

[7] Lihat Bertrand Russell, The Problems of Philosophy (London: Routledge, 1929).

[8] Daftar yang panjang dan bagus tentang ilmu oleh ulama diberikan oleh Franz Rosenthal dalam Knowledge Triumphant, 52-69.

[9] Untuk biografi al-Isfahani, lihat: al-Dhahabi, Siyar A’lam al-Nubala’ 18: 120; al-Safadi, al-Wafi bi al-Wafayat, 13:45; al-Dawudi, Tabaqat al-Mufassirin, 2:329; al-Suyuti, Bughyat al-Wu’at, 2:297; Yasien Mohammed, The |Path to Virtue (Kuala Lumpur: ISTAC, 2006)

[10] Al-Isfahani, Mufradat Alfaz al-Qur’an, ed. Safwan ‘A. Dawudi (Damaskus, Dar al-Qalam, 1412/1992), 580.

[11] Tentang kehidupan al-Ghazali, lihat: Ibn Khaldun, Wafayat al-A’yan, 4:216-19; al-Dhahabi, Siyar A’lam al-Nubala’ 19:322-46; al-Safadi, al-Wafi bi al-Wafayat, 12:74-77; Ibn Kathir, Tabaqat Fuqaha’ al-Shlafi’iyyah, 2:533-9. Tentang karya ilmiahnya, lihat ‘Abd al-Rahman Badawi, Mu’allafat al-Ghazali (Kuwait: Wakalt al-Marbu’at, 1977).

[12] Imam al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din (Beirut: Dar al-Fikr, 1420/1999), 1:33.

[13] Athir al-Din al-Abhari, Tanzil al-Afkar fi Ta‘dil al-Asrar, Ms. Laleli 2562 (tertanggal 686/1287), beg.; Ms. Aya Sofya 2526, fol. 13a, merujuk kepada al-Talwihat karya al-Suhrawardi, sebagaimana dicatat oleh Rosenthal, Knowledge Triumphant, 61 (note 82).

[14] Ibn Sina, al-Ta‘liqat, ed. ‘Abd al-Rahman Badawi (Kuwait),117: “al-‘ilm husul surat al-ma‘lumat fi al-nafs.”

[15] Al-Jurjani, al-Ta‘rifat (Beirut: Maktabat Lubnan, 1985), 161

[16] Rosenthal, Knowledge Triumphant, 61 (note 82).

[17] S.M.N. al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), 14.

[18] Ibn ‘Arabi, al-Futuhat al-Makkiyyah, ed. Osman Yahia (Cairo: al-Maktabah al-‘Arabiyyah, 1985), 2:82.

[19] Ibn ‘Arabi, al-Futuhat, 1:92 and 1:250. Cf. Syamsuddin Arif, “Sufi Epistemology: Ibn ‘Arabi on Knowledge (‘ilm),” dalam Afkar (1999), 82-83.

[20] Lihat Dimitri Gutas, Avicenna and the Aristotelian Tradition (Leiden: E.J. Brill, 1988), 150.

[21] Lihat Nicomachean Ethics, vi. 1139a5-15 dan 1139 b14–1141 b8.

[22] Lihat Metaphysics, E (Book VI), vi. i 1–12.

[23] Lihat Dimitri Gutas, “Paul the Persian on the Classification of the Parts of Aristotle’s Philosophy: A Milestone between Alexandria and Baghdad,” dalam Der Islam 60 (1983): 255-67; J. Jolivet, “Classifications of the Sciences,” dalam Encyclopedia of the History of Arabic Sciences, ed. R. Rashed and R. Morelon (London: Routledge, 1996), 3:1008-1025; Harry A. Wolfson, “The Classification of Sciences in Medieval Jewish Philosophy,” dalam Studies in the History of Philosophy and Religion, ed. I Twersky and G.H. Williams (Cambridge, MA: Harvard University Press, 1973), 1:493-545.

[24] See Rasa’il al-Kindi al-Falsafiyyah, ed. M. ‘Abd al-Hadi Abu Ridah (Cairo, 1369/1950), 363-84.

[25] Al-Farabi, Ihsa’ al-‘Ulum, ed. Cf. Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam (Kuala Lumpur,)

[26] Lihat Abu Sulayman al-Sijistani, Siwan al-Hikmah, ed. ‘Abd al-Rahman Badawi (Teheran, 1974), 135-6.

[27] Ibn Sina, “Risalah fi Aqsam al-‘ulum al-‘aqliyyah,” dalam Tis‘ Rasa’il fi al-Hikmah wa al-Tabi‘iyyat (Cairo: Matba‘ah Hindiyyah, 1326/1908), 104-18; diterjemahakan ke Bahasa Perancis oleh Georges C. Anawati, “Les divisions des sciences intellectuelles d’Avicenne,” dalam Mélanges de l’institute domincain d’études orientales (MIDEO) 13 (1977), 323-35.

[28] Cf. Michael E. Marmura, “Avicenna on the Division of the Sciences in the Isagoge of his Shifa’,” Journal for the History of Arabic Science 4 (1980), 239-51. Pengelompokkan yang kurang lebih sama juga didapati dalam karya Ibn Sina, Mantiq al-Mashriqiyyin (Cairo: Matba‘at al-Mu’ayyad, 1328/1910), 5.

[29] Ibn Hazm, al-Tawqif ‘ala Shari‘ al-Nujah bi-ikhtisar al-Tariq, dalam Rasa’il Ibn Hazm, ed. Ihsan ‘Abbas (Kairo,

1952), 43-55.

[30] Ibn Hazm, Maratib al-‘ulum dalam Rasa’il Ibn Hazm, ed. Ihsan ‘Abbas (Kairo, 1952), 70-72.

[31] Imam al-Ghazali, Ihya’ ‘ulum al-din, 1:9 & 26.

[32] Al-Kindi, Fi al-Falsafah al-Ula dalam Rasa’il al-Kindi al-Falsafiyyah, ed. M. ‘a. Abu Ridah (Kairo, 1950-53), 1:130, diterjemahkan dalam Alfred Ivry, al-Kindi’s Metaphysics (New York: SUNY Press, 1974), 58.

Hitung






Komentar

Tentang Blog Ini

Seorang pembelajar yang berharap tidak berhenti belajar, seorang hamba yang berharap tidak berhenti menghamba

Followers