“Pulang, aku harus pulang!”, begitu gumamku di dalam hati. Hari Sabtu itu kulihat merah di kalender buku akademik mahasiswa. Hari Nyepi, ini kesempatanku karena aku selama seminggu di semester IV ini hanya punya libur Kamis dan Jum'at. “Kenapa tak pulang saja ke Tasikmalaya?”, pendapatku dalam hati.
Memang aku akui aku bergegas pulang untuk melepas kerinduan pada ayah dan bunda karena sudah selama hampir lima tahun ini aku selalu hidup melanglang buana: SMA di Bandung dan sekarang di Jakarta. Tidak jauh sih, tapi selalu ada saja penyakit “homesick” yang melanda hati.
Agenda lain yang aku punya dalam rangka pulang ini adalah membayar kesalahan. Aku merasa berdosa sekali, dosa ini selalu terngiang-ngiang dalam hati dan pikiran “Ah, betapa naif dan egoisnya aku ini tidak mau membantu orang lain!”, pikirku. Aku merasa sangat bersalah ketika harus mengakui pada liburan semester III kemarin aku tak sedikitpun melakukan sosialisasi Paramadina Fellowship 2011. Sementara aku tahu, betapa banyak ratusan pelajar atau lulusan SLTA sekarang yang memiliki potensi besar, otak yang cerdas namun tidak pernah tahu tentang beasiswa ini. Ya, walaupun sekarang zamannya Internet, tetapi alamak, pengguna Internet kita kan tahun 2010 saja hanya mencapai 30 juta jiwa dari kurang lebih 240 juta jiwa dengan tinngkat penetrasi yang hanya mencapai 12,3% (http://internetwoldstats.com), dan lebih-lebih di kampungku itu, aku yakin penetrasinya sedikit sekali.
Sementara tahun lalu, masih berbekas di kepalaku aku sampai naik sepeda sewaan -karena alasan SIM dan kelengkapan administrasi sepeda motor-, sampai mati-matian masuk ke dalam hutan, menyusuri jalan berkerikil dan bolong-bolong hanya untuk menyampaikan, ini lho ada beasiswa dari para dermawan-dermawan Indonesia yang peduli akan masa depan bangsa.
Pada liburan yang hanya tiga hari itu, aku memutuskan untuk memberikan informasi emas ini hanya pada sekolah yang memiliki probabilitas terbesar, sekolah yang memiliki reputasi baik dan terbukti tahun kemarin mampu lolos ke tingkat wawancara. Dari sekitar sepuluhan sekolah itu (aku lupa pastinya berapa), hanya ada satu sekolah yang mampu lolos dan menurutku sangat potensial, yaitu SMA Terpadu Riyadlul 'Ulum Wada'wah, atau yang lebih dikenal dengan SMA Condong Tasikmalaya. SMA ini merupakan SMA yang bagus yang memasukkan kurikulum gabungan dengan suasana kampus yang kental sekali dengan aroma pesantren. Walaupun pesantren, tetapi sudah mampu tampil modern, terlihat dari “pencontekannya” terhadap Pesantren Gontor.
Dengan 'azzam yang mantap, aku pinjam sepeda Spin kakakku. Walaupun ragu, karena baru pertama ini aku memakai sepeda motor matic. Tak apalah, sembari belajar. Perjalanan hanya memakan waktu setengah jam untuk bisa sampai ke SMA Condong ini. Agak kikuk juga, karena harus membiasakan diri memakai dua rem. Yah, di tengah jalan di daerah Saripin perjalananku terhambat karena adanya arak-arakan “samenan” (acara naik kelas tahunan), membuat molor. Alhamdulillah sampai juga di tujuan.
Kedatanganku disambut hangat oleh Dinan, siswa kelas 6 yang tertarik untuk menjajal Paramadina Fellowship ini. Duh, senangnya saat bisa menginjakkan kaki di tanah pesantren yang mengingatkanku kembali dengan kehidupan boarding school-ku semasa SMA dulu yang setengah pesantren setengah militer. Yasud, aku diajak untuk naik ke kelas IPA di lantai 2. Hmmm, kuhirup kerifan pesantren sangat lekat: baju koko, asrama dan muhadatsah! Hoho, damai sekali sepertinya.
Saat masuk, kulihat hijab di kelas. Ya, memang kelasnya difragmentasikan untuk akhwat dan ikhwan. Tapi saat itu tidak seperti tahun kemarin ketika aku sosialisasi di sekolah tersebut, tidak ada Ustadz yang menemani. So, cukup beralasan kalau ada seorang siswa yang membuka hijab tersebut, nakal juga!
Interaksi
Dengan ditemani minuman teh botol Sosro di depan mata, pembeberan tentang Paramadina Fellowship ini berjalan sangat menarik. Audiens yang semuanya kelas 6 (kelas 12 SLTA, mereka nyantri dari “kelas 1 SMP” sampai “kelas 6 SMA”) terlihat sangat antusias Beberapa pertanyaan muncul dari audiens. Namun sayangnya, tak ada satupun pertanyaan jitu dari pihak putri. Ketika aku nyeletuk pake Basa Sunda, hanya sepenggal pertanyaan ini yang terlontar dari siswi:
“Eh, Aa urang mana nya?”
Artinya : “Eh, Kakak orang mana ya?”
Padahal aku sangat menginginkan sekali berita ini tersampaikan sepenuhnya, tak ada yang terpenggal satu pun demi mendukung dan membekali mereka nanti tatkala proses seleksi berlangsung. Entah kenapa dan mengapa bagaimana kumaha, sepertinya para putri itu memendam pertanyaan di hati yang tak lekas dilidahkan. Terbukti, setelah presentasi selesai dan aku sudah meninggalkan kelas, ada satu orang yang menghubungiku untuk menanyakan sesuatu tentang Parmadina Fellowship ini, dasar! Mengapa gak dari tadi gitu. Tapi tak apa-apalah, lillah aku bersedia.
Satu hal yang menggelitik, selain terhadap Paramadina Fellowship tersebut, ternyata mereka ingin sekali mengetahui bagaimana menjadi seorang mahasiswa itu. Maksudku, sistem belajarnya seperti apa, penilaiannya, suasana kampusnya. Mungkin sama juga seperti aku dahulu yang sangat ingin mengecap bangku perguruan tinggi. Maklum, menurut pengakuan mereka, para alumni yang kuliah ke luar jarang sekali melakukan sharing tentang dunia perkuliahan.
Serasa melepaskan tas berat di punggung. Aku sangat senang sekali setelah presentasi itu selesai. Besar harapanku, walaupun satu orang saja, ada yang bisa lolos tembus hingga menjadi mahasiswa fellow 2011. Itu merupakan sumbangsih yang bernilai sangat besar bagiku. Serasa ikut serta mengukir masa depan mereka, masa depan anak-anak muda. Aku juga tak lupa berpesan pada mereka untuk menyampaikan informasi ini kepada lulusan SLTA sederajat yang usianya masih memungkinkan untuk mencoba beasiswa ini. Beasiswa yang mengantarkan aku menjadi aku yang sekarang. Hmmm, kumohon pada-Mu Ya Rabb, kabulkanlah.
Kepulanganku ke rumah terhenti akibat hujan deras yang mengguyur selama hampir tiga jam. Dari Dzuhur sampai Ashar aku menunggu di masjid sekolah. Ya, sedikit obrolan ringan dengan Dinan mengenai belajar Bahasa Arab, penggunaan ponsel yang dilarang, dan Paramadina tentunya. Aku banyak menceritakan bagaimana kehidupan asramaku yang ternyata tak jauh berbeda dengan mereka. Jadi rindu rasanya.
Mata langit pun kering sudah, aku bergegas pulang. Kali ini aku mengambil jalur lain yang lebih curam dan terjal jalannya. Agak takut juga, was-was kalau sepeda motor “ompong” ini tak mampu menanjak sementara langit kembali menggerimis. Fiuh!
Di daerah kampung Depok, hujan kembali turun deras. “Yah, bajuku harus dibawa basah tentunya”, pikirku. Tiba-tiba di belokan ada beberapa ayam yang melintas. Sontak aku menarik rem kanan karena kebiasaan sepeda motor bergigi. Lantaran hujan, berkerikil dan dadakan, aku pun terjatuh ke pinggir jalan. Sepeda motor pun aku lepaskan. Perih tentunya karena beberapa kerikil menghujam tanganku. Darah keluar, keperihanku diamini oleh air hujan. Ckckck musibah, musibah. Spion sepeda motor pun jadi korban.
Ah, kembali ke Ibukota membawa sedikit luka fisik di tangan dan pakaian basah. Tapi tak apalah, daripada aku harus menahan luka bersalah tidak memberitakan kabar baik ini kepada orang yang tepat. Mudah-mudahan sekali tahun ini Paramadina Fellowship akan lebih kompetitif lagi sehingga dihasilkan mahasiswa fellow yang lebih berakhlak, potensial dan mampu menjadi agent of change bangsa ini. Nah, demikian pembaca yang budiman semoga kita bisa mengambil banyak hikmah dari ceritaku ini.
Wallahu A'lam Bishshowab
1 komentar:
Kisah yang menarik Zal,,,izin jadi Follower ya di Blog Media Penuntut Ilmu. Smg dengan jadi follower d blog derizal jadi bisa nambah berkah di blog ane,,hehe. aamiin,,,
Post a Comment