Afgan Juga Pramuka!! |
Pada tahun 2014 ini Pramuka di Indonesia
sepertinya akan mulai mengalami tren yang menggembirakan karena telah
menjadi ekstrakurikuler yang wajib pada Kurikulum 2013 setelah
sebelumnya dengan terbitnya
Undang-Undang Nomor 12 tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka yang
memperkuat legalitas Pramuka di negeri ini. Ya, di samping pro kontra
yang menyertai kurikulum baru tersebut tentunya. Untuk itulah, Gerakan Pramuka telah mempersiapkan diri dengan memperbaharui
sistem pendidikan kepramukaan, beberapa diantaranya dengan melakukan
akreditasi Gudep (Gugus Depan), serta sertifikasi dan lisensi para
Pembina.
Omong-omong soal Pramuka, semasa SMA dulu saya hidup dalam lingkungan kawah candradimuka: sebuah boarding school yang kental selain dengan suasana religius juga aroma militer melalui para pembina dari TNI. Walaupun memang keras dan menekankan disiplin, tapi banyak hikmah yang bisa diambil. Kita belajar tentang taat pada peraturan, melatih mental baja, mengendalikan diri, sembari tetap menjadi insan kreatif sarat prestasi yang selalu mengasah kelembutan hati, solidaritas persahabatan, penghormatan pada guru/orang yang mesti dihormati dan kepekaan sosial-lingkungan. Lingkungan semacam ini tentu sangat klop dengan Pramuka. Selain itu juga, kami sebagai siswa asrama memang diwajibkan memilih salah satu di antara dua ekstrakurikuler berkarakter mirip yang wajib diikuti: Pramuka atau Paskibra.
Berbeda dengan lingkungan saat saya berada sekarang ini. Dunia kampus yang penuh idealisme dan overserius, terkadang memaksa kita hidup dalam kepura-puraan. Tawa yang kita lempar sekadar formalitas keakraban. Padahal hidup yang memang permainan ini perlu unsur bermain, seberapa tua pun umur kita. Pramuka menjadi wadah bagi kita untuk menyalurkan rasa 'bermain' dalam hal-hal yang masih positif. Pramuka bisa menjadi sarana untuk intermezzo atau jeda untuk sekadar mengambil nafas demi mengenali diri sendiri dan alam di tengah arus dunia urban yang terus menerus melakukan penggerusan kedirian dan kejatidirian.
Tapi memang model pelantikan yang terlihat perpeloncoan juga cukup banyak menuai kritikan. Pelantikan yang biasanyaafgan sadis ini tidak urung menjadi perhatian beberapa teman sosial media saya. Kemungkinan besar cara pandang mereka dibentuk oleh lingkungan yang berbeda dengan saya, tapi saya rasa komentar miring terkhusus tentang pelantikan ini apalagi sampai pada tahap mencela Pramuka
tidak perlu ada, karena ini adalah aspek pendidikan juga yang kata
Baden-Powell: membentuk generasi waras di zaman yang edan.
Omong-omong soal Pramuka, semasa SMA dulu saya hidup dalam lingkungan kawah candradimuka: sebuah boarding school yang kental selain dengan suasana religius juga aroma militer melalui para pembina dari TNI. Walaupun memang keras dan menekankan disiplin, tapi banyak hikmah yang bisa diambil. Kita belajar tentang taat pada peraturan, melatih mental baja, mengendalikan diri, sembari tetap menjadi insan kreatif sarat prestasi yang selalu mengasah kelembutan hati, solidaritas persahabatan, penghormatan pada guru/orang yang mesti dihormati dan kepekaan sosial-lingkungan. Lingkungan semacam ini tentu sangat klop dengan Pramuka. Selain itu juga, kami sebagai siswa asrama memang diwajibkan memilih salah satu di antara dua ekstrakurikuler berkarakter mirip yang wajib diikuti: Pramuka atau Paskibra.
Berbeda dengan lingkungan saat saya berada sekarang ini. Dunia kampus yang penuh idealisme dan overserius, terkadang memaksa kita hidup dalam kepura-puraan. Tawa yang kita lempar sekadar formalitas keakraban. Padahal hidup yang memang permainan ini perlu unsur bermain, seberapa tua pun umur kita. Pramuka menjadi wadah bagi kita untuk menyalurkan rasa 'bermain' dalam hal-hal yang masih positif. Pramuka bisa menjadi sarana untuk intermezzo atau jeda untuk sekadar mengambil nafas demi mengenali diri sendiri dan alam di tengah arus dunia urban yang terus menerus melakukan penggerusan kedirian dan kejatidirian.
Tapi memang model pelantikan yang terlihat perpeloncoan juga cukup banyak menuai kritikan. Pelantikan yang biasanya