23 May 2017

Makar: Konspirasi Atau Rekayasa Sosial?


Oleh: Ust. Priyo Djatmiko 21/05/2016 15:16

Saya khawatir kebiasaan mudah percaya, suka menyebarkan teori-teori konspirasi bahkan pikirannya tersibghah (tercelup, tenggelam) dalam cara berpikir konspiratif, itu akan jadi bid'ah fikriyah, bid'ah sulukiyah, bid'ah manhajiyah bahkan bid'ah aqaidiyah sebagian umat Islam. Ini dengan tidak atau belum mempertimbangkan dampak buruk tafarruq (perpecahan), fitnah (fitnah dalam bahasa indonesia atau haditsul ifki atau buhtan dalam bahasa Arab) utamanya ketika dijadikan senjata untuk menyerang lawan pemikiran, baik individu ke individu maupun kelompok ke kelompok. Tanpa mempertimbangkan itu pun sebetulnya bahaya kecanduan teori konspirasi sudah berbahaya sebab ia anti ilmu meski kadang menggunakan argumen setengah ilmu alias pseudo ilmiah. Selain anti ilmu ia juga berbahaya bagi mentalitas, menyebarkan mental korban, tidak berdaya dan korban tak berdaya seringkali justru meledak berlebihan dalam melawan seperti hewan yang terpojok oleh pemburu akan nekad melawan dengan cara apa saja yang instinktif bukan cara rasional.

Sebagian teman-teman mengajukan "makar" dalam Al Quran sebagai bukti pendukung adanya waqi (fakta) konspirasi dan atau teori konspirasi. Konspirasi memang mungkin ada dan beberapa ada, tapi itu lebih tepat di Al Quran sebagai "najwa"; bisik-bisik atau pembicaraan rahasia yang sifatnya sangat temporer, lokal dengan dampak terbatas. Teori konspirasi menuntut kita anti pengetahuan dan otoritasnya terhadap semua kejadian, fakta dan perkembangan. Berbeda dengan skeptisisme yang mendapat tempat dalam falsafah ilmu sebab skeptis bukan nihilisme, skeptis berbasis pada kritisisme yang punya basis, menghasilkan tawaquf (menunda kesimpulan, pending, tahu bahwa dirinya belum tahu), penganut konspirasi menyimpulkan yang berlawanan dan tidak melakukan pengujian baik yang ia yakini (konspirasi) maupun yang tidak ia yakini.

Jika mau dikaji tentang kosakata makar, dalam Quran secara bahasa, konteks dan terminologi, ia lebih dekat pada social engineering (rekayasa sosial). Orang lain melakukan social engineering, kita melakukan social engineering dan Allah meridhai milik orang beriman yang baik tujuannya. Social engineering lebih baik sebab ia lebih visioner, menuntut pemikiran intelektual dari individu muslim dan pemikiran kolektif dari umat, lebih berdaya, fastabiqul khayrat, lebih introspektif, lebih terbuka pada berbagai macam perkembangan ilmu sosial dan sains, lebih lurus secara manhaj dalam memahami sains, menghindarkan perpecahan yang tidak perlu dan tidak harus sebab ia bisa mengenali latar belakang peristiwa, memahami perencanaan orang lain tidak harus diletakkan pada moralitas "kafir" atau "jahat", tapi pada kepentingan dan keterpaksaan individu dalam kungkungan sistem dan karenanya kita bisa berdialog dengan lebih baik dengan mencari jalan win-win solution atau menguji etika etika pengambilan keputusan. Cukup jelas, saat ini umat Islam sangat lemah melakukan social engineering, sehingga kita menjadi objek dan tak punya andil terhadap perubahan dunia.

Lebih penting lagi, sebagian teori konspirasi yang laku beredar di kalangan muslim saat ini disuplai oleh polemik-polemik konspirasi dari kalangan religius fundamentalis di Barat khususnya Amerika, seperti teori flat earth, vaksinasi, fake moon landing dan lain sebagainya. Jangan-jangan ini tasyabbuh bil kuffar yang diingatkan nabi pada umatnya. Minimal gunakanlah teori dengan bijaksana, bahwa teori adalah teori. Silahkan didengar tapi ia perlu diuji. Agar kita, "alladzina yastami'unal qawla fayattabi'una ahsanah"

Komentar saya:

Konspirasi? Tidak dinafikan itu memang ada, contohnya adalah konspirasi bola lampu (Anda bisa cari sendiri). Tapi menyibukkan diri dengan secara gegabah terus menerus pada konspirasi, tidak sehat bagi perkembangan cara berpikir. Itu catatan penting kalau saja kita mau kembali membangun masyarakat yang jadi scientific society seperti khairul qurun-nya masa para shahabat, tabi'in dan tabi'it itba tabi'in.

21 May 2017

Soal POLITIK ISLAM dan 'ISLAM POLITIK'


Oleh: Ust. Syamsuddin Arif, Direktur Eksekutif INSISTS Jakarta12/05/2017

Sebuah kesimpulan menarik telah dikemukakan oleh Bernard Lewis, guru besar di Universitas Princeton, Amerika Serikat, bahwa salah satu ciri yang membedakan agama Islam dengan agama Yahudi dan Kristen adalah perhatian besar dan keterlibatan langsung yang ditunjukkannya terhadap tata kelola negara dan pemerintahan, hukum, dan perundangan: “The religion of Islam, in contrast to both Judaism and Christianity, was involved in the conduct of government and the enactment and enforcement of law from the very beginning”, tulisnya dalam buku Islam: The Religion and the People (New Jersey: Pearson, 2009), hlm. 81.
Dengan kata lain, Islam adalah satu-satunya agama yang sangat peduli pada politik. Namun, bukan politik sebagai tujuan, melainkan politik sebagai sarana mencapai tujuan yang lebih tinggi, lebih agung, dan lebih mulia, yaitu kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat. Itulah sebabnya Nabi Muhammad berdakwah, berdagang, dan berperang. Pun para sahabat beliau yang melihat kekuasaan politik sebagai amanah (trust) dan fitnah (test). Simaklah pidato pelantikan mereka sebagai khalifah berikut ini.

Abu Bakar as-Shiddiq berkata, “Sesungguhnya aku telah dikalungi tanggung jawab yang besar (laqad qullidtu amran ‘aziman), padahal aku bukanlah yang terbaik di antara kalian. Maka dukunglah aku jika tindakanku benar, dan betulkan jika aku salah. Patuhilah aku selagi aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Namun, jika aku menyalahi perintah Allah, maka aku tidak perlu kalian patuhi!” (Lihat: Ibn Sa‘d, at-Ṭabaqāt, ed. Iḥsān ‘Abbās, cetakan Dār Ṣādir Beirut, 1957 -1960, jilid 3, hlm. 182-3).

Terlepas dari segala keterbatasan dan kesederhanaannya, apa yang telah digariskan dan dijalankan oleh Rasulullah ataupun para sahabat (khalifah-khalifah sesudahnya) merupakan konseptualisasi dan implementasi dari apa yang dikehendaki Allah SWT. Dan inilah yang kita maksud dengan ‘politik Islam’, dalam arti negara berpandukan agama dan pemerintahan berasaskan hukum Tuhan pencipta jagad raya, langit dan bumi, termasuk manusia. Kita boleh menyebutnya ‘al-madīnah al-fāḍilah’ (the virtuous polity) atau ‘as-siyāsah as-syar‘iyyah’ (state governance based on Divine Law) —meminjam ungkapan al-Fārābī dan Ibn Taymiyyah.

Kajian 'Politik Islam'

Meskipun Islam dan politik telah menyatu sejak awal, di mana Nabi Muhammad SAW bukan sekadar utusan Allah dan pemimpin agama, melainkan juga pemimpin bangsa dan negara, sebagai 'leader' dan 'ruler', kajian politik Islam secara ilmiah, teoritis, dan sistematis baru bermula pada kurun kedua Hijriah. Secara umum, pemikiran politik Islam merupakan sintesis dan amalgamasi dari konsep-konsep kepemimpinan yang dikenal dalam masyarakat Arab pra-Islam dan ajaran Islam itu sendiri (yakni al-Qur'an dan Sunnah) dengan tradisi bangsa-bangsa yang ditaklukkan, seperti Syria (Romawi), Mesir, Persia, dan Mongol.

Sejauh ini, karya pertama yang diketahui secara sistematis membahas ketatanegaraan dari perspektif Islam adalah bab politik dari kitab as-Siyar al-Kabīr yang ditulis oleh Muḥammad ibn al-Ḥasan as-Syaybānī (w. 189/804), seorang ulama besar Irak abad kedua/sembilan. Ini diikuti oleh bagian pertama (kitab as-Sulṭān) dari ‘Uyūn al-Akhbār karya Ibn Qutaybah (w. 276/885) dan bagian pertama dari kitab al-‘Iqd al-Farīd karya Ibn ‘Abdi Rabbih.

Kajian dan pemikiran politik Islam dapat dipetakan dalam tiga wilayah besar. Pertama, kajian tradisional-normatif, yakni pembahasan konsep-konsep dan norma-norma perpolitikan yang diuraikan oleh para ulama. Termasuk dalam kategori ini, tiga kitab yang kita sebut di atas. Namun, sebenarnya wilayah ini pun masih bisa dipilah lagi menjadi beberapa kategori: (i) ulama ahli telogi atau mutakallimūn dari golongan Ahlus Sunnah (al-Asy‘arī, al-Bāqillānī, al-Baghdādī) maupun Mu‘tazilah (al-Jāḥiẓ dan al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār) yang masing-masing menyediakan satu bab khusus dalam karyanya terhadap masalah imamah atau kepemimpinan, apakah ia wajib atau tidak, dengan proses pemilihan ataukah penunjukan, dan sebagainya; (ii) ulama ahli hadis atau muḥadditsūn (seperti Imam al-Bukhārī, Muslim, at-Tirmidzī) yang juga menaruh perhatian terhadap hadis-hadis politik (contohnya ‘kitab al-imārah’ dalam Ṣaḥīḥ Muslim).

Selanjutnya (iii) ada ulama ahli hukum atau fuqahā’ (al-Māwardī, al-Farrā’, al-Juwaynī) yang masing-masing menulis buku khusus untuk mengupas fikih politik dan pemerintahan; (iv) ulama pujangga atau udaba’ (Ibn al-Muqaffa’, al-Jahsyiyārī, at-Tsa‘ālabī, at-Ṭarṭūsyī); (v) ulama ahli filsafat atau falasifah (al-Fārābī, Ibn Sīnā, Ibn Rusyd) yang mewakili tradisi pemikiran atau filsafat politik Yunani kuno (Plato dan Aristoteles). Ciri khas dari kajian jenis ini adalah banyaknya aturan dan anjuran yang perlu dipahami dan dilakukan oleh seorang pemimpin agar dihormati oleh bawahannya, dicintai oleh rakyatnya, dan disegani oleh musuh-musuhnya. Walaupun juga diselingi contoh-contoh kasus, kebanyakan merupakan pernyataan-pernyataan induktif-normatif yang masih bisa dan perlu dikukuhkan oleh penelitian empiris atau bahkan uji-coba lapangan.

Kedua, kajian tekstual-historis yang merupakan pendekatan para sarjana Barat atau ahli ketimuran (orientalis). Politik Islam dikaji sebagai pusaka ilmiah (intellectual heritage) tak ubahnya seperti artifak kuno dikaji oleh ahli arkeologi. itu masa lalu, sudah lama mati, dan kini tinggal sejarah. Politik Islam sebagai aksi, proses, regulasi, ataupun diskursus, semuanya menarik dikaji sebagai produk sejarah yang mungkin masih relevan dan mungkin tak relevan sama sekali dengan situasi sekarang ini. Kalau memang relevan, mengapa tak ada satupun negara Islam saat ini yang mengacu padanya? Namun jika tidak relevan sama sekali, lantas untuk apa semua itu dikaji? Jawaban para sarjana orientalis untuk pertanyaan ini cukup beragam; dari sekadar memenuhi dahaga intelektual dan memperlihatkan wawasan budaya, hingga untuk mendapatkan cermin bagi merumuskan kebijakan luar negeri dalam hubungan dengan negara-negara Islam.

Sebagai contoh pendekatan tekstual-historis ini adalah kajian pemikiran politik Ibn Taymiyyah oleh Henri Laoust, kajian sistem administrasi negara zaman Abbasiyah ole Ann Lambton, kajian naskah kitab Ibn Rusyd yang menguraikan Politeia (Respublica) Plato oleh Erwin Rosenthal, kajian naskah kitab Ārā’ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah karya al-Fārābī oleh Richard Walzer di Oxford, dan masih banyak lagi. Pendekatan ala orientalis ini sebenarnya bermanfaat sekali untuk mengenalkan kita pada khazanah pemikiran politik yang dimiliki umat Islam. Akan tetapi di sisi lain, ia sering kali juga membawa orang menerawang jauh di alam utopia. Akibatnya, timbul perasaan miris ketika melihat kenyataan tidak seindah pengharapan.

Ketiga, kajian sekuler-modernis yang mulai muncul sejak Dunia Islam dijajah dan dikuasai oleh bangsa-bangsa Eropa. Pendekatan ini bertolak dari anggapan atau bahkan keyakinan —yang sesungguhnya boleh jadi keliru – bahwa ketidakmampuan umat Islam menghadapi kolonialisme Eropa disebabkan oleh sistem politiknya yang lemah, dan ini dikarenakan oleh ajaran Islam yang tidak mengenal pemisahan antara agama dan negara. Maka maraklah gagasan sekularisasi sebagaimana dipopulerkan oleh Kemal Ataturk.
Tokoh-tokoh cendekiawan pun hanyut dalam arus ini. Dapat kita sebut misalnya ‘Ali ‘Abd al-Raziq yang menulis buku al-Islām wa Uṣūl al-Ḥukm (1967), Khalid Muhammad Khalid, penulis Min Hunā Nabda’ dan ad-Dīmuqrāṭiyyah Abadan (1953), ‘Abd al-Ghanī Sani yang menulis buku al-Khilāfah wa Sulṭat al-Ummah (1924). Mereka ini tanpa berpikir panjang menelan bulat-bulat aneka konsep dan sistem politik Barat modern, seperti demokrasi dan sebagainya. Hanya dengan meniru sistem politik Barat, negara-negara Islam bisa maju dan kuat, begitulah bayangan mereka. Pendek kata, kelompok apologetik ini berupaya mencarikan pembenaran terhadap sistem demokrasi dan konsep negara sekuler agar dapat diterima dan diamalkan oleh umat Islam.

‘Islam Politik’

Jika politik Islam telah dipahami dan diamalkan berabad-abad lamanya , istilah ‘Islam politik’ terbilang baru. Para pengamat non-Muslim sengaja menciptakan istilah ini guna menyudutkan dan melecehkannya. Menurut mereka, ‘Islam politik’ adalah sikap dan prilaku politik umat Islam yang didorong oleh keyakinan bahwa Islam mesti berperan di ruang publik dan perlu mempengaruhi kebijakan politik masa kini. Istilah kontroversial ini mereka pakai untuk membedakan antara sikap apatis atau pasif sebagian orang Islam dengan sikap sebagian lainnya yang sangat aktif berpolitik.

Ada tiga paradigma yang dianut oleh pengamat ataupun pelaku ‘Islam politik’, yaitu paradigma pesimis radikal, paradigma utopian radikal, dan paradigma optimis moderat.

Kita mulai dengan yang pertama. Paradigma pesimis radikal diwakili oleh pengamat politik semacam Oliver Roy, penulis buku 'The Failure of Political Islam' (Kegagalan Islam Politik). Menurutnya, aktivis ‘Islam politik’ sebenarnya tidak atau kurang memahami Islam, hanya mengikuti syahwat politik demi mengegolkan agenda-agenda mereka sendiri. Artinya, mereka ini tanpa sadar mengkhianati umat Islam dan membelakangi para ulama (anti-clerical). Roy menjuluki mereka neo-fundamentalis yang tidak sama dengan kaum Islamis. Aktivis ‘Islam politik’ kalaupun mereka menang pemilu dan berkuasa dapat dipastikan akan gagal menjalankan pemerintahan yang adil dan berwibawa, sebaliknya justru bakal membunuh demokrasi, menindas rakyat, menghancurkan ekonomi, dan merusak hubungan internasional. Demikian ramalan suram dari Roy, yang diamini oleh dan mempengaruhi banyak pengamat termasuk Graham E. Fuller dan Kikue Hamayotsu.

Paradigma kedua yang utopian radikal bercita-cita mendirikan sebuah negara Islam, dan bukan sekadar berjuang mewujudkan aspirasi dan membela kepentingan umat dalam bingkai demokrasi negara modern. Paradigma ini diwakili, antara lain, oleh Abu ‘l-A‘lā al-Mawdūdī dan Sayyid Quṭb yang mengedepankan konsep negara bukan berdasarkan kebangsaan atau nasionalisme, akan tetapi negara berdasarkan agama, bukan berdasarkan kedaulatan rakyat atau demokrasi, akan tetapi berdasarkan hukum Allah atau Syari`ah. Gagasan ini tentu saja dianggap utopian karena amat sukar —untuk tidak mengatakan mustahil— direalisasikan pada zaman sekarang ini kecuali dengan revolusi politik yang menumbangkan pemerintahan yang sedang berjalan. Itulah sebabnya gagasan ini dijuluki radikal, sebagaimana lazimnya kelompok revolusioner disebut atau menyebut diri mereka for better or worse.

Paradigma optimis moderat tidak sependapat dengan Oliver Roy. Bagi mereka, Islam dan politik tidak perlu dipertentangkan. Agama dan negara tidak mesti dipisahkan. Politik Islam bukan dongeng, melainkan pengalaman dan pengamalan lebih dari seribu tahun lamanya. Dan, karena itu, ‘Islam politik’ bukan utopia atau angan-angan belaka. Bagi orang-orang seperti Mohammad Natsir, misalnya, Indonesia bukan negara sekuler. ‘Islam politik’ tidak harus menempuh jalan revolusi. Sebaliknya, melalui cara-cara yang konstitusional ‘Islam politik’ dapat dan mesti berkompetisi dengan kelompok lain dalam NKRI untuk sama-sama merawat negeri dengan semangat fastabiqul khayrāt (berlomba-lomba meraih kebaikan) dan amar ma‘ruf nahi munkar (commanding good and prohibiting evil).
[Source: Republika 19/1/2017 Page 18, ISLAMIA]

Permasalahan Utama Islam dan Sains


Oleh: Ust. Priyo Djatmiko 27/03/2017

Kalau orang Islam mengatakan Islam tidak punya masalah dengan sains sebagaimana umat Kristiani dulu alami pada sejarah kelahiran sains Barat dan era kegelapan sebelumnya, maka klaim itu benar dalam 3 (tiga) konteks:

  1. Konteks sejarah ketika peradaban Islam dalam puncak kejayaan yang dicirikan dengan peradaban cinta ilmu (relatif melampau peradaban-peradaban lain yang semasa);
  2. Konteks normatif dimana semangat umum dan observasi atas alam secara 'apa adanya' mudah ditemukan dari teks Al-Quran dan sabda Nabi Muhammad SAW, yang mana konteks normatif ini adalah landasan yang penting dan membanggakan namun butuh kapasitas subjek (yaitu orang Islam yang mengimani dasar normatif tersebut) untuk memanfaatkannya; 
  3. Konteks semangat reseptif, dimana secara jargon umat Islam tidak pernah menolak kebutuhan, keutamaan dan keharusan untuk mempelajari dan menguasai sains (dalam pengertian yang sangat generalis). 

Masalahnya adalah, semangat tersebut tidak diiringi dengan pemahaman yang benar tentang apa itu sains modern, dan bagaimana peta relasinya yang rumit dengan doktrin-doktrin teologi dan etika dalam islam. Beberapa orang 'alim yang saya temui menolak mengakui masalah tersebut selain karena ketidakpahaman tadi, juga batas imajinasi bahwa sains perlu, semata karena tujuan pragmatiknya (dicampur aduk dengan konsep teknologi) untuk membuat 'umat kuat dan berjaya kembali' (dengan imajinasi dan narasi tentang apa itu kejayaan yang simplistik dan terbatas). Motif pragmatis atas apresiasi pada sains tersebut mengaburkan kunci masalah, yaitu memahami apa dan bagaimana sains itu ditetapkan, serta bagaimana memahamkan umat secara luas agar ia berhasil sebagai proyek kultural, bukan semata menghasilkan satu dua individu yang menonjol tapi tak berguna banyak untuk umat. Karena semua pertanyaan ini tak lain adalah soal falsafah, maka bagaimana islam memandangnya juga perlu dibicarakan di wilayah diskusi ilmu-ilmu agama dengan level berpikir melampaui hal teknis operasi semata dan tak bisa diserahkan pada negara dengan aparatus sistem pendidikannya.

Toleransi


Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi

Pada tanggal 17 Nopember tahun 2010, saya diberi tugas Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia untuk mengikuti program Public Diplomacy Campaign ke Austria. Saya menyampaikan kuliah umum di dua universitas yaitu Universität Vienna dan Universität Salzburg.

Di Universität Vienna diadakan di Departement Kajian Ketimuran (Oriental Studies). Dihadiri oleh sekitar 50 orang diantaranya terdapat seorang mahasiswa dan mahasiswi berkebangsaan Arab. Temanya tentang moderasi dan toleransi. Saya menyampaikan toleransi umat Islam Indonesia terhadap kepelbagaian agama, termasuk terhadap pemeluk agama Kristen.

Seorang peserta bertanya, mengapa di Indonesia orang bisa lebih toleran tapi disini dan negara Eropa lainnya tidak. “Saya dan keluarga saya dan saya kira juga kebanyakan keluarga Austria disini tidak tahan bertetangga dengan keluarga Muslim”, lanjutnya. Saya terkejut mendengar pertanyaan dan pernyataan orang Barat yang tulus itu.

Agak lama saya berfikir, tapi kemudian saya ketemu jawabnya. “saya kira anda di Barat terlalu kaku berpegang pada faham sekulerisme sehingga tidak toleran pada agama. Apapun yang berbau agama anda tolak, apalagi kalau hal itu masuk kedalam ruang publik.

“Sesuatu yang tidak mungkin terjadi di Barat adalah masuknya agama ke ruang-ruang publik”, kata saya. Di Indonesia kami telah terbiasa mendengar seorang pendeta berceraham di TV publik dan toleran terhadap perayaan agama selain Islam di ruang publik. Kami selalu menyaksikan perayaan Natal di stadion atau tempat-tempat public yang disiarkan secara nasional oleh stasiun TV. Saya hanya menyatakan bahwa menjadi sekuler itu tidak membuat orang arif dan toleran. Sekuler malah bisa berarti eksklusif.

Universität Salzburg acaranya di handle oleh Fakultas Systematiche Theologie. Mahasiswa Pasca, dosen dan masyarakat umum yang berjumlah sekitar 100 orang menyimak kuliah umum yang bertema Democracy Islam Human Right. Kuliah saya berjudul Redefining Moderate Muslim, Appraising Religio-Political Thought of Indonesian Muslims.

Di acara dinner dengan para dosen saya utarakan problem liberalisasi pemikiran keagamaan yang kami alami di Indonesia. Disini saya sekali lagi juga terkejut. Ternyata para dosen itu mengetahui apa yang sedang terjadi di dunia Islam. Mereka bahkan merasakan hal yang sama. Saya bertanya apakah mereka setuju dengan faham-faham feminism dan kesetaraan gender, pluralism agama, liberalisasi pemikiran. Ternyata tidak.

Untuk mengetahui kebenaran pandangan mereka saya mencoba pancing dengan ide global theology yang diutarakan oleh John Hick. Ternyata salah seorang dosen systematic theology bernama Profesor Hans Joachim Sander sangat benci pada John Hick. Saya terkejut ketika dia mengatakan bahwa teori pluralisme John Hick itu tidak populer. Dan dalam Kristen idenya itu dianggap sudah usang. Pluralisme teologi itu, katanya adalah proyek Amerika.

Bahkan dia terus terang “Liberalisme itu omong kosong”. Ia juga sepakat ketika saya katakan bahwa semua agama sekarang ini sedang dipinggirkan dan bahkan ditindas. Alatnya adalah pluralisme, liberalisme, feminisme dan demokratisasi beragama. Mereka malah mengetahui nama-nama pemikir Islam yang liberal seperti Nasr Hamid dan Arkoun yang mengingkari otentisitas al-Quran.
Dari pertanyaan hadirin di Wienna jelas yang tidak toleran terhadap agama adalah masyarakat Barat sekuler. Tapi anehnya, yang kini dituduh eksklusif adalah orang-orang beragama. Cara pandang mereka masih dipengaruhi alam pikiran abad ke 16 dan 17, dimana sekte-sekte agama di Eropa waktu itu sering konflik. Sekte-sekte, atau agama-agama itu punya tuhannya sendiri-sendiri (teori geosentris) dan saling menyalahkan. Konflik pun bermuara pada pembunuhan.
Andrew Sullivan di The New York Times Magazine menggambarkan bahwa gara-gara perang salib, inquisisi dan perang agama Eropa abad 16 dan 17 berlumuran darah. Bahkan lebih banyak dibanding di dunia Islam. Tapi anehnya situasi itu dianggap terus terjadi hingga sekarang.

Yang jadi sample adalah peristiwa 11/9 yang sejatinya penuh misteri itu. Padahal konflik agama selama ini, jikapun ada, tidak sebesar konflik politik. Tidak sebesar perang teluk dan invasi AS ke Irak dan Afghanistan. Jumlah yang mati sia-sia pun lebih banyak konflik politik.

Untuk memojokkan agama Jack Nelson-Pallmeyer melacak kandungan al-Quran dan Bible. Ia lalu menulis buku berjudul “Is Religion Killing Us? Evidence in the Bible and the Quran”. Kesimpulannya menurutnya bahwa kedua kitab ini memerintahkan pembunuhan.

Padahal konflik antar agama itu sebenarnya bukan karena agama itu. Konflik yang sebenarnya justru antara agama karena dibenturkan dengan sekularisme. Peter Berger terus terang, sekularisme gagal dan diganti dengan pluralisme. Sikap eksklusif itu diganti menjadi sikap inklusif dan pluralis.

Secara teologis agama yang banyak itu, oleh John Hick, diteorikan menjadi bertuhan sama. Teologi agama-agama itu diperkirakan nantinya akan bersatu. Itulah teori global theology John Hick. Anehnya teori yang bermasalah ini ada pengikutnya, termasuk di Indonesia.

Setahun sebelumnya ketika saya berkunjung kembali ke Inggeris saya benar-benar melihat praktek pluralism. Di Leed, saya melewati sebuah gereja. Di depan gereja itu tertulis, “All race, all nation, all religion but one god”. Saya lalu segera menyimpulkan ini pasti penganut paham global theology. Dalam perjalanan saya dari Leed ke London saya kebetulan duduk berdampingan dengan seorang pendeta berkulit hitam. Saya lalu bertanya tentang tulisan gereja di Leed itu. Ternyata bagi dia itu benar “Nothing wrong with religious pluralism” katanya.
Ketika saya berkunjung ke Centre of Islam-Christian Relation, di Selly Oak College, Birmingham, disitu terpasang gambar Jesus tapi kepalanya seperti gambar dewa Wishnu dalam agama Hindu. Itu adalah wujud nyata dari pluralisme yang berupaya mencari kesamaan Tuhan agama-agama. Masalahnya, jika agama-agama itu memilik Tuhan yang sama, apalagi yang harus ditolerir.

Mengganti Nama Berkas (File Rename) dalam Jumlah Banyak dengan KRename



Memiliki berkas yang tidak rapih memang suatu masalah tersendiri bagi beberapa orang, dan mengganti nama secara manual satu per satu juga bukan pilihan yang bijak. Masih mending jika berkasnya masih di bawah sepuluh buah, bagaimana jika yang akan kita ganti nama ada puluhan atau bahkan ratusan buah (kenapa pake "buah" ya?). Nah, makanya kita akan coba mempelajari bagaimana cara untuk mengotomatisasikannya, bukankah itu tujuan adanya komputer? Salah satu aplikasi bebas kode sumber terbuka yang didedikasikan untuk keperluan ini adalah KRename.


Untuk memasang aplikasi KRename ini di Ubuntu, cukup jalankan perintah berikut ini di terminal:

sudo apt-get install krename -y

Untuk distro keluarga Redhat (Fedora, CentOS, Kororaa, dan sekeluarga), bisa pake perintah ini:

sudo dnf install krename


Untuk distro lain silakan menyesuaikan sendiri ya.

Setelah terpasang, KRename ini bisa kita panggil dari peluncur kesukaan.

KRename ini memiliki banyak sekali pengaya (plugin) yang bisa didayagunakan. Selain itu, kita juga bisa menambahkan awalan (preffix), atau akhiran (suffix) pada nama-nama berkas sesuai keinginan, apakah dengan suatu kata/frasa tertentu yang sama, atau dengan penomoran berurutan atau penanggalan.

Sekarang kita akan mencoba menggunakan dengan kasus yang sederhana aja.

Contoh 1: Menghapus Awalan Nama Berkas

  1. Jalankan KRename, kemudian kita akan disuguhkan tab pertama "1. Files" untuk memasukkan berkas yang akan kita ganti. Saya mencoba memasukkan semua berkas audio mp3 secara manual dari satu folder (Ctrl + pilih berkas audio mp3 saja untuk menghindari ikut masuk/terpilihnya berkas gambar kover lagu yang juga ada di folder tersebut) ternyata muncul peringatan yang mengatakan tidak bisa melakukan pemilihan berkas. Akhirnya saya coba masukkan dengan memilih foldernya saja, dan ternyata berhasil. Hanya saja setelah itu saya harus memilih berkas gambar kover lagu yamg tidak akan saya ganti nama tadi kemudian klik  [Remove] untuk mengeluarkannya dari seleksi.  
  2. OK setelah itu pada tab "2. Destination" kita diminta untuk tentukan tujuan berkas yang akan diganti nama. Karena saya sangat sayang (ciee sayang) sama ruang penyimpanan, makanya saya memilih opsi "Overwrite existing file". Untuk tab "3 plugins" kita bisa lewati saja ini bersama (huwalaa).
  3. Langsung ke opsi "4. Filename" Dalam contoh ini yang akan saya hapus adalah tulisan "Tarabyon.com_" sehingga pada bagian "Filename" saya pilih "Custom name", dan sebagai bantuan saya klik ikon lampu kuning untuk melihat opsi regular expression apa saja yang tersedia.

Ternyata di sana ada opsi "[$x-y]" yang artinya karakter x sampai y dari nama berkas yang lama. "$" sendiri menunjukkan nama berkas yang lama.

OK Setelah saya hitung ternyata prefix "Tarabyon.com_" memiliki 13 karakter, sehingga saya akan membiarkan karakter ke 14 dari nama berkas yang lama dan seterusnya. Oleh karena itu, regular expressionnya adalah

[$14-0]

artinya karakter ke 14 sampai 0 yang akan dipertahankan. Sebenarnya angka setelah tanda "-" bisa kita kosongkan menjadi "[$14-]", atau kita atur berapapun DENGAN SYARAT NILAINYA DI BAWAH 14, bisa 13 ("[$14-13]"), 12
("[$14-12]") atau sampai 0 ("[$14-0]") sekalipun. Tenang saja, kita bisa mencoba-coba angka tersebut karena nanti di bagian bawah ada bilah yang bisa kita jadikan sebagai bahan perbandingan antara "Origin" dan "Renamed".

Setelah yakin, klik tombol [Finis]. Tadaaa!!, prefix "Tarabyon.com_" sudah bisa dihilangkan tanpa perlu mengganti nama berkas satu per satu.

Oh iya, jika terjadi kekeliruan, kita bisa meng-undo tenang saja.


Contoh 2: Menghapus Akhiran Nama Berkas dan Memindahkannya di Awal Nama Berkas

OK tadi mungkin lebih mudah, yaitu menghapus beberapa karakter di awal. Nah, sekarang gimana kalau kita maunya memindahkan karakter di akhir dan menambahkannya kembali di awal? Saya juga sempet bingung dan mencoba-coba rumus di atas dengan penggunaan nilai angka dan operasi yang berbeda (nilai + alih-alih minus). Ternyata tidak ada yang memuaskan. Setelah saya perhatikan kembali, ternyata ada fitur "Find and Replace" ya di tab "4. Filename". Langsung aja cekidot.

Siapkan berkas yang akan diganti namanya, di dalam contoh ini saya buat tiga berkas text dengan akhiran (suffix) " - Kang Ibing", yaitu "Si Borokokok - Kang Ibing.txt", "Si Ontohod - Kang Ibing.txt" dan "Si Bangkar Warah - Kang Ibing.txt".

 

Setelah memasukkan berkas-berkas tersebut sebagaimana pada contoh sebelumnya, pada tab "4. Filename", pastikan kita sudah memilih sub-tab "Simple Filename". Pada bagian "Preffix", kita isi medan dengan tulisan "Kang Ibing - " (pakai spasi ya di akhirnya). Maka hasilnya akan seperti ini:

Untuk menghapus akhiran " - Kang Ibing", maka kita akan pergunakan fungsi "Find and Replace". Klik tombolnya, setelah keluar dialognya, klik tombol [Add].


Pada bagian Find, isi dengan " - Kang Ibing". Karena kita sebenarnya bukan ingin menggantinya, melainkan akan menghilangkannya, maka pada bagian "Replace With" kita kosongkan saja. Setelah itu klik tombol [Ok] .


Klik [OK] lagi. Fungsi "Find and Replace" ini hanya akan berpengaruh pada nama berkas lama, bukan pada nama berkas baru.






Setelah itu, seperti sebelumnya klik tombol [Finish].

Demikian tutorial sederhana ini semoga bisa membantu.

Hitung






Komentar

Tentang Blog Ini

Seorang pembelajar yang berharap tidak berhenti belajar, seorang hamba yang berharap tidak berhenti menghamba

Followers