21 May 2017

Soal POLITIK ISLAM dan 'ISLAM POLITIK'


Oleh: Ust. Syamsuddin Arif, Direktur Eksekutif INSISTS Jakarta12/05/2017

Sebuah kesimpulan menarik telah dikemukakan oleh Bernard Lewis, guru besar di Universitas Princeton, Amerika Serikat, bahwa salah satu ciri yang membedakan agama Islam dengan agama Yahudi dan Kristen adalah perhatian besar dan keterlibatan langsung yang ditunjukkannya terhadap tata kelola negara dan pemerintahan, hukum, dan perundangan: “The religion of Islam, in contrast to both Judaism and Christianity, was involved in the conduct of government and the enactment and enforcement of law from the very beginning”, tulisnya dalam buku Islam: The Religion and the People (New Jersey: Pearson, 2009), hlm. 81.
Dengan kata lain, Islam adalah satu-satunya agama yang sangat peduli pada politik. Namun, bukan politik sebagai tujuan, melainkan politik sebagai sarana mencapai tujuan yang lebih tinggi, lebih agung, dan lebih mulia, yaitu kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat. Itulah sebabnya Nabi Muhammad berdakwah, berdagang, dan berperang. Pun para sahabat beliau yang melihat kekuasaan politik sebagai amanah (trust) dan fitnah (test). Simaklah pidato pelantikan mereka sebagai khalifah berikut ini.

Abu Bakar as-Shiddiq berkata, “Sesungguhnya aku telah dikalungi tanggung jawab yang besar (laqad qullidtu amran ‘aziman), padahal aku bukanlah yang terbaik di antara kalian. Maka dukunglah aku jika tindakanku benar, dan betulkan jika aku salah. Patuhilah aku selagi aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Namun, jika aku menyalahi perintah Allah, maka aku tidak perlu kalian patuhi!” (Lihat: Ibn Sa‘d, at-Ṭabaqāt, ed. Iḥsān ‘Abbās, cetakan Dār Ṣādir Beirut, 1957 -1960, jilid 3, hlm. 182-3).

Terlepas dari segala keterbatasan dan kesederhanaannya, apa yang telah digariskan dan dijalankan oleh Rasulullah ataupun para sahabat (khalifah-khalifah sesudahnya) merupakan konseptualisasi dan implementasi dari apa yang dikehendaki Allah SWT. Dan inilah yang kita maksud dengan ‘politik Islam’, dalam arti negara berpandukan agama dan pemerintahan berasaskan hukum Tuhan pencipta jagad raya, langit dan bumi, termasuk manusia. Kita boleh menyebutnya ‘al-madīnah al-fāḍilah’ (the virtuous polity) atau ‘as-siyāsah as-syar‘iyyah’ (state governance based on Divine Law) —meminjam ungkapan al-Fārābī dan Ibn Taymiyyah.

Kajian 'Politik Islam'

Meskipun Islam dan politik telah menyatu sejak awal, di mana Nabi Muhammad SAW bukan sekadar utusan Allah dan pemimpin agama, melainkan juga pemimpin bangsa dan negara, sebagai 'leader' dan 'ruler', kajian politik Islam secara ilmiah, teoritis, dan sistematis baru bermula pada kurun kedua Hijriah. Secara umum, pemikiran politik Islam merupakan sintesis dan amalgamasi dari konsep-konsep kepemimpinan yang dikenal dalam masyarakat Arab pra-Islam dan ajaran Islam itu sendiri (yakni al-Qur'an dan Sunnah) dengan tradisi bangsa-bangsa yang ditaklukkan, seperti Syria (Romawi), Mesir, Persia, dan Mongol.

Sejauh ini, karya pertama yang diketahui secara sistematis membahas ketatanegaraan dari perspektif Islam adalah bab politik dari kitab as-Siyar al-Kabīr yang ditulis oleh Muḥammad ibn al-Ḥasan as-Syaybānī (w. 189/804), seorang ulama besar Irak abad kedua/sembilan. Ini diikuti oleh bagian pertama (kitab as-Sulṭān) dari ‘Uyūn al-Akhbār karya Ibn Qutaybah (w. 276/885) dan bagian pertama dari kitab al-‘Iqd al-Farīd karya Ibn ‘Abdi Rabbih.

Kajian dan pemikiran politik Islam dapat dipetakan dalam tiga wilayah besar. Pertama, kajian tradisional-normatif, yakni pembahasan konsep-konsep dan norma-norma perpolitikan yang diuraikan oleh para ulama. Termasuk dalam kategori ini, tiga kitab yang kita sebut di atas. Namun, sebenarnya wilayah ini pun masih bisa dipilah lagi menjadi beberapa kategori: (i) ulama ahli telogi atau mutakallimūn dari golongan Ahlus Sunnah (al-Asy‘arī, al-Bāqillānī, al-Baghdādī) maupun Mu‘tazilah (al-Jāḥiẓ dan al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār) yang masing-masing menyediakan satu bab khusus dalam karyanya terhadap masalah imamah atau kepemimpinan, apakah ia wajib atau tidak, dengan proses pemilihan ataukah penunjukan, dan sebagainya; (ii) ulama ahli hadis atau muḥadditsūn (seperti Imam al-Bukhārī, Muslim, at-Tirmidzī) yang juga menaruh perhatian terhadap hadis-hadis politik (contohnya ‘kitab al-imārah’ dalam Ṣaḥīḥ Muslim).

Selanjutnya (iii) ada ulama ahli hukum atau fuqahā’ (al-Māwardī, al-Farrā’, al-Juwaynī) yang masing-masing menulis buku khusus untuk mengupas fikih politik dan pemerintahan; (iv) ulama pujangga atau udaba’ (Ibn al-Muqaffa’, al-Jahsyiyārī, at-Tsa‘ālabī, at-Ṭarṭūsyī); (v) ulama ahli filsafat atau falasifah (al-Fārābī, Ibn Sīnā, Ibn Rusyd) yang mewakili tradisi pemikiran atau filsafat politik Yunani kuno (Plato dan Aristoteles). Ciri khas dari kajian jenis ini adalah banyaknya aturan dan anjuran yang perlu dipahami dan dilakukan oleh seorang pemimpin agar dihormati oleh bawahannya, dicintai oleh rakyatnya, dan disegani oleh musuh-musuhnya. Walaupun juga diselingi contoh-contoh kasus, kebanyakan merupakan pernyataan-pernyataan induktif-normatif yang masih bisa dan perlu dikukuhkan oleh penelitian empiris atau bahkan uji-coba lapangan.

Kedua, kajian tekstual-historis yang merupakan pendekatan para sarjana Barat atau ahli ketimuran (orientalis). Politik Islam dikaji sebagai pusaka ilmiah (intellectual heritage) tak ubahnya seperti artifak kuno dikaji oleh ahli arkeologi. itu masa lalu, sudah lama mati, dan kini tinggal sejarah. Politik Islam sebagai aksi, proses, regulasi, ataupun diskursus, semuanya menarik dikaji sebagai produk sejarah yang mungkin masih relevan dan mungkin tak relevan sama sekali dengan situasi sekarang ini. Kalau memang relevan, mengapa tak ada satupun negara Islam saat ini yang mengacu padanya? Namun jika tidak relevan sama sekali, lantas untuk apa semua itu dikaji? Jawaban para sarjana orientalis untuk pertanyaan ini cukup beragam; dari sekadar memenuhi dahaga intelektual dan memperlihatkan wawasan budaya, hingga untuk mendapatkan cermin bagi merumuskan kebijakan luar negeri dalam hubungan dengan negara-negara Islam.

Sebagai contoh pendekatan tekstual-historis ini adalah kajian pemikiran politik Ibn Taymiyyah oleh Henri Laoust, kajian sistem administrasi negara zaman Abbasiyah ole Ann Lambton, kajian naskah kitab Ibn Rusyd yang menguraikan Politeia (Respublica) Plato oleh Erwin Rosenthal, kajian naskah kitab Ārā’ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah karya al-Fārābī oleh Richard Walzer di Oxford, dan masih banyak lagi. Pendekatan ala orientalis ini sebenarnya bermanfaat sekali untuk mengenalkan kita pada khazanah pemikiran politik yang dimiliki umat Islam. Akan tetapi di sisi lain, ia sering kali juga membawa orang menerawang jauh di alam utopia. Akibatnya, timbul perasaan miris ketika melihat kenyataan tidak seindah pengharapan.

Ketiga, kajian sekuler-modernis yang mulai muncul sejak Dunia Islam dijajah dan dikuasai oleh bangsa-bangsa Eropa. Pendekatan ini bertolak dari anggapan atau bahkan keyakinan —yang sesungguhnya boleh jadi keliru – bahwa ketidakmampuan umat Islam menghadapi kolonialisme Eropa disebabkan oleh sistem politiknya yang lemah, dan ini dikarenakan oleh ajaran Islam yang tidak mengenal pemisahan antara agama dan negara. Maka maraklah gagasan sekularisasi sebagaimana dipopulerkan oleh Kemal Ataturk.
Tokoh-tokoh cendekiawan pun hanyut dalam arus ini. Dapat kita sebut misalnya ‘Ali ‘Abd al-Raziq yang menulis buku al-Islām wa Uṣūl al-Ḥukm (1967), Khalid Muhammad Khalid, penulis Min Hunā Nabda’ dan ad-Dīmuqrāṭiyyah Abadan (1953), ‘Abd al-Ghanī Sani yang menulis buku al-Khilāfah wa Sulṭat al-Ummah (1924). Mereka ini tanpa berpikir panjang menelan bulat-bulat aneka konsep dan sistem politik Barat modern, seperti demokrasi dan sebagainya. Hanya dengan meniru sistem politik Barat, negara-negara Islam bisa maju dan kuat, begitulah bayangan mereka. Pendek kata, kelompok apologetik ini berupaya mencarikan pembenaran terhadap sistem demokrasi dan konsep negara sekuler agar dapat diterima dan diamalkan oleh umat Islam.

‘Islam Politik’

Jika politik Islam telah dipahami dan diamalkan berabad-abad lamanya , istilah ‘Islam politik’ terbilang baru. Para pengamat non-Muslim sengaja menciptakan istilah ini guna menyudutkan dan melecehkannya. Menurut mereka, ‘Islam politik’ adalah sikap dan prilaku politik umat Islam yang didorong oleh keyakinan bahwa Islam mesti berperan di ruang publik dan perlu mempengaruhi kebijakan politik masa kini. Istilah kontroversial ini mereka pakai untuk membedakan antara sikap apatis atau pasif sebagian orang Islam dengan sikap sebagian lainnya yang sangat aktif berpolitik.

Ada tiga paradigma yang dianut oleh pengamat ataupun pelaku ‘Islam politik’, yaitu paradigma pesimis radikal, paradigma utopian radikal, dan paradigma optimis moderat.

Kita mulai dengan yang pertama. Paradigma pesimis radikal diwakili oleh pengamat politik semacam Oliver Roy, penulis buku 'The Failure of Political Islam' (Kegagalan Islam Politik). Menurutnya, aktivis ‘Islam politik’ sebenarnya tidak atau kurang memahami Islam, hanya mengikuti syahwat politik demi mengegolkan agenda-agenda mereka sendiri. Artinya, mereka ini tanpa sadar mengkhianati umat Islam dan membelakangi para ulama (anti-clerical). Roy menjuluki mereka neo-fundamentalis yang tidak sama dengan kaum Islamis. Aktivis ‘Islam politik’ kalaupun mereka menang pemilu dan berkuasa dapat dipastikan akan gagal menjalankan pemerintahan yang adil dan berwibawa, sebaliknya justru bakal membunuh demokrasi, menindas rakyat, menghancurkan ekonomi, dan merusak hubungan internasional. Demikian ramalan suram dari Roy, yang diamini oleh dan mempengaruhi banyak pengamat termasuk Graham E. Fuller dan Kikue Hamayotsu.

Paradigma kedua yang utopian radikal bercita-cita mendirikan sebuah negara Islam, dan bukan sekadar berjuang mewujudkan aspirasi dan membela kepentingan umat dalam bingkai demokrasi negara modern. Paradigma ini diwakili, antara lain, oleh Abu ‘l-A‘lā al-Mawdūdī dan Sayyid Quṭb yang mengedepankan konsep negara bukan berdasarkan kebangsaan atau nasionalisme, akan tetapi negara berdasarkan agama, bukan berdasarkan kedaulatan rakyat atau demokrasi, akan tetapi berdasarkan hukum Allah atau Syari`ah. Gagasan ini tentu saja dianggap utopian karena amat sukar —untuk tidak mengatakan mustahil— direalisasikan pada zaman sekarang ini kecuali dengan revolusi politik yang menumbangkan pemerintahan yang sedang berjalan. Itulah sebabnya gagasan ini dijuluki radikal, sebagaimana lazimnya kelompok revolusioner disebut atau menyebut diri mereka for better or worse.

Paradigma optimis moderat tidak sependapat dengan Oliver Roy. Bagi mereka, Islam dan politik tidak perlu dipertentangkan. Agama dan negara tidak mesti dipisahkan. Politik Islam bukan dongeng, melainkan pengalaman dan pengamalan lebih dari seribu tahun lamanya. Dan, karena itu, ‘Islam politik’ bukan utopia atau angan-angan belaka. Bagi orang-orang seperti Mohammad Natsir, misalnya, Indonesia bukan negara sekuler. ‘Islam politik’ tidak harus menempuh jalan revolusi. Sebaliknya, melalui cara-cara yang konstitusional ‘Islam politik’ dapat dan mesti berkompetisi dengan kelompok lain dalam NKRI untuk sama-sama merawat negeri dengan semangat fastabiqul khayrāt (berlomba-lomba meraih kebaikan) dan amar ma‘ruf nahi munkar (commanding good and prohibiting evil).
[Source: Republika 19/1/2017 Page 18, ISLAMIA]

0 komentar:

Hitung






Komentar

Tentang Blog Ini

Seorang pembelajar yang berharap tidak berhenti belajar, seorang hamba yang berharap tidak berhenti menghamba

Followers