04 June 2015

Cinta Beda Agama? Ah...


Adalah Nabi Adam AS yang memberikan isyarat bahwa manusia memang perlu cinta pada sesama. Maka diciptakanlah Sayyidatinaa Hawa untuk menemani elegi.

Adalah Salman Al Farisi dan Abu Darda contoh daripada mulianya cinta karena iman. Abu Darda mewakilkan diri Salman Al Farisi untuk melamar gadis pujaan lelaki Persia itu. Namun taqdir berkata lain, sang wanita malah jatuh cinta pada Abu Darda yang sembari tadi memuji Salman Salman Al Farisi untuk meyakinkah hati wanita akan ketinggian iman dan keluhuran budi Salman. Tanpa ragu sedikitpun Salman Al Farisi rela memberikan seluruh mas kawin yang disiapkan sebelumnya kepada Abu Darda.

Sementara itu, Qabil dan Habil adalah cerita cinta yang terlepas dari iman. Ikatan persaudaraan tidak mampu mencegah nafsu syahwat yang menutupi mata hati Qabil yang dengan tega membunuh Habil.
Sementara itu, bagaimana jika cinta dapat disemaikan, tumbuh dalam koridor ridla Allah jika dilepaskan dari iman. Duhai apa kabar nikah beda agama? Iman ada di atas cinta, dan cinta bersama iman adalah sebaik-baik dan sejatinya cinta.

Departemen Penerangan dan Hukum Allah

Foto ini saya unggah ulang dari foto seorang aktivis sejarah "Jejak Islam Bangsa"
Beggy Rizkiyansyah menulis:

Foto sebuah pawai di tahun 1950an. Kalimatnya: Dengan Hukum Allah Dunia Aman.
Foto didapatkan dr sebuah buku yg ditujukan bagi madrasah ibtidaiyah dan tsnawiyah. Foto bersumber dari Departemen Penerangan.
Bayangkan jika foto semacam ini diperuntukkan bagi sekolah2 dasar saat ini.
Bayangkan pula pawai dgn spanduk semacam ini jika dilakukan saat ini. Mungkin akan dicap pawai fundamentalis, intoleran, pemecah belah NKRI, radikal dan gelar2 kehormatan lainnya. Begitu cepatnya masa lalu kita kubur dalam-dalam.

100 Tahun Prof. Dr. H. M. Rasjidi

Sosok pendidik dan Menteri Agama RI pertama Kabinet Sjahrir ini dikenal sangat kritis terhadap ragam pemikiran liberal-sekuler yang menjangkiti umat Islam.

Oleh Ismail Al-‘Alam (Anggota Dewan Penyelia DISC Masjid UI)

Pada tanggal 20 Mei 1915 lahir seorang bernama Saridi di Kotagede, Yogyakarta. Saat menuntut ilmu di usia belia, ia mengubah namanya menjadi Rasjidi, mengikuti gurunya, Syeikh Ahmad Syurkati, tokoh utama Al-Irsyad, yang dengan lisan arabnya kesulitan menyebut kata “Saridi”. Dalam hidupnya Rasjidi ternyata memberi sumbangsih besar pada sejarah bangsa kita.

Bangsa ini, yang entah karena alasan alpa bersama atau terlalu pusing dengan hiruk-pikuk persoalan harian, seakan lalai memperingati seabad kelahiran Menteri Agama pertama ini. Kita benar-benar harus mengenal kembali sosok dan pemikiran beliau untuk memperoleh teladan dalam menjalani hidup berbangsa dan bernegara, khususnya sebagai muslim Indonesia.

Ulama dan Negarawan 


Prof. Dr. H. M. Rasjidi, yang oleh keluarga Masyumi akrab dipanggil Pak Rasjidi, mencurahkan seluruh hidupnya untuk Islam dan Indonesia, terutama sebagai bagian dari pemerintahan dan pendidik. Dalam pemerintahan, beliau merupakan Menteri Agama RI pertama dalam Kabinet Sjahrir II. Di usia kemerdekaan yang masih belia ia kemudian menjadi diplomat di beberapa negara Arab. Kerja-kerja diplomasi yang beliau lakukan, baik seorang diri maupun sebagai anggota dari tim diplomasi yang dipimpin Haji Agus Salim, berbuah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh negara-negara muslim yang dikunjunginya. Beliau menjalani tugas kenegaraan itu tanpa sedikit pun lekat pada citra kemewahan sebagaimana sebagian besar pejabat masa kini. Selaku menteri, beliau mengayuh sepeda setiap pagi untuk sampai ke tempatnya bekerja. Ketika pada akhirnya memiliki mobil dinas pun, ban mobil itu harus diisi rumput kering sampai padat agar bisa berjalan. Amat sederhana dan serba terbatas.

Selepas menjalani tugas kenegaraan di masa-masa sulit, beliau lebih banyak beramal shalih di dunia pendidikan. Universitas McGill, UI, dan IAIN Jakarta adalah tiga kampus tempat beliau mengampu kuliah-kuliah penting bidang pemikiran Islam dan filsafat, bidang yang beliau tekuni kala berkuliah di Universitas Kairo dan Universitas Sorbonne. Di McGill, beliau memiliki kedudukan sejajar dengan orientalis besar seperti Toshihiko Izutsu. Di kampus ini pula beliau membimbing Syed Muhammad Naquib Al-Attas, salah satu filsuf muslim terbesar abad ini, dalam menulis tesis tentang Nuruddin ar-Raniry. Di Indonesia, beliau mendapat gelar guru besar bidang hukum Islam dari UI dan bidang filsafat Barat dari IAIN Jakarta. Meski bergelar guru besar, di lingkungan UI beliau tetap giat memberi pendidikan Islam kepada mahasiswa-mahasiswa yang jauh lebih muda darinya.

Debat-debat Bermartabat 

Satu hal yang menonjol dari Pak Rasjidi adalah aktivitas debat yang beliau lakukan, baik secara langsung atau melalui tulisan berbalas (polemik). Di McGill, beliau berbantah-bantah dengan Joseph Schacht – orientalis besar asal Jerman – tentang hukum Islam. Di Indonesia, beliau mengkritik gagasan sekularisasi Nurcholis Madjid, rancangan kurikulum pendidikan Islam Harun Nasution, pandangan kebudayaan AMW Pranaka, dan pandangan kebatinan Warsito. Beliau juga mengkritisi paham Syi’ah, komunisme, dan pandangan materialis Barat tentang agama. Sebagian kritik itu ia terbitkan dalam bentuk buku dengan penalaran ilmiah, bahasa yang tertata (meski kadang jenaka), dan tanpa menebar kebencian atau menyarankan penyerangan. Bahkan ia masih berhubungan baik dan bersedia membuka ruang diskusi yang lebih serius dengan orang atau pihak yang dikritiknya itu.

Kritiknya terhadap Harun Nasution menjadi contoh menarik. Ketika Harun menulis buku Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya untuk kebutuhan penyediaan diktat kuliah di IAIN, Pak Rasjidi turut membaca dan menemukan persoalan epistemologis dalam buku tersebut. Menurut beliau buku tersebut sebagiannya menggunakan sudut pandang orientalis dalam melihat Islam, salah satunya dalam penjelasan mengenai makna agama. Beliau menilai penjelasan tersebut seperti cara pandang sarjana Barat yang melihat agama sebagai produk kebudayaan manusia. Jika tak teliti, pembaca akan turut mengira bahwa Islam bukanlah agama wahyu. Di bagian lain, beliau menemukan pemaparan Harun tentang mazhab-mazhab dalam Islam, yang dalam pengamatan beliau seperti kebiasaan kaum orientalis anti-Islam untuk menonjolkan hal-hal kecil sehingga tampak tak pernah ada kesepakatan di antara umat Islam.

Persoalan-persoalan dalam buku Harun beliau teliti dan tanggapi satu persatu hingga menjadi satu buku berjudul Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution tentang “Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya”. Buku tersebut awalnya beliau sampaikan secara terbatas untuk Departemen Agama. Setelah sekian lama tak ditanggapi, akhirnya buku itu diterbitkan untuk umum. Di kalangan kaum terpelajar, kritik guru besar Fakultas Hukum UI pada muridnya ini menjadi sajian pertentangan pemikiran guru-murid yang amat berharga bagi kajian keislaman kontemporer di Indonesia. Meski belasan tahun berbeda pandangan, Direktur Rabithah Alam Islami Perwakilan Jakarta ini masih bersedia menulis sebuah artikel untuk buku 70 Tahun Harun Nasution dan mengapresiasi capaian intelektual Harun lewat kata-kata santun dan bersahabat.

Kedewasaan beliau dalam menyikapi perbedaan ini sekurang-kurangnya karena tiga hal. Pertama, keyakinannya akan kebenaran Islam sampai taraf paling filosofis. Kedua, persentuhannya dengan berbagai bangsa, agama, dan pemikiran dalam ruang kosmopolit global. Ketiga, keterlibatan aktif beliau membangun dan membina bangsa yang dicintainya. Tiga hal tersebut membuat beliau memiliki kepercayaan diri yang tinggi sebagai muslim, tanpa sedikit pun minder atau merasa terancam berlebihan yang seringkali membuat seseorang berlaku tidak pada tempatnya.

100 Tahun 


Dalam rangka memperingati 100 tahun Prof. H. M. Rasjidi, Depok Islamic Study Circle (DISC) Masjid Ukhuwah Islamiyah, Universitas Indonesia, mengadakan seminar sederhana bertajuk “Peran Prof. H.M. Rasjidi dalam Dakwah di Indonesia” . Seminar ini akan dilaksanakan pada hari Jumat, 5 Juni 2015, pukul 13.00-16.00 di Auditorium Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia. 100 tahun rasjidi

DISC mengundang sejumlah pembicara di seminar ini. Yang pertama adalah Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, pakar hukum yang pernah bersentuhan langsung dengan Prof. Rasjidi. Selama menuntut ilmu di Fakultas Hukum UI, Prof. Jimly aktif berkegiatan di Masjid Arief Rahman Hakim UI, Salemba. Di Masjid inilah ia dibina langsung oleh Prof. Rasjidi. Pemaparan Prof. Jimly tentang Prof. Rasjidi tentu akan memberikan wawasan tersendiri bagi khalayak umum.

Pembicara selanjutnya ialah Prof. Dr. Ibnu Hamad, Guru Besar Ilmu Komunikasi UI. Prof. Ibnu merupakan Pengurus Masjid Ukhuwah Islamiyah, masjid resmi di lingkungan UI. Sebagai salah satu pelanjut perjuangan Prof. Rasjidi, tentu Prof. Ibnu memiliki berbagai pandangan menarik seputar Prof. Rasjidi. Pembicara ketiga adalah Adnin Armas, M.A, pimpinan Insists yang kini berada di garis depan menebas pemikiran sekular-liberal di Indonesia.

Peringatan seabad kelahiran Prof. H. M. Rasjidi mungkin tak semeriah peringatan seabad Soekarno, Buya Natsir, atau HAMKA. Meski begitu, semakin membaca sosok dan pemikiran beliau, kita akan semakin yakin bahwa gelar pahlawan amat pantas dianugerahkan negara kepadanya. Seraya menyeru pemerintah agar sadar dan mewujudkan hal itu, mari kita tempatkan beliau sebagai guru bangsa dengan segala warisan kisah dan gagasan cemerlang. Gagasan cemerlang bahwa mencintai Indonesia dengan cara pandang Islam adalah juga suatu bentuk ketakwaan.

Sumber: FB DISC Masjid UI

Meningkatkan Resolusi Monitor LG FLATRON L1742SE pada LinuxMint 17.1

 Sudah lama nih gak ngoprek lagi, maklum akhir-akhir tuntutan pekerjaan membuatku hanya menjadi sekadar end-user saja untuk sementara, walaupun di sela-sela kesempatan aku masih iseng-iseng memasang beberapa distro. Sekarang aku mau berbagi cara mengoptimalkan resolusi monitor Monitor LG FLATRON L1742SE pada LinuxMint 17.1 yang mentok pada 1024x766



Jalankan perintah cvt dengan opsi resolusi yang kamu inginkan. Perintah cvt ini adalah untuk mengkalkulasi modelina VESA CVT (Coordinated Video Timing) untuk digunakan bersama server grafik X

cvt 1280 1024

Setelah dicoba, hasil keluarannya adalah

# 1280x1024 59.89 Hz (CVT 1.31M4) hsync: 63.67 kHz; pclk: 109.00 MHz
Modeline "1280x1024_60.00"  109.00  1280 1368 1496 1712  1024 1027 1034 1063 -hsync +vsync

Perhatikan angka-angka sebelum -hsync, angka-angka tersebut yang akan kita gunakan sebagai modus grafis, kemudian buat modus grafis, di sini aku memakai nama 'gelo_name', biar greget, hehehe.

xrandr --newmode gelo_name 109.00  1280 1368 1496 1712  1024 1027 1034 1063

Setelah itu, tambahkan modus grafis baru tersebut ke output VGA
xrandr --addmode VGA1 gelo_name

Akhirnya kita aktifkan modus grafis yang telah dibuat dengan perintah
xrandr --output VGA1 --mode gelo_name

Permasalahannya tidak sampai di sini, pengaturan resolusi ini akan menghilang dan kembali pada pengaturan sebelumnya ketika sistem dihidupkan ulang. Artinya, kita harus memanggil perintah-perintah di atas dari awal. Untuk mengatasinya, kita masukkan saja beberapa baris perintah itu menjadi sebuah berkas skrip yang nantinya akan dipanggil saat sistem dimulai. OK, mari menjadi preman terminal lagi.

Buat berkas skrip bash dari perintah-perintah di atas. Sebenarnya ini bisa dilakukan dengan GUI, cuman ribet aja dokumentasinya, hehehe. OK, kita bikin berkas yang dapat dieksekusi

sudo touch /usr/local/bin/optimalize_resolution
sudo nano /usr/local/bin/optimalize_resolution

Kemudian isi dengan perintah-perintah di atas sebelumnya, terkecuali perintah cvt itu karena kita sudah mengetahui parameter angka yang dibutuhkan untuk konfigurasi. Oh ya, jangan lupa tambahkan baris #!/bin/bash di awal

#!/bin/bash

xrandr --newmode gelo_name 109.00  1280 1368 1496 1712  1024 1027 1034 1063
xrandr --addmode VGA1 gelo_name
xrandr --output VGA1 --mode gelo_name

Setelah itu, kita buat agar skrip di atas bisa dijalankan saat sistem dimulai dengan cara membuat berkas .desktop dan disimpan di /etc/xdg/autostart

Hitung






Komentar

Tentang Blog Ini

Seorang pembelajar yang berharap tidak berhenti belajar, seorang hamba yang berharap tidak berhenti menghamba

Followers