04 June 2015

Cinta Beda Agama? Ah...


Adalah Nabi Adam AS yang memberikan isyarat bahwa manusia memang perlu cinta pada sesama. Maka diciptakanlah Sayyidatinaa Hawa untuk menemani elegi.

Adalah Salman Al Farisi dan Abu Darda contoh daripada mulianya cinta karena iman. Abu Darda mewakilkan diri Salman Al Farisi untuk melamar gadis pujaan lelaki Persia itu. Namun taqdir berkata lain, sang wanita malah jatuh cinta pada Abu Darda yang sembari tadi memuji Salman Salman Al Farisi untuk meyakinkah hati wanita akan ketinggian iman dan keluhuran budi Salman. Tanpa ragu sedikitpun Salman Al Farisi rela memberikan seluruh mas kawin yang disiapkan sebelumnya kepada Abu Darda.

Sementara itu, Qabil dan Habil adalah cerita cinta yang terlepas dari iman. Ikatan persaudaraan tidak mampu mencegah nafsu syahwat yang menutupi mata hati Qabil yang dengan tega membunuh Habil.
Sementara itu, bagaimana jika cinta dapat disemaikan, tumbuh dalam koridor ridla Allah jika dilepaskan dari iman. Duhai apa kabar nikah beda agama? Iman ada di atas cinta, dan cinta bersama iman adalah sebaik-baik dan sejatinya cinta.

Departemen Penerangan dan Hukum Allah

Foto ini saya unggah ulang dari foto seorang aktivis sejarah "Jejak Islam Bangsa"
Beggy Rizkiyansyah menulis:

Foto sebuah pawai di tahun 1950an. Kalimatnya: Dengan Hukum Allah Dunia Aman.
Foto didapatkan dr sebuah buku yg ditujukan bagi madrasah ibtidaiyah dan tsnawiyah. Foto bersumber dari Departemen Penerangan.
Bayangkan jika foto semacam ini diperuntukkan bagi sekolah2 dasar saat ini.
Bayangkan pula pawai dgn spanduk semacam ini jika dilakukan saat ini. Mungkin akan dicap pawai fundamentalis, intoleran, pemecah belah NKRI, radikal dan gelar2 kehormatan lainnya. Begitu cepatnya masa lalu kita kubur dalam-dalam.

100 Tahun Prof. Dr. H. M. Rasjidi

Sosok pendidik dan Menteri Agama RI pertama Kabinet Sjahrir ini dikenal sangat kritis terhadap ragam pemikiran liberal-sekuler yang menjangkiti umat Islam.

Oleh Ismail Al-‘Alam (Anggota Dewan Penyelia DISC Masjid UI)

Pada tanggal 20 Mei 1915 lahir seorang bernama Saridi di Kotagede, Yogyakarta. Saat menuntut ilmu di usia belia, ia mengubah namanya menjadi Rasjidi, mengikuti gurunya, Syeikh Ahmad Syurkati, tokoh utama Al-Irsyad, yang dengan lisan arabnya kesulitan menyebut kata “Saridi”. Dalam hidupnya Rasjidi ternyata memberi sumbangsih besar pada sejarah bangsa kita.

Bangsa ini, yang entah karena alasan alpa bersama atau terlalu pusing dengan hiruk-pikuk persoalan harian, seakan lalai memperingati seabad kelahiran Menteri Agama pertama ini. Kita benar-benar harus mengenal kembali sosok dan pemikiran beliau untuk memperoleh teladan dalam menjalani hidup berbangsa dan bernegara, khususnya sebagai muslim Indonesia.

Ulama dan Negarawan 


Prof. Dr. H. M. Rasjidi, yang oleh keluarga Masyumi akrab dipanggil Pak Rasjidi, mencurahkan seluruh hidupnya untuk Islam dan Indonesia, terutama sebagai bagian dari pemerintahan dan pendidik. Dalam pemerintahan, beliau merupakan Menteri Agama RI pertama dalam Kabinet Sjahrir II. Di usia kemerdekaan yang masih belia ia kemudian menjadi diplomat di beberapa negara Arab. Kerja-kerja diplomasi yang beliau lakukan, baik seorang diri maupun sebagai anggota dari tim diplomasi yang dipimpin Haji Agus Salim, berbuah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh negara-negara muslim yang dikunjunginya. Beliau menjalani tugas kenegaraan itu tanpa sedikit pun lekat pada citra kemewahan sebagaimana sebagian besar pejabat masa kini. Selaku menteri, beliau mengayuh sepeda setiap pagi untuk sampai ke tempatnya bekerja. Ketika pada akhirnya memiliki mobil dinas pun, ban mobil itu harus diisi rumput kering sampai padat agar bisa berjalan. Amat sederhana dan serba terbatas.

Selepas menjalani tugas kenegaraan di masa-masa sulit, beliau lebih banyak beramal shalih di dunia pendidikan. Universitas McGill, UI, dan IAIN Jakarta adalah tiga kampus tempat beliau mengampu kuliah-kuliah penting bidang pemikiran Islam dan filsafat, bidang yang beliau tekuni kala berkuliah di Universitas Kairo dan Universitas Sorbonne. Di McGill, beliau memiliki kedudukan sejajar dengan orientalis besar seperti Toshihiko Izutsu. Di kampus ini pula beliau membimbing Syed Muhammad Naquib Al-Attas, salah satu filsuf muslim terbesar abad ini, dalam menulis tesis tentang Nuruddin ar-Raniry. Di Indonesia, beliau mendapat gelar guru besar bidang hukum Islam dari UI dan bidang filsafat Barat dari IAIN Jakarta. Meski bergelar guru besar, di lingkungan UI beliau tetap giat memberi pendidikan Islam kepada mahasiswa-mahasiswa yang jauh lebih muda darinya.

Debat-debat Bermartabat 

Satu hal yang menonjol dari Pak Rasjidi adalah aktivitas debat yang beliau lakukan, baik secara langsung atau melalui tulisan berbalas (polemik). Di McGill, beliau berbantah-bantah dengan Joseph Schacht – orientalis besar asal Jerman – tentang hukum Islam. Di Indonesia, beliau mengkritik gagasan sekularisasi Nurcholis Madjid, rancangan kurikulum pendidikan Islam Harun Nasution, pandangan kebudayaan AMW Pranaka, dan pandangan kebatinan Warsito. Beliau juga mengkritisi paham Syi’ah, komunisme, dan pandangan materialis Barat tentang agama. Sebagian kritik itu ia terbitkan dalam bentuk buku dengan penalaran ilmiah, bahasa yang tertata (meski kadang jenaka), dan tanpa menebar kebencian atau menyarankan penyerangan. Bahkan ia masih berhubungan baik dan bersedia membuka ruang diskusi yang lebih serius dengan orang atau pihak yang dikritiknya itu.

Kritiknya terhadap Harun Nasution menjadi contoh menarik. Ketika Harun menulis buku Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya untuk kebutuhan penyediaan diktat kuliah di IAIN, Pak Rasjidi turut membaca dan menemukan persoalan epistemologis dalam buku tersebut. Menurut beliau buku tersebut sebagiannya menggunakan sudut pandang orientalis dalam melihat Islam, salah satunya dalam penjelasan mengenai makna agama. Beliau menilai penjelasan tersebut seperti cara pandang sarjana Barat yang melihat agama sebagai produk kebudayaan manusia. Jika tak teliti, pembaca akan turut mengira bahwa Islam bukanlah agama wahyu. Di bagian lain, beliau menemukan pemaparan Harun tentang mazhab-mazhab dalam Islam, yang dalam pengamatan beliau seperti kebiasaan kaum orientalis anti-Islam untuk menonjolkan hal-hal kecil sehingga tampak tak pernah ada kesepakatan di antara umat Islam.

Persoalan-persoalan dalam buku Harun beliau teliti dan tanggapi satu persatu hingga menjadi satu buku berjudul Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution tentang “Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya”. Buku tersebut awalnya beliau sampaikan secara terbatas untuk Departemen Agama. Setelah sekian lama tak ditanggapi, akhirnya buku itu diterbitkan untuk umum. Di kalangan kaum terpelajar, kritik guru besar Fakultas Hukum UI pada muridnya ini menjadi sajian pertentangan pemikiran guru-murid yang amat berharga bagi kajian keislaman kontemporer di Indonesia. Meski belasan tahun berbeda pandangan, Direktur Rabithah Alam Islami Perwakilan Jakarta ini masih bersedia menulis sebuah artikel untuk buku 70 Tahun Harun Nasution dan mengapresiasi capaian intelektual Harun lewat kata-kata santun dan bersahabat.

Kedewasaan beliau dalam menyikapi perbedaan ini sekurang-kurangnya karena tiga hal. Pertama, keyakinannya akan kebenaran Islam sampai taraf paling filosofis. Kedua, persentuhannya dengan berbagai bangsa, agama, dan pemikiran dalam ruang kosmopolit global. Ketiga, keterlibatan aktif beliau membangun dan membina bangsa yang dicintainya. Tiga hal tersebut membuat beliau memiliki kepercayaan diri yang tinggi sebagai muslim, tanpa sedikit pun minder atau merasa terancam berlebihan yang seringkali membuat seseorang berlaku tidak pada tempatnya.

100 Tahun 


Dalam rangka memperingati 100 tahun Prof. H. M. Rasjidi, Depok Islamic Study Circle (DISC) Masjid Ukhuwah Islamiyah, Universitas Indonesia, mengadakan seminar sederhana bertajuk “Peran Prof. H.M. Rasjidi dalam Dakwah di Indonesia” . Seminar ini akan dilaksanakan pada hari Jumat, 5 Juni 2015, pukul 13.00-16.00 di Auditorium Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia. 100 tahun rasjidi

DISC mengundang sejumlah pembicara di seminar ini. Yang pertama adalah Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, pakar hukum yang pernah bersentuhan langsung dengan Prof. Rasjidi. Selama menuntut ilmu di Fakultas Hukum UI, Prof. Jimly aktif berkegiatan di Masjid Arief Rahman Hakim UI, Salemba. Di Masjid inilah ia dibina langsung oleh Prof. Rasjidi. Pemaparan Prof. Jimly tentang Prof. Rasjidi tentu akan memberikan wawasan tersendiri bagi khalayak umum.

Pembicara selanjutnya ialah Prof. Dr. Ibnu Hamad, Guru Besar Ilmu Komunikasi UI. Prof. Ibnu merupakan Pengurus Masjid Ukhuwah Islamiyah, masjid resmi di lingkungan UI. Sebagai salah satu pelanjut perjuangan Prof. Rasjidi, tentu Prof. Ibnu memiliki berbagai pandangan menarik seputar Prof. Rasjidi. Pembicara ketiga adalah Adnin Armas, M.A, pimpinan Insists yang kini berada di garis depan menebas pemikiran sekular-liberal di Indonesia.

Peringatan seabad kelahiran Prof. H. M. Rasjidi mungkin tak semeriah peringatan seabad Soekarno, Buya Natsir, atau HAMKA. Meski begitu, semakin membaca sosok dan pemikiran beliau, kita akan semakin yakin bahwa gelar pahlawan amat pantas dianugerahkan negara kepadanya. Seraya menyeru pemerintah agar sadar dan mewujudkan hal itu, mari kita tempatkan beliau sebagai guru bangsa dengan segala warisan kisah dan gagasan cemerlang. Gagasan cemerlang bahwa mencintai Indonesia dengan cara pandang Islam adalah juga suatu bentuk ketakwaan.

Sumber: FB DISC Masjid UI

Meningkatkan Resolusi Monitor LG FLATRON L1742SE pada LinuxMint 17.1

 Sudah lama nih gak ngoprek lagi, maklum akhir-akhir tuntutan pekerjaan membuatku hanya menjadi sekadar end-user saja untuk sementara, walaupun di sela-sela kesempatan aku masih iseng-iseng memasang beberapa distro. Sekarang aku mau berbagi cara mengoptimalkan resolusi monitor Monitor LG FLATRON L1742SE pada LinuxMint 17.1 yang mentok pada 1024x766



Jalankan perintah cvt dengan opsi resolusi yang kamu inginkan. Perintah cvt ini adalah untuk mengkalkulasi modelina VESA CVT (Coordinated Video Timing) untuk digunakan bersama server grafik X

cvt 1280 1024

Setelah dicoba, hasil keluarannya adalah

# 1280x1024 59.89 Hz (CVT 1.31M4) hsync: 63.67 kHz; pclk: 109.00 MHz
Modeline "1280x1024_60.00"  109.00  1280 1368 1496 1712  1024 1027 1034 1063 -hsync +vsync

Perhatikan angka-angka sebelum -hsync, angka-angka tersebut yang akan kita gunakan sebagai modus grafis, kemudian buat modus grafis, di sini aku memakai nama 'gelo_name', biar greget, hehehe.

xrandr --newmode gelo_name 109.00  1280 1368 1496 1712  1024 1027 1034 1063

Setelah itu, tambahkan modus grafis baru tersebut ke output VGA
xrandr --addmode VGA1 gelo_name

Akhirnya kita aktifkan modus grafis yang telah dibuat dengan perintah
xrandr --output VGA1 --mode gelo_name

Permasalahannya tidak sampai di sini, pengaturan resolusi ini akan menghilang dan kembali pada pengaturan sebelumnya ketika sistem dihidupkan ulang. Artinya, kita harus memanggil perintah-perintah di atas dari awal. Untuk mengatasinya, kita masukkan saja beberapa baris perintah itu menjadi sebuah berkas skrip yang nantinya akan dipanggil saat sistem dimulai. OK, mari menjadi preman terminal lagi.

Buat berkas skrip bash dari perintah-perintah di atas. Sebenarnya ini bisa dilakukan dengan GUI, cuman ribet aja dokumentasinya, hehehe. OK, kita bikin berkas yang dapat dieksekusi

sudo touch /usr/local/bin/optimalize_resolution
sudo nano /usr/local/bin/optimalize_resolution

Kemudian isi dengan perintah-perintah di atas sebelumnya, terkecuali perintah cvt itu karena kita sudah mengetahui parameter angka yang dibutuhkan untuk konfigurasi. Oh ya, jangan lupa tambahkan baris #!/bin/bash di awal

#!/bin/bash

xrandr --newmode gelo_name 109.00  1280 1368 1496 1712  1024 1027 1034 1063
xrandr --addmode VGA1 gelo_name
xrandr --output VGA1 --mode gelo_name

Setelah itu, kita buat agar skrip di atas bisa dijalankan saat sistem dimulai dengan cara membuat berkas .desktop dan disimpan di /etc/xdg/autostart

30 May 2015

Dikotomi Negeri Muslim Minus Islam VS Negeri Islam Minus Muslim


Barat yang Megah, Sesungguhnya Rapuh - sumber gambar: novaonline.nvcc.ed

Sedikit selintingan tentang adagium menyesatkan 'Di Barat sana, ku temukan Islam namun tidak ada muslim, di negeri ini, kutemukan muslim tapi tidak dengan Islam'. Negara-negara Eropa konon sangat maju, berpendidikan dan kuat karena aturan-aturan yang dibuat bahkan bukan berdasarkan agama (walaupun aroma Kekristenan tetap ada), dan nilai-nilai yang universal dan humanis itulah --bukan aspek legal formal syari'at-- yang mestinya dijunjung oleh orang Islam yang fanatik, totaliter dan fundamentalis, katanya juga.

Not to mention, bagaimana ukuran kemajuan peradaban itu jika ternyata ada fakta-fakta sejarah yang lebih mencengangkan karena disebabkan cara berpikir di luar Islam. Di antaranya ya tentang pembunuhan-pembunuhan paling masif/genosida seperti yang dilakukan Hitler dan perang dunia yang luar biasa besar itu, itu semua bukan dilakukan oleh muslim, bahkan tidak sama sekali didasari semangat keislaman. Lalu kolonialisme yang selain menghisap habis SDA penduduk dunia ketiga, juga menyisakan 'mental' terjajah selama berabad-abad (inferiority complex/ Minderwürdigkeit) kemudian dan juga institusi-institusi besar semacam PBB yang bersumber dari semangat persaudaraan antar bangsa, keseteraan kemerdekaan ummat manusia dan tentu nilai-nilai kemanusiaan sendiri dewasa ini malah seakan mandul tidak mampu memenuhi nilai-nilai yang dianutnya terbukti dengan terus menerus adanya kedzaliman di berbagai belahan dunia yang mengarah pada penjajahan, genosida dan pengusiran seperti di Palestina, Uighur, dan terbaru Rohingya.

Di negeri-negeri di Barat sendiri, keteraturan kota-kotanya, kedispilinan warganya, minimnya korupsi, ditegakkannya hukum-hukum yang seakan menyilaukan itu ternyata memiliki borok-borok yang tidak terelakkan. Amerika Serikat misalnya, negeri adidaya ini memiliki pendapatan film porno melebihi revenue-nya Microsoft, atau Belanda yang memiliki taman khusus yang pengunjungnya boleh berhubungan badan secara legal di depan umum, malah kalau anjing masuk ke situ tidak dilarang, sama juga berhubungan badan di kereta api di tempat umum dilegalkan, asalkan suka sama suka. Lain lagi di Jepang yang masyarakatnya dikenal workaholic, ternyata memiliki tingkat bunuh diri yang tertinggi di dunia dan tradisi "bukkake” yaitu mengeroyok rame-rame satu gadis dengan belasan pria sekaligus, dan kesemuanya itu legal saudara-saudara!!

Tentu cara berpikir dikotomis 'negeri muslim minus Islam' atau 'negeri Islam minus muslim' bukan karena perbedaan antara 'Islam' dan 'muslim' itu sendiri, tetapi karena cara pandang pincang yang menghendaki bahwa Islam itu sekadar nilai-nilai universalnya saja, Islam itu hanya diambil saripatinya saja semacam toleransi, penjunjungan tinggi akan kemajuan atau kemanusiaan. Tapi bukan seperti itu seharusnya, Islam adalah sistem mabda berbasiskan tauhid yang syumul, kompleks dan integratif yang tidak mungkin dicerai beraikan secara sewenang-wenang sehingga ketika ada kebaikan yang dipraktikkan oleh golongan non Islam kita katakan itu Islam, tidak seperti itu. Maukah dikatakan bahwa orang-orang Yahudi dengan provokasi teologis dari Talmud oleh Zionisme Internasional untuk hijrah ke Palestina itu disebut sangat Islami karena dicap Tauhid sebagaimana diketahui agama Yudaisme itu monoteis? Atau kaum Budhhis yang terkenal petapa mencinta keharmonisan itu sangat sesuai dengan konsep zuhud lantas juga disebut Islami? Tidak kan? Nah, begitu juga ketika berbicara dengan masalah negeri ini. Orang-orang ini hanya memang satu nafas dengan materialisme yang sudah pasti memiliki ukuran kemajuan hanya dalam ukuran fisik semata.

Sesungguhnya mereka (orang kafir) menyukai kehidupan dunia dan mereka tidak memperdulikan kesudahan mereka, pada hari yang berat (hari akhirat) .(Al Insan 27)

Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang kami kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir. (Al isro, 18)
 
Wallahu a'lam. Correct me if I'm wrong.

Bil Mujmal Ahlusunnah Wal Jama'ah

Oleh: Ust. Priyo Djatmiko 10/05/2015 


Ini argumentasi saya kenapa keduanya (Salafiy dan Aswaja, ed.) mesti dianggap bil mujmal (secara global, red.) Ahlussunnah wal jamaah. Baik keduanya, punya dasar kategori sebagai berikut: Bahwa semua orang apapun manhajnya bisa terjatuh pd kesalahan akhlaqiyah dan kekeliruan ghulluw, tapi ini bukan dasar penghukuman umum. Dasar penghukuman umum adalah apa yang diwakili oleh manhajnya itu sendiri: sekarang bagi teman-teman Aswaja: secara umum manhaj Salafiy yg menjadi titik beda adalah hal-hal berikut ini:
  1. Bab madzhab, ijtihad dan taqlid, 
  2. Bab asma wa shifat (tafwidh makna vs tafwidh kayfiyat, istbat vs takwil),
  3. Bab tasawuf dan yang terkait
  4. Bab bid;ah dan amalan-amalan terkait yg diperselisihkan. 
  5. Bab syirik dan amalan-amalan terkait yg diperselisihkan  
  6. Bab takfir dan penerapannya, tapi ikhtilaf di poin 6 ini semua kelompok berselisih dan saling tumpang tindih, jadi kita kecualikan saja soal ini.

Dari poin 1-5, misalnya meski secara umum saya pribadi mengelirukan pendapat Salafiyah, itu tidak menjadikan saya mengeluarkan mereka dari Ahlussunnah, misalnya dengan ungkapan seperti model ini: menyandingkan mereka di kanan sebagai musuh Aswaja, di kirinya Syi'ah. Artinya meski ada pendapat mereka yang saya keluarkan dari representasi pendapat Ahlussunnah Wal Jama'ah (sikap pribadi), tapi mereka sendiri tidak keluar Ahlussunnah Wal Jama'ah. Tidak keluar itu artinya di dalamnya bukan cuma dekat tapi masih di luar. Artinya bukan sekadar ahlul qiblah tapi memang sama-sama ahlussunnah wal jamaah. Kalau sekadar ahlul qiblah maka ia bisa masuk ke 72 golongan yg harus dicuci dulu dengan naar (hehe). Yang sekadar itu misalnya Syi'ah secara umum, Khawarij, Muktazilah...

Lho, kenapa Syi'ah, Khawarij dan Muktazilah dikeluarkan tapi kedua golongan ini tidak? Karena ada kesamaan yg menjadi ciri khusus yang membedakan Ahlussunnah Wal Jama'ah secara umum: yaitu "sunnah", atau standar kebenaran, yang mencakup masdar syar'i (quran dan hadits, metode umum untuk memverifikasi dan meng-istinbath atau fiqh) dan "jama'ah" yaitu konsep ummah, ulama dan ulil amri. Yang pertama ("sunnah") lebih banyak kesamaannya daripada yang kedua ("jamaah") karena yang kedua ini banyak sekali berubah di zaman modern ini, yang dinamikanya jauh lebih dahsyat daripada ketika di zaman ulama-ulama pendahulu, jadi semakin banyak variasi pendapat yang kadang bertentangan tidak berkonsekuensi mengeksklusikan dari Ahlussunnah Wal Jama'ah. Artinya kesamaan-kesamaan ini jika ditimbang bobotnya lebih berat daripada perbedaan yang di atas, baik khilafiyah masalah di atas (1-6) itu khilafiyah muktabar dari salaf atau tidak. Misalnya khilafiyah muktabar adalah manhaj dalam soal ijtihad-madzhab-taqlid, karena ada ulama-ulama seperti Imam As Syaukani, As Shan'ani, kalau tidak mau menyebut Ibnul Qayyim dan Ibn Taimiyah. Itu hanya contoh.

Terus apakah dengan demikian kita aman dari api neraka? Ya tidak, meskipun kita masuk ke dalam Ahlussunnah Wal Jamaah, tapi kita bisa melakukan dosa seperti di atas: dosa kesalahan akhlaqiyah dan dosa kekeliruan ghuluw

Ya dengan begini saya rasa kedua belah pihak sama-sama lebih banyak yang tidak setuju dengan saya daripada yang setuju. Bahkan setuju pun tidak banyak membantu kalau pihak yang lain tidak sama-sama menyambutnya. Artinya ya harus sama-sama, tidak bisa sepihak.

Aswaja?

Sudah seakan menjadi suatu konsensus tidak tertulis bahwa istilah 'aswaja' yang pada awalnya merupakan kependekan dari Ahlusunnah Wal Jama'ah kemudian lama-lama dipakai dalam konteks Indonesia untuk menunjukkan golongan muslim tradisionalis (katakan saja NU yang dominan, atau Perti yang semisal). Entahlah, apa karena memang warga Nahdliyin ini memang sukanya gak ribet, kalau nulis gelar kehormatan dan pujian seperti bagi Allah pake SWT, untuk Nabi Muhammad pake SAW, terus sahabat nabi pake RA dan seterusnya.

Kemudian istilah 'salafy' yang pada awalnya justru dipakai oleh kalangan muslim tradisional untuk memberi nama pesantren yang bercorak tradisional juga (klop) sebagai pembeda dengan corak pesantren modern model Gontor dan sejenisnya eh malah dipakai oleh golongan puritanis yang sering dituduh Wahhabi dan gak mau disebut Wahhabi.

Tapi entahlah, ini poster yang diisi oleh da'i Salafy malah memampang nama ASWAJA, apakah metode dakwah atau ingin taqrib? Wallahuu a'lam, yang pasti kita mesti rukun brai

Catatan: Saya masih NU lho, gak ada taqiyah pura-pura biar bisa promosi acaranya teman-teman Salafy.

24 May 2015

Gak Mau Mengaku Salah


People spend too much time finding other people to blame, too much energy finding excuses for not being what they are capable of being, and not enough energy putting themselves on the line, growing out of the past, and getting on with their lives. J. Michael Straczynski

01 March 2015

Alergi Syari'at

Brandon terkena gagal ginjal, setiap dua minggu sekali sesuai anjuran dokter dia harus melakukan cuci darah (hemodialisis), sekali sesi itu selama lima jam. Biayanya 50-80 juta rupiah. Kemudian dia juga harus melakukan CAPD (Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis atau cuci darah lewat perut) dengan biaya per tahun Rp 50-75 juta. Dibutuhkan juga pemasangan kateter dengan biaya Rp 10 juta. Kemudian jika ingin transplantasi ginjal maka harus merogoh kocek sebesar Rp 200 juta untuk pretransplantasi dan prosedur, sementara biaya transpantasinya sendiri Rp 75-150 juta per tahun.

Sungguh angka yang fantastis! Rata-rata dia membutuhkan Rp 300 juta per tahun untuk mendapatkan ginjal yang kembali berfungsi normal. Dengan uang sebanyak itu dia sebenarnya bisa membeli satu rumah minimalis menengah di kompleksi elit.

Mengapa Brandon begitu berani berkorban mengeluarkan uang sebanyak itu?

Karena dia yakin akan saran dokter....

Kenapa dia yakin pada dokter?

Karena dia tahu dokter itu orang pintar yang sudah belajar puluhan tahun dengan biaya yang juga mahal.

Ini baru tentang kesehatan....

Nah, pertanyaannya, jika ada seorang muslim yang mengklaim bahwa dia meyakini bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar, dia yakin katanya 100% Allah adalah tuhannya dan Muhammad adalah nabi-Nya, kenapa masih ada saja yang merasa gatal dengan sesuatu hal ihwal yang berkenaan dengan syari'at? Kalau ada istilah syari'at tiba-tiba saja menjadi alergi dan menjadi bahan kritik. Dengan segudang alasan: dari mulai tuhan tidak perlu dibela, menganggu keragaman/pluralitas sampai alergi karena sudah dicocoki istilah-istilah keren yang dipelajari dari buku-buku. Sampai-sampai menyepelekan, bahwa manusia tidak perlu dinilai dari agamanya, agama itu sama saja, yang penting beribadah dan berbuat baik kepada sesama manusia (meskipun garis demarkasi tauhid juga dilanggar).

Apakah itu artinya sebenarnya dia tidak yakin akan kebenaran dan keagungan Islam? atau dia memiliki split personality karena ilmu yang dipelajari dan pengalaman yang dialaminya? Atau karena dia memang pengen terlihat sangat toleran di hadapan orang-orang non muslim? Wallahu ta'ala a'lam

Hitung






Komentar

Tentang Blog Ini

Seorang pembelajar yang berharap tidak berhenti belajar, seorang hamba yang berharap tidak berhenti menghamba

Followers