09 November 2014

Pesantren dan Ilmu Pengetahuan Sekuler Perkuliahan

Dua minggu yang lalu ikut bantu paman di Ciamis membangun fondasi untuk rumahnya, ya walaupun sekadar jadi tukang laden tidak apa-apa, hitung-hitung olahraga juga menghindari dunia virtual laptop yang setiap hari digeluti. Qadarullah hari itu adalah hari Jum'at, sehingga siang hari saya membersihkan diri untuk berangkat Jum'atan. Yang menarik, Jum'atan saat itu dilakukan di kompleks asrama pesantren Darussalaaam yang tentu sebagian besar (90%) jama'ahnya adalah anak didik pesantren itu. Saya juga tidak tahu mengapa sepertinya hanya sebagian kecil saja masyarakat yang ikut Jum'atan di sana. Mungkin karena perbedaan mazhab, karena seingat saya di sana itu kecuali untuk sarungan dan do'a terpimpin yang dijahrkan, kaifiyat khhutbah dan shalatnya mirip sekali dengan orang-orang Muhammadiyah. Mungkin itu yang menyebabkan bapaknya bibi (istri paman) lebih memilih Jum'atan di desa.

Masuk ke dalam masjid seketika itu saya langsung merasa berjalan ke masa lalu, di mana uniformalitas menjadi ciri khas. Masing-masing anak dengan baju koko putih, sarungan, kopiah songkok dan Al Quran di tangan duduk bershaf khusyu tadarusan sebelum adzan. Melihat satu per satu wajah yang sarat kisah itu serasa melihat diri sendiri yang pernah hidup dalam lingkungan serupa yang sangat ketat, penuh aturan kedisplinan dan mungkin dalam beberapa kasus mengundang jiwa pemberontakan, hehe. Isi khutbahnya sangat bagus, yaitu tentang pentingnya menjaga diri dari perkataan buruk sesuai anjuran dalam Q.S. Ibrahim ayat 24 dan 25:

"“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.” (QS. Ibrahim 24 dan 25)"

Setelah selesai Jum'atan jama'ah keluar kecuali para santri dan asatidz, pintu masjid pun ditutup. Masih jelas terdengar dari luar suara pengeras suara yang dipegang oleh pembina mereka, ada evaluasi di sana.

Saya semakin tersenyum saja mendengarnya. Bukan apa-apa, mungkin bagi teman-teman santri atau siapa pun yang pernah hidup dalam lingkungan seperti itu saat merasakannya dalam beberapa kesempatan mengalami tekanan bathin ingin segera menyelesaikannya dan mendapatkan kebebasan. Wujud dari tekanan ini bisa jadi pemberontakan pelanggaran aturan atau sekadar menggerutu saat menjalankan tugas. Mengingat perkataan teman saya bahwa menggerutu justru malah merugikan, karena bagaimanapun tugas2 itu tetap saja dilakukan, sementara pahalanya dikhawatirkan malah menghilang. Benar saja, saya juga mengiyakannya terutama sekarang saat sudah menadi alumni.

Tapi bukan itu intinya, melainkan bagaimana sebenarnya saya dan banyak alumni lainnya yang mengaku justru rindu akan lingkungan seperti itu. Saat kebebasan di kampus kemaren diraih, saya sempat kehilahan arah terutama dalam masalah keagamaan. Maklum juga, pendidikan tinggi sekarang atau lebih tepatnya konten pendidikan sekarang yang banyak impor itu kelewat 'netral', hampir boleh dikatakan ilmu pengetahuan yang tidak bebas nilai itu dikangkangi oleh nilai-nilai sekularisme, dalam variasi takarannya tentunya. Orang yang belajar fisika belum tentu dapat menjadi hamba yang mampu menyingkap kebesaran dan kekuasaaan Allah melalui belajarnya itu. Semakin belajar, justru semakin lupa pada Tuhan. Belum juga serbuan materliasme yang mendoktrin sekolah itu hanya untuk bisa kerja, bukan menuntut ilmu untuk mencari ridla Allah. Singkatnya, seorang penuntut ilmu di manapun tetap perlu arahan, bimbingan dan wejangan dari orang yang lebih 'alim dan sholeh tentunya, dan itu semua agak susah sepertinya di lingkungan kampus kalau bukan atas keinginannya sendiri. Mungkin orang tua mesti lebih dilibatkan untuk hal ini. Jangan sampai anak tercintanya malah kehilangan arah dan tujuan hidup karena masuk dan membaur dalam lingkungan yang salah. Ingat, aset paling berharga kita adalah keimanan, banyak yang pudar bahkan hilang dan tersesatkan kala masuk dunia kampus. Na'udzubillaah tsumma na'uudzubillaahimindzalik.

Hidup di Asrama: Merindu Kebebasan Lalu Rindu Kebersamaan

Dua minggu yang lalu ikut bantu paman di Ciamis membangun fondasi untuk rumahnya, ya walaupun sekadar jadi tukang laden tidak apa-apa, hitung-hitung olahraga juga menghindari dunia virtual laptop yang setiap hari digeluti. Qadarullah hari itu adalah hari Jum'at, sehingga siang hari saya membersihkan diri untuk berangkat Jum'atan. Yang menarik, Jum'atan saat itu dilakukan di kompleks asrama pesantren Darussalaaam yang tentu sebagian besar (90%) jama'ahnya adalah anak didik pesantren itu. Saya juga tidak tahu mengapa sepertinya hanya sebagian kecil saja masyarakat yang ikut Jum'atan di sana. Mungkin karena perbedaan madzhab, karena seingat saya di sana itu kecuali untuk sarungan dan do'a terpimpin yang dijahrkan, kayfiyat khutbah dan shalatnya mirip sekali dengan orang-orang Muhammadiyah. Mungkin itu yang menyebabkan bapaknya bibi (istri paman) lebih memilih Jum'atan di desa.

Masuk ke dalam masjid seketika itu saya langsung merasa berjalan ke masa lalu, di mana uniformalitas menjadi ciri khas. Masing-masing anak dengan baju koko putih, sarungan, kopiah songkok dan Al Quran di tangan duduk bershaf khusyu tadarusan sebelum adzan. Melihat satu per satu wajah yang sarat kisah itu serasa melihat diri sendiri yang pernah hidup dalam lingkungan serupa yang sangat ketat, penuh aturan kedisplinan dan mungkin dalam beberapa kasus mengundang jiwa pemberontakan, hehe. Isi khutbahnya sangat bagus, yaitu tentang pentingnya menjaga diri dari perkataan buruk sesuai anjuran dalam Q.S. Ibrahim ayat 24 dan 25:

"“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.” (QS. Ibrahim 24 dan 25)"
Setelah selesai Jum'atan jama'ah keluar kecuali para santri dan asatidzah, pintu masjid pun ditutup. Masih jelas terdengar dari luar suara pengeras suara yang dipegang oleh pembina mereka, ada evaluasi di sana.

Saya semakin tersenyum saja mendengarnya. Bukan apa-apa, mungkin bagi teman-teman santri atau siapa pun yang pernah hidup dalam lingkungan seperti itu saat merasakannya dalam beberapa kesempatan mengalami tekanan bathin ingin segera menyelesaikannya dan mendapatkan kebebasan. Wujud dari tekanan ini bisa jadi pemberontakan pelanggaran aturan atau sekadar menggerutu saat menjalankan tugas. Mengingat perkataan teman saya bahwa menggerutu justru malah merugikan, karena bagaimana pun tugas-tugas itu tetap saja dilakukan, sementara pahalanya dikhawatirkan malah menghilang. Benar saja, saya juga mengiyakannya terutama sekarang saat sudah menjadi alumni. Tapi bukan itu intinya, melainkan bagaimana sebenarnya saya dan banyak alumni lainnya yang mengaku justru rindu akan lingkungan seperti itu.
Atas: Perpisahan ANDALAS SMA Plus Cisarua, Sebuah Dunia yang Cenderung Homogen, Penuh Aturan dan Terkendalikan
Bawah: Kampus Universitas Paramadina, Dunia Lain yang Egaliter. Kritis Sekaligus Bebas

Saat kebebasan di kampus sudah mulai diraih, saya sempat kehilahan arah terutama dalam masalah keagamaan. Maklum juga, pendidikan tinggi sekarang atau lebih tepatnya konten pendidikan sekarang yang banyak impor itu kelewat 'netral', hampir boleh dikatakan ilmu pengetahuan yang tidak bebas nilai itu dikangkangi oleh nilai-nilai sekularisme, dalam variasi takarannya tentunya. Seperti yang dikemukakan oleh Ustadz Arnin Armas, MA, seorang murid cendekiawan muslim besar abad ini, Syed Naquib Al Attas yang menyatakan bahwa orang yang belajar fisika belum tentu dapat menjadi hamba yang mampu menyingkap kebesaran dan kekuasaaan Allah melalui belajarnya itu. Semakin belajar, justru semakin lupa pada Tuhan. Belum juga serbuan materialisme yang mendoktrin sekolah itu hanya untuk bisa kerja, bukan menuntut ilmu untuk mencari ridla Allah. Bagi al-Attas, ilmu yang kini secara sistematik disebarkan ke seluruh dunia bukanlah ilmu yang sejati, tetapi telah dipenuhi oleh watak dan kepribadian kebudayaan Barat, dipenuhi dengan semangatnya dan disesuaikan dengan tujuannya.

Singkatnya, seorang penuntut ilmu di manapun tetap perlu arahan, bimbingan dan wejangan dari orang yang lebih 'alim dan sholeh tentunya, kalau kata teman saya itu kita memang butuh bukan hanya orang yang tahu 'ulumuddin (ilmu-ilmu agama) sebagai guru, melainkan juga sosok yang memiliki jiwa yang lebih besar dari kita dan itu semua agak susah sepertinya di lingkungan kampus kalau bukan atas keinginannya sendiri atau diarahkan atas dasar bagian dari kewajiban suatu program beasiswa semacam tarbiyyah di kalangan mahasiswa Etos. Mungkin orang tua mesti lebih dilibatkan untuk hal ini. Jangan sampai anak tercintanya malah kehilangan arah dan tujuan hidup karena masuk dan membaur dalam lingkungan yang salah. Ingat, aset paling berharga kita adalah keimanan, banyak yang pudar bahkan hilang dan tersesatkan kala masuk dunia kampus.  

Na'udzubillaah tsumma na'uudzubillaahimindzalik.

03 September 2014

Yahoo! Indonesia Membusuk

Kelakuan media massa sekuler, beberapa kali jelas-jelas halaman resmi Yahoo! Indonesia ini melecehkan Islam, dan kayak begini dibela-bela
Alasannya sih kritik ke masyarakat??? Kritik ke masyarakat kok jadi menghina Tuhan, alasannya berfisafat, filsafat macam apa kalau mengkomunikasikan sesuatu sudah gagal sedari awal.

14 August 2014

Selamat Hari Pramuka - 2014

Afgan Juga Pramuka!!
Hari ini adalah ulang tahun Pramuka. Yaps, Selamat Hari Pramuka: 14 Agustus 1961- 14 Agustus 2014


Pada tahun 2014 ini Pramuka di Indonesia sepertinya akan mulai mengalami tren yang menggembirakan karena telah menjadi ekstrakurikuler yang wajib pada Kurikulum 2013 setelah sebelumnya dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 12 tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka yang memperkuat legalitas Pramuka di negeri ini. Ya, di samping pro kontra yang menyertai kurikulum baru tersebut tentunya. Untuk itulah, Gerakan Pramuka telah mempersiapkan diri dengan memperbaharui sistem pendidikan kepramukaan, beberapa diantaranya dengan melakukan akreditasi Gudep (Gugus Depan), serta sertifikasi dan lisensi para Pembina.

Omong-omong soal Pramuka, semasa SMA dulu saya hidup dalam lingkungan kawah candradimuka: sebuah boarding school yang kental selain dengan suasana religius juga aroma militer melalui para pembina dari TNI. Walaupun memang keras dan menekankan disiplin, tapi banyak hikmah yang bisa diambil. Kita belajar tentang taat pada peraturan, melatih mental baja, mengendalikan diri, sembari tetap menjadi insan kreatif sarat prestasi yang selalu mengasah kelembutan hati, solidaritas persahabatan, penghormatan pada guru/orang yang mesti dihormati dan kepekaan sosial-lingkungan. Lingkungan semacam ini tentu sangat klop dengan Pramuka. Selain itu juga, kami sebagai siswa asrama memang diwajibkan memilih salah satu di antara dua ekstrakurikuler berkarakter mirip yang wajib diikuti: Pramuka atau Paskibra.

Berbeda dengan lingkungan saat saya berada sekarang ini. Dunia kampus yang penuh idealisme dan overserius, terkadang memaksa kita hidup dalam kepura-puraan. Tawa yang kita lempar sekadar formalitas keakraban. Padahal hidup yang memang permainan ini perlu unsur bermain, seberapa tua pun umur kita. Pramuka menjadi wadah bagi kita untuk menyalurkan rasa 'bermain' dalam hal-hal yang masih positif. Pramuka bisa menjadi sarana untuk intermezzo atau jeda untuk sekadar mengambil nafas demi mengenali diri sendiri dan alam di tengah arus dunia urban yang terus menerus melakukan penggerusan kedirian dan kejatidirian.

Tapi memang model pelantikan yang terlihat perpeloncoan juga cukup banyak menuai kritikan. Pelantikan yang biasanya afgan sadis ini tidak urung menjadi perhatian beberapa teman sosial media saya. Kemungkinan besar cara pandang mereka dibentuk oleh lingkungan yang berbeda dengan saya, tapi saya rasa komentar miring terkhusus tentang pelantikan ini apalagi sampai pada tahap mencela Pramuka tidak perlu ada, karena ini adalah aspek pendidikan juga yang kata Baden-Powell: membentuk generasi waras di zaman yang edan.

28 June 2014

[Kuesioner] Penilaian Pengguna Terhadap Unity Shell pada Distro Ubuntu


Ubuntu sebagai salah satu distro GNU/Linux yang menjadi standar de facto saat ini dapat diakui sebagai distro sejuta ummat. Ketika berbicara GNU/Linux, orang-orang biasanya akan langsung merujuk pada distro Ubuntu. Oleh karena itu, Ubuntu menjadi pilihan utama ketika seseorang akan melakukan migrasi atau hanya sekadar mencoba dunia GNU/Linux.

Akan tetapi, di balik kepopulerannya, Ubuntu membawa isu kontroversialnya sendiri. Bukan tanpa alasan, sebagai distro yang dikembangkan oleh perusahaan sekaligus sebagai distro komunitas terjadi tarik menarik kepentingan akan masa depan pengembangannya. Sejak tahun 2011, Canonical Ltd sebagai perusahaan di balik Ubuntu memperkenalkan desktop shell-nya sendiri yang diberi nama Unity sebagai pengganti GNOME yang dalam versi-versi sebelumnya digunakan sebagai desktop environment bawaan. Pihak Canonical Ltd memperkenalkan Unity sebagai bagian dari strategi bisnisnya menuju masa depan komputasi convergence antara komputer desktop, server, tablet dan smartphone.

Selain itu juga, sebagai sistem operasi keluarga *NIX varian GNU/Linux, secara umum Ubuntu juga membawa kelebihan dan kekurangan dari GNU/Linux yang tentu berbeda dengan Microsoft Windows sebagai sistem operasi desktop yang paling banyak dipakai oleh pengguna berdasarkan statistik terbaru (90,87%). Oleh karena itu saat ini kami sedang melaksanakan penelitian tentang pengembangan distro turunan yang berbasiskan Ubuntu dengan pendekatan secara antarmuka dan interaksi pengguna mirip sistem operasi Microsoft Windows. Penelitian ini bertujuan untuk menyelesaikan studi di Program Studi Teknik Informatika Universitas Paramadina.

Untuk tujuan itu kami meminta kesediaan Bapak/Ibu/Saudara/i untuk menjadi responden di penelitian ini. Perlu kami sampaikan bahwa data-data yang Bapak/Ibu/Saudara/i isikan hanya akan digunakan untuk kepentingan akademik. Atas kesediaan Bapak/Ibu/Saudara/i kami ucapkan terima kasih.


Untuk memulai pengisian kuesioner klik di bawah ini.

Klik untuk mengisi kuesioner



Hitung






Komentar

Tentang Blog Ini

Seorang pembelajar yang berharap tidak berhenti belajar, seorang hamba yang berharap tidak berhenti menghamba

Followers