27 January 2017

Berfilsafat, Membaca Karya Filsafat, Haram atau Halal?


 Oleh: Ust. Priyo Djatmiko 27/01/17 


Filsafat secara bahasa artinya cinta kebijaksanaan/kebenaran. Terlalu terang bahwa muslim diminta untuk cinta kebijaksanaan dan kebenaran. Kita tak boleh puas dengan kedangkalan, sama seperti kita tak boleh cukup dengan kepuasan-kepuasan yang jasmaniah belaka. Filsafat juga mula-mula diperoleh dan tak mungkin tidak melalui berpikir dengan kualitas yang mendalam. Kualitas mendalam, menyeluruh, runtut itu sebetulnya sudah inheren pada makna etimologi kata tafakkur (dalam kamus mukhtarus sihhah: tafakkur ay i'malul khathir fis syai' atau arti tafakur adalah mengamalkan khatir atau keprihatinan atau perhatian mendalam pada sesuatu objek) sehingga tidak layak disebut tafakur itu dengan perhatian sekilasnya atau sedangkalnya saja. Jadi secara etimologi bisa diungkapkan seperti ini: "anda berpikir (fakara) tapi belum layak disebut berpikir (tafakkara) sebab anda terlalu dangkal".

Meski bukan satu-satunya jalan untuk berspiritual, tafakur jelas ibadah yang sangat-sangat penting, terlalu banyak ayat, hadits (terlepas banyak hadits di sini yang tak valid atau tak kuat benar) dan petuah ulama mengenai pentingnya tafakur. Tak ada yang menyangkal terang-terangan fadilah tafakur ini, tapi to the point pertanyaannya adalah bagaimana tingkat ketaatan pengamalan kita pda ibadah tafakur ini jika kita enggan berpikir dengan mendalam, berat, runtut dan menyeluruh? Tak ada yang boleh menghindar sebab cukup jelas perintah tafakur itu untuk semua muslim yang berakal, tafakur bukan tugas ulama atau filsuf atau cendikia saja (fardhu ayn). Yang boleh adalah mengakui kedhaifan saya belum mampu atau sampai di sini saja kemampuan saya bertafakur. Tak boleh memanipulasi kelemahan dengan mengatakan haram bertafakur. Bagaimana dengan perkataan "haram berfilsafat"?

Pertama-tama kita perlu mengurai objek tafakur itu. Objek tafakur ada dua: kenyataan dan teks. Yang pertama alam, manusia (kenyataan yang tampak) dan metafisika (kenyataan yang tak terindera). Yang kedua adalah teks suci: pertama Al Quran dan kedua petunjuk Nabi yang disebut sunnah, esensinya adalah sunnah sedang teksnya berupa hadits. Nampaknya yang diberatkan orang adalah filsafat dalam arti mempelajari teks-teks filsafat, karya-karya filsuf dan diskursus-diskursus di dalamnya. Berfilsafat di sini konteksnya ternyata bertafakur pada objek yang berupa teks-teks filsafat, karya-karya filsuf dan diskursus-diskursus filsafat. Jika tafakur disetujui sebagai amal baik maka filsafat (dalam arti di atas) tidak wajib, itu jelas, tapi apakah ia boleh atau tidak, seperti itu perdebatannya dalam masyarakat islam.

Baiklah bertafakur atas objek alam dan manusia itu wajib. Pertanyaannya, dapatkah kita mempelajari suatu objek tanpa merujuk pengalaman orang lain terdahulu? Kita pasti tak bisa mempelajari suatu objek tanpa belajar, membaca penjelasan atau pengalaman orang terdahulu di suatu bidang.
Jawaban orang adalah, bukankah objek alam orang terdahulu yang kita rujuk adalah saintis? Bagaimana dengan objek manusia, bukankah yang kita rujuk adalah ilmuwan humaniora? Penjawab yag keberatan dengan filsafat mulai ragu dengan jawaban yang ia kemukakan di atas, sebab ilmuwan humaniora tak mungkin tidak kaum filsuf. Di sini kita harus bisa membedakan ilmuwan (cendikia) di bidang humaniora dengan tukang di area humaniora seperti tukang survei, pengamat politik, akuntan dan semisalnya. Tukang punya keutamaan sendiri tak diagukan, tapi kita harus bisa membedakan kalau sekadar tukang belum cendikia meski banyak cendikia boleh tampil ke publik dengan menjadi tukang. Kenapa ia tidak sekalian lantang mengharamkan ilmu humaniora, jika alasannya takut sesat, bukankah banyak muslim-muslim yang "tersesat" karena belajar ilmu humaniora.

Bagaimana dengan objek alam, ketika kita tahu bahwa filsuf juga membicarakannya? Memang ilmuwan sains cukup banyak membodoh-bodohkan filsuf dan merasa bisa berjalan sendiri tanpa filsuf. Ilmuwan sains seperti itu sebetulnya ilmuwan so yesterday yang tumbuh di jaman modernisme. Yang sering kita cela lantang di mimbar-mimbar bahwa jangan sampai sains menjadi penghantar ingkar pada Tuhan, merusak kehidupan manusia dan menghancurkan alam justru ilmuwan masa modernisme atau ilmuwan beretis modernis, dan fakta ini erat dengan penolakan mereka menaruh perhatian pada hal-hal kefilsafatan. Bagaimana kita mencela dampak sains seperti itu tapi kita berpihak tanpa sadar pada mereka? Jadi pelecehan sebagian saintis alam terhadap filsafat kealaman bukanlah dalil.

Ilmuwan sains yang jujur akan mengetahui bahwa asal ilmu mereka juga tumbuh dari kepanjangan filsafat tentang alam. Jika kita memahami bahwa satu ilmu punya sejarah dan sejarah itu layak dipelajari maka kita tak bisa menutup mata dari bacaan filsafat. Jika kita memahami suatu ilmu tidak cukup dipelajari praksisnya saja tapi juga hal ikhwal asumsi, paradigma, metode, asal mula metode dan seterusnya, maka kita tak bisa menutup mata dari bacaan filsafat. Dapatkah kita kukuh bisa menjadi saintis dan cendikia humanioris yang handal tanpa membaca bahan-bahan tersebut? Dapat saja kita klaim demikian, tapi untuk masuk ke sana kita sudah berfilsafat juga, sebab membicarakan topik-topik filsafat! Hanya soalnya apakah itu filsafat yang baik atau filsafat yang buruk, jawabannya cukup jelas, orang yang modal pengetahuannya tak cukup tentang sesuatu pasti buruk ketika berbicara tentang sesuatu itu.

Jika kita tak dapat menghindar bacaan filsafat sebagai objek tafakur jika ingin handal dalam menghasilkan tafakur di dua bidang (kealaman dan kemanusiaan) tersebut. Bagaimana dengan bidang metafisika, bukankah para filsuf juga membicarakannya baik dalam kerangka percaya atau tidak percaya (terhadap objek-objek metafisika). Pertanyaannya sama, apakah boleh atau tidak membaca dan menelaah dan berfilsafat terhadap bacaan filsafat di bidang tersebut? Meskipun bukan sumber penetapan bidang metafisika, membaca, mempelajari dan melibatkan diri pada wilayah diskursus filsafat atas metafisika menurut saya bukan hal yang terlarang. Yang terlarang adalah kita menetapkan (itsbat) dan meyakini (beriman) pada hal-hal yang salah, dan mengetahui mana yang salah dan benar dan menetapkan metode pengujian terhadapnya berarti kita mengkaji wilayah metafisika, itu berarti berfilsafat metafisika juga. Untuk bisa mempertanggungjawabkan filsafat metafisika ala islam, kita mau tak mau harus mejelaskannya juga secara filsafat. Itulah yang dimaksud dengan kajian epistemologi dan worldview metafisika islam. Itu juga berfilsafat. Pendek kata, bacaan filsafat tak bisa dihindari itu adalah objek tafakur kita juga

Sebagian besar uraian di atas bisa diringkas dengan dialog berikut:

Memed: Filsafat itu haram
Ahmad: Kenapa begitu?
Memed: Sebab..
Ahmad: Eit, antum sudah berfilsafat itu!

Menjebak? Mungkin iya. Tapi itu terjadi karena kesalahkaprahan kita memandang apa maksud filsafat: kita mengira berfilsafat berarti kita mengimani yang ada di situ. Padahal filsafat lebih tepat diartikan sebagai kegiatan menelaah, mendiskursuskan, mengkritisi dan mengarahkan. Beriman atau tidak, adalah buah dari kegiatan tersebut. Filsafat fokus pada kegiatannya bukan buahnya. Tentu filsafat ala kita memandang pada akhirnya kita harus mengimani (yang layak diimani). Tapi itu filsafat juga. Mengatakan itu sebagai filsafat adalah sah secara konsep dan secara teknis.

Teori Evolusi vs Islam



Oleh: Ust. Priyo Djatmiko 27/01/17 

Mainstream muslim sepertinya masih menolak teori evolusi. Jika masalah yang nyaris terang benderang saja seperti bumi bulat vs bumi datar saja bisa jadi kontroversi, apalagi soal teori evolusi yang sejarahnya lebih panjang dan jauh lebih kompleks, baik untuk memahami teori itu sendiri maupun konsekuensi dan implikasinya.

Untuk mengurai kontroversi, kita perlu jernih pada dua hal:

Pertama, definisi teori evolusi, yang memang jarang diklarifikasi dalam perdebatan. Definisi umum yang diacu dan dinyatakan kokoh oleh komunitas ilmiah, "evolusi adalah mungkinnya perubahan beberapa karakteristik pada satu spesies dalam rentang waktu/generasi yang lama, dan variasi itu dijelaskan secara empirik adalah hasil dari seleksi alam". Takrif ini menghimpun 2 (dua) rukun utama:
  • perubahan karakteristik pada spesies yang perubahan itu hanya mungkin terjadi setelah melalui waktu yang lama, dan 
  • secara empiris disimpulkan variasi itu dihubungkan (disebabkan) dengan apa yang disebut sebagai "natural selection" (seleksi alam). 
Selain dua rukun tersebut, fakta pencilan, fakta pendukung lainnya bisa dan boleh berubah atau salah atau dikoreksi.

Kedua, mengklarifikasi wilayah debat, di mana titik debat tersebut, evolusi sebagai teori saintifik atau evolusi sebagai worldview atau ideologi yang merupakan inferensi sebagian orang? Evolusi sebagai worldview bukanlah teori saintifik tapi penafsiran atau perluasan dari wilayah kealaman ke wilayah sosial. Marx, misalnya, sangat menggunakan teori ini (pemahaman umum yang ia peroleh dari tulisan Darwin) untuk menjelaskan dialektika sosial. Hitler misalnya, mengunakan worldview evolusionis pada berbagai aksi destruksi sosialnya. Penafsiran ideologis ini bukan teori saintifik. Tak elok menyalahkan sisi saintifik dari penafsiran ideologis sebagian orang. Salahkan sains menggunakan prinsip sains yang sah.

Evolusi sbg teori saintifik pun berlapis-lapis. Ada wilayah yang secara observasi empirik tak terbantahkan yaitu adanya variasi spesies dan hubungan kekerabatan antar spesies yg dekat. Variasi dan "kekerabatan" ini diarahkan penyebabnya kepada natural selection atau seleksi alam. Ini penafsiran atau fakta? Ataukah ia penjelasan terkuat sejauh ini yang ada dibanding penjelasan lain yang sempat diajukan? Mungkinkah ada penjelasan empirik lain selain seleksi alam? Catatan, bagi orang berimanpun sebetulnya dalam konteks kita menyebutkan "apa penjelasan empiriknya" maka Tuhan bukanlah penjelasan empirik. Penjelasan empirik adalah penjelasan bagaimana cara Tuhan mewujudkannya di dunia, hukum apa yang Tuhan pakai, kira-kira begitu logika saintis (ini agak panjang kalau mau diurai dari sudut pandang filsafat kealaman, teologi Islam muslim mainstream / sunni Asy'ari sensitif dengan kata hukum Tuhan karena menganggap yang ada adalah 'adat, sesuatu yang repetitif bukan hukum yang kausalitatif)

Di dunia muslim, yang paling populer melawan teori evolusi adalah Harun Yahya. Kalau saya baca/lihat Harun Yahya, pertama, dia keukeuh pada apa yang disebut creationism theory yang sama dengan flat earth theory, yang sebetulnya merupakan teori gereja lama (tapi masih banyak yang meyakininya di kalangan konservatif Barat), yang tidak ada asalnya secara kokoh di literatur islam (silahkan CMIIW). Harun Yahya juga coba membenturkan evolusi dalam definisi saintifik tadi dengan keyakinan imaniyah tentang penciptaan manusia pertama (Adam) oleh Tuhan. Kedua, Harun Yahya keukeuh semua spesies diciptakan sama persis sesuai kondisi yang kita temui sekarang tanpa perubahan sama sekali dan variasi yang ada satu persatu diciptakan Tuhan sedari mula dan mengklaim penjelasan itu ada dalam Islam atau quran. Tapi saya tak menemukan, mana dalil nya dalam Islam atau Quran klaim tsb?

Islam kecuali khusus untuk manusia, tidak memastikan bahwa semua makhluk hidup di awal penciptaannya tidak mengalami perubahan. Islam juga tidak mengatakan yang dimaksud penciptaan itu semua makhluk hidup diciptakan satu per satu termasuk per satu-satu variasinya. Jika memang diyakini bahwa makhluk hidup bisa berubah dan perubahan itu menjadikan variasi, dan variasi itu terjadi di alam dunia bukan alam azali, itu tidak kontradiktif dengan keimanan kita bahwa seluruh makhluk hidup diciptakan Tuhan. Kita masih bisa mengatakan bahwa itu bentuk jalan yang dikehendaki Tuhan dalam menciptakan variasi makhluk hidup.

Terakhir bagaimana dengan manusia pertama? Dapatkah direkonsiliasi antara penciptaan Adam sebagai manusia pertama dan diciptakan dengan kondisi sempurna seperti sekarang dengan teori tersebut? Pada dasarnya teori evolusi menjelaskan tentang hal fisikal. Masih terbuka kemungkinan untuk dipahami, bahwa Adam diciptakan dalam kondisi sudah sempurna dalam arti penciptaannya itu unik, spesifik dan sempurnanya dari sisi ruhani kesadaran dan intelektual. Ini bisa diselaraskan dengan teks-teks yang berbicara makhluk sebelum manusia (Adam) di bumi yang sifat fisiknya disebutkan serupa manusia. Begitu juga pengertian begitu tak terlalu asing, kita dapat menemukan pemahaman manusia sempurna ruhaniyahnya dan hirarki wujudnya dengan makhluk lain yang tersebut di literatur sufi. Saya tidak memastikan, tapi kemungkinan itu ada, tidak secara tegas dinafikan dari dalil agama. Saya tidak memastikan, karena menurut saya saintis juga terlalu jauh menafsirkan kalau mau membawa ke wilayah genesis atau penciptaan pertama.

Saya ingat Hasan al Banna mengatakan dalam salah satu dari 20 prinsipnya:
 "falan tasthadama haqiqatun 'ilmiyatun shahihatun bi qa'idatii syar'iyatin tsabitatin, wa yuawwalu addzhanniyyu minhuma liyattafiqa ma'al qath'iyyi". Tidak akan berbenturan hakikat ilmiah yang sahih dengan prinsip syariat yang permanen, dan kita hendaknya membawa yang nilai keilmuannya dzhanniy (sangkaan, tidak pasti) agar selaras dengan yang nilainya keilmuannya qath'iy (pasti, kokoh). Hasan Al Banna sudah benar, tidak semua yang datangnya dari wilayah agama pasti qath'iy (mutlak pasti), kadang ia penafsiran, dugaan, ijtihad. Dan Hasan al Banna mengakui bahwa wilayah ilmiah (sains) bisa menemukan sesuatu sampai pada tingkat qath'i, dan ketika pernyataan dari agama sifatnya dzhanniy, ia harus diselaraskan agar tidak menyalahi pernyataan dari sains yang qath'iy.

Bukan teori evolusinya yang ingin ditekankan di sini. Yang perlu ditekankan adalah logika bahts (pembahasannya)-nya. Kita harus mengukur suatu pernyataan ilmiah dan syar'i itu sampai di tingkat mana, qath'iy-kah atau dzhanniy saja. Untuk bisa mengukur kita harus mempelajarinya. Untuk tahu tingkat keyakinannya seberapa jauh, kita harus paham metode ilmiah, metode inferensi, teori tentang teori (nazhariyatul makrifah), bagaimana suatu komunitas ilmiah menerima sesuatu sebagai ilmiah, dan itu berarti belajar filsafat sains juga. Jangan masuk ke perdebatan kalau kita tak mengetahui dengan cukup. Bukankah kita sering kesal dengan penulis-penulis yang datang dari luar dengan sok tahunya mengklaim pernyataan agama tanpa aware dengan level ijmak-jumhur-khilaf-minoritasnya? Begitulah perasaan ilmuwan kalau kita terlalu percaya diri masuk dunia ilmiah tanpa aware dengan level-level ilmiah.

Hitung






Komentar

Tentang Blog Ini

Seorang pembelajar yang berharap tidak berhenti belajar, seorang hamba yang berharap tidak berhenti menghamba

Followers