Dua
minggu yang lalu ikut bantu paman di Ciamis membangun fondasi untuk
rumahnya, ya walaupun sekadar jadi tukang laden tidak apa-apa,
hitung-hitung olahraga juga menghindari dunia virtual laptop yang setiap
hari digeluti. Qadarullah hari itu adalah hari Jum'at, sehingga siang
hari saya membersihkan diri untuk berangkat Jum'atan. Yang menarik,
Jum'atan saat itu dilakukan di kompleks asrama pesantren Darussalaaam
yang tentu sebagian besar (90%) jama'ahnya adalah anak didik pesantren
itu. Saya juga tidak tahu mengapa sepertinya hanya sebagian kecil saja
masyarakat yang ikut Jum'atan di sana. Mungkin karena perbedaan mazhab,
karena seingat saya di sana itu kecuali untuk sarungan dan do'a
terpimpin yang dijahrkan, kaifiyat khhutbah dan shalatnya mirip sekali
dengan orang-orang Muhammadiyah. Mungkin itu yang menyebabkan bapaknya
bibi (istri paman) lebih memilih Jum'atan di desa.
Masuk ke dalam masjid seketika itu saya langsung merasa berjalan ke masa lalu, di mana uniformalitas menjadi ciri khas. Masing-masing anak dengan baju koko putih, sarungan, kopiah songkok dan Al Quran di tangan duduk bershaf khusyu tadarusan sebelum adzan. Melihat satu per satu wajah yang sarat kisah itu serasa melihat diri sendiri yang pernah hidup dalam lingkungan serupa yang sangat ketat, penuh aturan kedisplinan dan mungkin dalam beberapa kasus mengundang jiwa pemberontakan, hehe. Isi khutbahnya sangat bagus, yaitu tentang pentingnya menjaga diri dari perkataan buruk sesuai anjuran dalam Q.S. Ibrahim ayat 24 dan 25:
"“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.” (QS. Ibrahim 24 dan 25)"
Setelah selesai Jum'atan jama'ah keluar kecuali para santri dan asatidz, pintu masjid pun ditutup. Masih jelas terdengar dari luar suara pengeras suara yang dipegang oleh pembina mereka, ada evaluasi di sana.
Saya semakin tersenyum saja mendengarnya. Bukan apa-apa, mungkin bagi teman-teman santri atau siapa pun yang pernah hidup dalam lingkungan seperti itu saat merasakannya dalam beberapa kesempatan mengalami tekanan bathin ingin segera menyelesaikannya dan mendapatkan kebebasan. Wujud dari tekanan ini bisa jadi pemberontakan pelanggaran aturan atau sekadar menggerutu saat menjalankan tugas. Mengingat perkataan teman saya bahwa menggerutu justru malah merugikan, karena bagaimanapun tugas2 itu tetap saja dilakukan, sementara pahalanya dikhawatirkan malah menghilang. Benar saja, saya juga mengiyakannya terutama sekarang saat sudah menadi alumni.
Tapi bukan itu intinya, melainkan bagaimana sebenarnya saya dan banyak alumni lainnya yang mengaku justru rindu akan lingkungan seperti itu. Saat kebebasan di kampus kemaren diraih, saya sempat kehilahan arah terutama dalam masalah keagamaan. Maklum juga, pendidikan tinggi sekarang atau lebih tepatnya konten pendidikan sekarang yang banyak impor itu kelewat 'netral', hampir boleh dikatakan ilmu pengetahuan yang tidak bebas nilai itu dikangkangi oleh nilai-nilai sekularisme, dalam variasi takarannya tentunya. Orang yang belajar fisika belum tentu dapat menjadi hamba yang mampu menyingkap kebesaran dan kekuasaaan Allah melalui belajarnya itu. Semakin belajar, justru semakin lupa pada Tuhan. Belum juga serbuan materliasme yang mendoktrin sekolah itu hanya untuk bisa kerja, bukan menuntut ilmu untuk mencari ridla Allah. Singkatnya, seorang penuntut ilmu di manapun tetap perlu arahan, bimbingan dan wejangan dari orang yang lebih 'alim dan sholeh tentunya, dan itu semua agak susah sepertinya di lingkungan kampus kalau bukan atas keinginannya sendiri. Mungkin orang tua mesti lebih dilibatkan untuk hal ini. Jangan sampai anak tercintanya malah kehilangan arah dan tujuan hidup karena masuk dan membaur dalam lingkungan yang salah. Ingat, aset paling berharga kita adalah keimanan, banyak yang pudar bahkan hilang dan tersesatkan kala masuk dunia kampus. Na'udzubillaah tsumma na'uudzubillaahimindzalik.
Masuk ke dalam masjid seketika itu saya langsung merasa berjalan ke masa lalu, di mana uniformalitas menjadi ciri khas. Masing-masing anak dengan baju koko putih, sarungan, kopiah songkok dan Al Quran di tangan duduk bershaf khusyu tadarusan sebelum adzan. Melihat satu per satu wajah yang sarat kisah itu serasa melihat diri sendiri yang pernah hidup dalam lingkungan serupa yang sangat ketat, penuh aturan kedisplinan dan mungkin dalam beberapa kasus mengundang jiwa pemberontakan, hehe. Isi khutbahnya sangat bagus, yaitu tentang pentingnya menjaga diri dari perkataan buruk sesuai anjuran dalam Q.S. Ibrahim ayat 24 dan 25:
"“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.” (QS. Ibrahim 24 dan 25)"
Setelah selesai Jum'atan jama'ah keluar kecuali para santri dan asatidz, pintu masjid pun ditutup. Masih jelas terdengar dari luar suara pengeras suara yang dipegang oleh pembina mereka, ada evaluasi di sana.
Saya semakin tersenyum saja mendengarnya. Bukan apa-apa, mungkin bagi teman-teman santri atau siapa pun yang pernah hidup dalam lingkungan seperti itu saat merasakannya dalam beberapa kesempatan mengalami tekanan bathin ingin segera menyelesaikannya dan mendapatkan kebebasan. Wujud dari tekanan ini bisa jadi pemberontakan pelanggaran aturan atau sekadar menggerutu saat menjalankan tugas. Mengingat perkataan teman saya bahwa menggerutu justru malah merugikan, karena bagaimanapun tugas2 itu tetap saja dilakukan, sementara pahalanya dikhawatirkan malah menghilang. Benar saja, saya juga mengiyakannya terutama sekarang saat sudah menadi alumni.
Tapi bukan itu intinya, melainkan bagaimana sebenarnya saya dan banyak alumni lainnya yang mengaku justru rindu akan lingkungan seperti itu. Saat kebebasan di kampus kemaren diraih, saya sempat kehilahan arah terutama dalam masalah keagamaan. Maklum juga, pendidikan tinggi sekarang atau lebih tepatnya konten pendidikan sekarang yang banyak impor itu kelewat 'netral', hampir boleh dikatakan ilmu pengetahuan yang tidak bebas nilai itu dikangkangi oleh nilai-nilai sekularisme, dalam variasi takarannya tentunya. Orang yang belajar fisika belum tentu dapat menjadi hamba yang mampu menyingkap kebesaran dan kekuasaaan Allah melalui belajarnya itu. Semakin belajar, justru semakin lupa pada Tuhan. Belum juga serbuan materliasme yang mendoktrin sekolah itu hanya untuk bisa kerja, bukan menuntut ilmu untuk mencari ridla Allah. Singkatnya, seorang penuntut ilmu di manapun tetap perlu arahan, bimbingan dan wejangan dari orang yang lebih 'alim dan sholeh tentunya, dan itu semua agak susah sepertinya di lingkungan kampus kalau bukan atas keinginannya sendiri. Mungkin orang tua mesti lebih dilibatkan untuk hal ini. Jangan sampai anak tercintanya malah kehilangan arah dan tujuan hidup karena masuk dan membaur dalam lingkungan yang salah. Ingat, aset paling berharga kita adalah keimanan, banyak yang pudar bahkan hilang dan tersesatkan kala masuk dunia kampus. Na'udzubillaah tsumma na'uudzubillaahimindzalik.