Oleh: Ust. Priyo Djatmiko 07/08/2017
Salah satu persoalan yang sulit diterangkan pada teman-teman berlatar kampus atau kantoran adalah pertanyaan tentang tasawuf dan tarekat. Yang sulit bukan memberikan jawaban yang (saya yakini) benar, tapi bagaimana memahamkannya mengingat gap pemahaman yang jauh. Gap ini muncul bukan saja karena ilmu pengetahuan Islam dalam arti tradisi dan klasik sudah begitu jauh, tapi juga karena cara berpikir modernis yang menguasai akal-akal manusia zaman sekarang, baik diwariskan oleh tradisi keluarga modern (memang bapak ibu kita relijius tapi ini muncul belakangan karena tren kesadaran relijius paska Orde Baru bukan muncul dari warisan tradisi generasi sebelumnya), tradisi pendidikan modern (sedikit banyak sekuler dan positivistik), dan paparan kehidupan modern (media, wacana).
Saya selalu mencoba menjelaskan, istilah tazkiyatun nafs dan tashawuf sama-sama buatan manusia, dan meski tujuannya sama yaitu memperbaiki ihsan atau akhlak lahir dan akhlak batin, keduanya memiliki metode berbeda yang harus dipahami, serta perbedaan ini tidak sesederhana seperti yang dipikirkan para modernis bahwa yang satu lebih murni sementara yang lain sudah tercemar, yang satu rasional dan yang lainnya penuh mistik yang ketinggalan jaman.
Yang saya maksud perbedaan metodis adalah, tazkiyatun nafs mengandaikan akhlak dapat diperbaiki cukup dengan me-naqal (mendikte) teks-teks (quran, hadits, atsar) tentang akhlak dan ruhani, deskripsinya, definisi dan motivasi-motivasinya lalu sang objek silahkan menghadapi dunia luar dengan berbekal pengetahuan atas teks-teks tersebut. Pendekatan ini nyaris sangat murni kognitif dan terlepas dari struktur pemikiran islam tentang wujud. Sementara itu tasawuf menggunakan metode latihan, proses dibantu dengan media guru (tidak hanya teks), serta ada ijtihad-ijtihad baik bersifat metode latihan, perkataan-perkataan berisi pendetilan kondisi-kondisi serta pemikiran tentang hubungan antara perilaku dengan ruh, serta tingkatan-tingkatannya. Bagi saya posisi ijtihad tersebut tak terhindarkan sebagaimana di dunia pendidikan metode dan narasi berkembang, sebagaimana di dunia fiqh ada ijtihad-ijtihad baru. Tentu ada di antara ijtihad tersebut ada yang benar ada yang salah, tapi kita hanya bisa menyeleksinya dengan memasuki dunia ijtihad, menilai kasus per kasus, memberlakuan kriteria-kriteria ilmiah bukan kriteria generalis, yaitu memandang semua yang ada di kotak ijtihad sebagai sesuatu yang salah semuanya.
Jadi mengapa lalu tasawuf dan tarekat dalam sejarah ada, tidak terlepas dari kebutuhan adanya orang-orang yang ingin berproses menjadi baik tersebut, yang lalu disebut dengan murid (muriid "orang yang berkehendak"). Saya memberikan contoh, dalam kehidupan modern kita mengetahui di bidang karir, bisnis, gaya hidup, finansial, akademis, kesehatan, seni, penulisan, ada yang disebut dengan coaching atau mentor. Orang yang ingin mencapai kesempurnaan (master) dalam bidang yang ia geluti disarankan punya personal coaching atau mentor. Sebut saja orang yang ingin menurunkan berat badan. Ia tidak hanya cukup dengan membaca tentang aturan gizi makanan dan modul exercise, dia juga menyewa professional coach, mereka membuat pertemuan rutin, sang coach memberikan set latihan dan petunjuk menu untuk dipatuhi. Petunjuk dari coach ini tidak selalu sama dengan buku, ada yang muncul dari pengalaman pribadi. Yang diambil dari buku pun melalui seleksi dan apropriasi dari coach untuk si trainee. Meskipun bisa, umumnya trainee patuh, dia tidak keukeuh untuk mengubah-ubah petunjuk dari coach dengan kombinasi dari manual lain atau buku lain, misalnya, baik atas alasan kepraktisan, atau alasan dia tidak cukup ilmu.
Analogi tentang petunjuk praktis buatan para exercise coach itu adalah ijtihad dalam bentuk modul susunan dzikir untuk dirutinkan. Secara normatif, syariat menganjurkan bahwa semakin banyak dzikir semakin bagus, semakin dawam semakin bagus, sehingga lalu muncul pertanyaan: rangkaian dzikir seperti apa yang mau dirutinkan oleh murid? Apakah rangkaian dzikir tersebut bersifat universal? Terdapat beberapa teks hadits tentang dzikir untuk dibaca rutin pada waktu tertentu, tapi teks ini tidak banyak, dan yang terpenting adalah teks-teks itu terpisah, bukan satu kesatuan. Di sini tidak terhindarkan ada ruang ijtihad. Sebagian guru membuat rangkaian dzikir untuk diajarkan, sebagian diambilnya dari nash (manqul), sebagian ditambahnya dari tajribah atau teks yang ma'qul redaksinya. Secara umum berdoa/berdzikir dengan teks yang ma'qul diizinkan selama tidak menyelisihi syariat. Menurut saya lucu kalau serta merta fenomena ini ditolak. Apakah kita bisa ngotot misalnya meminta orang berdzikir dengan susunan kita yang kita labeli 100% sesuai Quran dan sunnah, misalnya dengan memberikan teks hishnul muslim? Hishnul muslim sendiri andaikan dari teks yang 100% sahih, susunannya bersifat ijtihadi. Melarang satupun modul susunan dzikir untuk dilazimkan karena khawatir jatuh pada bid'ah lazimiyah pun sesuatu yang ijtihadi, selain itu agak musykil dalam konteks kita mau mentarbiyah murid. Jadi ijtihad latihan dalam dunia tarbiyah nafs itu sesuatu yang niscaya.
Jika untuk bidang duniawi seperti itu kita mau membuat komitmen mengikuti petunjuk manusia, dan kita tahu petunjuk-petunjuk itu bervariasi dan pilihan tapi kita tunduk pada petunjuk dari sang coach, kenapa kita tidak bisa setidaknya memiliki "intellectual empathy" untuk memahami adanya realita tersebut jika tidak mau mengikuti? Hal ini tidak sulit sebetulnya jika kita belajar dalam posisi obyektif dan tidak melihat dengan kacamata antipati terlebih dahulu. Ketiadaan intellectual empathy sebetulnya penyakit modernisme atas tradisi dan ini secara tidak sadar diadopsi di dunia islam memang.
Tentu saja sama dengan dunia profesional tersebut, ada coach-coach gadungan, ada motivator-motivator inkompeten dan bahkan dari sekian yang bagus tidak semuanya cocok dengan kita sebagai trainee, baik itu kecocokan kesetujuan pandangan atau kecocokan teknis dan konteks, sehingga kita bisa memilih mana yang kita anggap pas, atau tidak memilih karena belum ketemu yang pas, atau simpel tidak memilih karena kita ingin berproses secara independen (otodidak).
Sebetulnya semua itu oleh Imam Ibn Taimiyah dengan jenius sudah diringkas di risalah "Al Adab wat Tashawwuf, bab Ilm as Suluk":
"Was shawab, annahum mujtahiduuna fii thaa'atillah, fa fiihim as saabiqal muqarrab bi hasbi itihadihi wa fihim al muqtashid aladzi huwa min ahlil yamiini. Wa fi kullin min as-shanfani man qad yajtahidu fa yukhthi', wa fiihim man yudznibu fa yatuubu aw laa yatuubu, wa minal muntasibiina ilayhim man huwa dzhalimun li nafsihi 'aashin li rabbihi"
[yang benar, mereka adalah kelompok yang berijtihad dalam upaya taat pada Allah sebagaimana kelompok selain mereka juga berijtihad dalam upaya taat pada Allah, maka di antara mereka ada kelompok terdepan yang didekatkan pada Allah sesuai hasil ijthadnya, dan di antara mereka ada kelomok pertengahan yang mereka ini termasuk 'kelompok kanan' (istilah qurani untuk menyebut ahli kebaikan). Dan di setiap kedua kelompok tadi, ada yang berijtihad lalu salah, ada yang berdosa lalu bertobat, ada pula yang tak bertobat atas dosanya. Dan ada juga yang termasuk mengafiliasikan diri pada mereka orang-orang yang zalim pada dirinya sendiri dengan bermaksiat pada Allah].
------------------
NB. Di atas saya menyinggung ijtihad berupa perkataan-perkataan deskriptif dan naratif tentang wujud dan ruh itu niscaya ada, itu saya yakini. Aqidah islam kita memahami akhlak itu bukan sekadar perilaku luar (behavior, act), bukan pula ekspresi dalam-dangkal (emosi, feeling), bukan pula sekedar pengetahuan teks (kognitif, intelektual). Kita memiliki aqidah, akhlak/behavior itu terkait dan manifestasi dari kondisi-kondisi hati, ruh, dan ruh itu wujud yang ghaib. Kita meyakini di bidang ini, guru yang kompeten mau tidak mau haruslah ia yang kompeten hatinya, ruhaninya bukan sekedar kompeten kognisinya, atau penguasaannya atas teks. Tak terhindarkan, memilih guru ruhani kita akan memberlakukan kriteria subjetif (ithmi'nan-nya hati kita terhadapnya) selain kriteria obyektif (iltizam yang bersangkutan pada syariat).
Dalam prosesnya, pengalaman-pengalaman dan penghayatan-penghayatan ruhani ketika diajarkan, dalam sebagian kondisi diceritakan dalam bentuk perkataan (atau tulisan), tidak selalu bahasa itu dapat mewakili yang ingin disampaikan sehingga terkadang disalahpahami (ditolak karena dianggap sesat, atau dipraktekkan secara salah sehingga menghasilkan kesesatan). Yang pertengahan, adil dan inshaf menurut saya adalah kita memiliki kadar husnuzhan (dibawa ke sangkaan yang baik daripada sangkaan yang buruk), tabayun (klarifikasi), tatsabbut (verifikasi) yang lebih banyak dalam membaca perkataan-perkataan/ekspresi-ekspresi terkait hal itu, di samping tetap menimbang semua itu dengan timbangan syariat dan hikmah. Pada akhirnya, kelompok yang ber-tasawuf dan yang tidak, semuanya ijtihad dalam upaya mentaati Allah. Semuanya punya risiko untuk, dan ditimbang dengan timbangan yang sama, atas kriteria: kesesuaian dengan kebenaran, tidak adanya ghurur atau fanatik kelompok, efektivitas memperbaiki murid dan pelayanannya pada umat secara luas.
Salah satu persoalan yang sulit diterangkan pada teman-teman berlatar kampus atau kantoran adalah pertanyaan tentang tasawuf dan tarekat. Yang sulit bukan memberikan jawaban yang (saya yakini) benar, tapi bagaimana memahamkannya mengingat gap pemahaman yang jauh. Gap ini muncul bukan saja karena ilmu pengetahuan Islam dalam arti tradisi dan klasik sudah begitu jauh, tapi juga karena cara berpikir modernis yang menguasai akal-akal manusia zaman sekarang, baik diwariskan oleh tradisi keluarga modern (memang bapak ibu kita relijius tapi ini muncul belakangan karena tren kesadaran relijius paska Orde Baru bukan muncul dari warisan tradisi generasi sebelumnya), tradisi pendidikan modern (sedikit banyak sekuler dan positivistik), dan paparan kehidupan modern (media, wacana).
Bagaimana menjembatani perbedaan latar belakang tersebut?
Saya selalu mencoba menjelaskan, istilah tazkiyatun nafs dan tashawuf sama-sama buatan manusia, dan meski tujuannya sama yaitu memperbaiki ihsan atau akhlak lahir dan akhlak batin, keduanya memiliki metode berbeda yang harus dipahami, serta perbedaan ini tidak sesederhana seperti yang dipikirkan para modernis bahwa yang satu lebih murni sementara yang lain sudah tercemar, yang satu rasional dan yang lainnya penuh mistik yang ketinggalan jaman.
Yang saya maksud perbedaan metodis adalah, tazkiyatun nafs mengandaikan akhlak dapat diperbaiki cukup dengan me-naqal (mendikte) teks-teks (quran, hadits, atsar) tentang akhlak dan ruhani, deskripsinya, definisi dan motivasi-motivasinya lalu sang objek silahkan menghadapi dunia luar dengan berbekal pengetahuan atas teks-teks tersebut. Pendekatan ini nyaris sangat murni kognitif dan terlepas dari struktur pemikiran islam tentang wujud. Sementara itu tasawuf menggunakan metode latihan, proses dibantu dengan media guru (tidak hanya teks), serta ada ijtihad-ijtihad baik bersifat metode latihan, perkataan-perkataan berisi pendetilan kondisi-kondisi serta pemikiran tentang hubungan antara perilaku dengan ruh, serta tingkatan-tingkatannya. Bagi saya posisi ijtihad tersebut tak terhindarkan sebagaimana di dunia pendidikan metode dan narasi berkembang, sebagaimana di dunia fiqh ada ijtihad-ijtihad baru. Tentu ada di antara ijtihad tersebut ada yang benar ada yang salah, tapi kita hanya bisa menyeleksinya dengan memasuki dunia ijtihad, menilai kasus per kasus, memberlakuan kriteria-kriteria ilmiah bukan kriteria generalis, yaitu memandang semua yang ada di kotak ijtihad sebagai sesuatu yang salah semuanya.
Jadi mengapa lalu tasawuf dan tarekat dalam sejarah ada, tidak terlepas dari kebutuhan adanya orang-orang yang ingin berproses menjadi baik tersebut, yang lalu disebut dengan murid (muriid "orang yang berkehendak"). Saya memberikan contoh, dalam kehidupan modern kita mengetahui di bidang karir, bisnis, gaya hidup, finansial, akademis, kesehatan, seni, penulisan, ada yang disebut dengan coaching atau mentor. Orang yang ingin mencapai kesempurnaan (master) dalam bidang yang ia geluti disarankan punya personal coaching atau mentor. Sebut saja orang yang ingin menurunkan berat badan. Ia tidak hanya cukup dengan membaca tentang aturan gizi makanan dan modul exercise, dia juga menyewa professional coach, mereka membuat pertemuan rutin, sang coach memberikan set latihan dan petunjuk menu untuk dipatuhi. Petunjuk dari coach ini tidak selalu sama dengan buku, ada yang muncul dari pengalaman pribadi. Yang diambil dari buku pun melalui seleksi dan apropriasi dari coach untuk si trainee. Meskipun bisa, umumnya trainee patuh, dia tidak keukeuh untuk mengubah-ubah petunjuk dari coach dengan kombinasi dari manual lain atau buku lain, misalnya, baik atas alasan kepraktisan, atau alasan dia tidak cukup ilmu.
Analogi tentang petunjuk praktis buatan para exercise coach itu adalah ijtihad dalam bentuk modul susunan dzikir untuk dirutinkan. Secara normatif, syariat menganjurkan bahwa semakin banyak dzikir semakin bagus, semakin dawam semakin bagus, sehingga lalu muncul pertanyaan: rangkaian dzikir seperti apa yang mau dirutinkan oleh murid? Apakah rangkaian dzikir tersebut bersifat universal? Terdapat beberapa teks hadits tentang dzikir untuk dibaca rutin pada waktu tertentu, tapi teks ini tidak banyak, dan yang terpenting adalah teks-teks itu terpisah, bukan satu kesatuan. Di sini tidak terhindarkan ada ruang ijtihad. Sebagian guru membuat rangkaian dzikir untuk diajarkan, sebagian diambilnya dari nash (manqul), sebagian ditambahnya dari tajribah atau teks yang ma'qul redaksinya. Secara umum berdoa/berdzikir dengan teks yang ma'qul diizinkan selama tidak menyelisihi syariat. Menurut saya lucu kalau serta merta fenomena ini ditolak. Apakah kita bisa ngotot misalnya meminta orang berdzikir dengan susunan kita yang kita labeli 100% sesuai Quran dan sunnah, misalnya dengan memberikan teks hishnul muslim? Hishnul muslim sendiri andaikan dari teks yang 100% sahih, susunannya bersifat ijtihadi. Melarang satupun modul susunan dzikir untuk dilazimkan karena khawatir jatuh pada bid'ah lazimiyah pun sesuatu yang ijtihadi, selain itu agak musykil dalam konteks kita mau mentarbiyah murid. Jadi ijtihad latihan dalam dunia tarbiyah nafs itu sesuatu yang niscaya.
Jika untuk bidang duniawi seperti itu kita mau membuat komitmen mengikuti petunjuk manusia, dan kita tahu petunjuk-petunjuk itu bervariasi dan pilihan tapi kita tunduk pada petunjuk dari sang coach, kenapa kita tidak bisa setidaknya memiliki "intellectual empathy" untuk memahami adanya realita tersebut jika tidak mau mengikuti? Hal ini tidak sulit sebetulnya jika kita belajar dalam posisi obyektif dan tidak melihat dengan kacamata antipati terlebih dahulu. Ketiadaan intellectual empathy sebetulnya penyakit modernisme atas tradisi dan ini secara tidak sadar diadopsi di dunia islam memang.
Tentu saja sama dengan dunia profesional tersebut, ada coach-coach gadungan, ada motivator-motivator inkompeten dan bahkan dari sekian yang bagus tidak semuanya cocok dengan kita sebagai trainee, baik itu kecocokan kesetujuan pandangan atau kecocokan teknis dan konteks, sehingga kita bisa memilih mana yang kita anggap pas, atau tidak memilih karena belum ketemu yang pas, atau simpel tidak memilih karena kita ingin berproses secara independen (otodidak).
Sebetulnya semua itu oleh Imam Ibn Taimiyah dengan jenius sudah diringkas di risalah "Al Adab wat Tashawwuf, bab Ilm as Suluk":
"Was shawab, annahum mujtahiduuna fii thaa'atillah, fa fiihim as saabiqal muqarrab bi hasbi itihadihi wa fihim al muqtashid aladzi huwa min ahlil yamiini. Wa fi kullin min as-shanfani man qad yajtahidu fa yukhthi', wa fiihim man yudznibu fa yatuubu aw laa yatuubu, wa minal muntasibiina ilayhim man huwa dzhalimun li nafsihi 'aashin li rabbihi"
[yang benar, mereka adalah kelompok yang berijtihad dalam upaya taat pada Allah sebagaimana kelompok selain mereka juga berijtihad dalam upaya taat pada Allah, maka di antara mereka ada kelompok terdepan yang didekatkan pada Allah sesuai hasil ijthadnya, dan di antara mereka ada kelomok pertengahan yang mereka ini termasuk 'kelompok kanan' (istilah qurani untuk menyebut ahli kebaikan). Dan di setiap kedua kelompok tadi, ada yang berijtihad lalu salah, ada yang berdosa lalu bertobat, ada pula yang tak bertobat atas dosanya. Dan ada juga yang termasuk mengafiliasikan diri pada mereka orang-orang yang zalim pada dirinya sendiri dengan bermaksiat pada Allah].
------------------
NB. Di atas saya menyinggung ijtihad berupa perkataan-perkataan deskriptif dan naratif tentang wujud dan ruh itu niscaya ada, itu saya yakini. Aqidah islam kita memahami akhlak itu bukan sekadar perilaku luar (behavior, act), bukan pula ekspresi dalam-dangkal (emosi, feeling), bukan pula sekedar pengetahuan teks (kognitif, intelektual). Kita memiliki aqidah, akhlak/behavior itu terkait dan manifestasi dari kondisi-kondisi hati, ruh, dan ruh itu wujud yang ghaib. Kita meyakini di bidang ini, guru yang kompeten mau tidak mau haruslah ia yang kompeten hatinya, ruhaninya bukan sekedar kompeten kognisinya, atau penguasaannya atas teks. Tak terhindarkan, memilih guru ruhani kita akan memberlakukan kriteria subjetif (ithmi'nan-nya hati kita terhadapnya) selain kriteria obyektif (iltizam yang bersangkutan pada syariat).
Dalam prosesnya, pengalaman-pengalaman dan penghayatan-penghayatan ruhani ketika diajarkan, dalam sebagian kondisi diceritakan dalam bentuk perkataan (atau tulisan), tidak selalu bahasa itu dapat mewakili yang ingin disampaikan sehingga terkadang disalahpahami (ditolak karena dianggap sesat, atau dipraktekkan secara salah sehingga menghasilkan kesesatan). Yang pertengahan, adil dan inshaf menurut saya adalah kita memiliki kadar husnuzhan (dibawa ke sangkaan yang baik daripada sangkaan yang buruk), tabayun (klarifikasi), tatsabbut (verifikasi) yang lebih banyak dalam membaca perkataan-perkataan/ekspresi-ekspresi terkait hal itu, di samping tetap menimbang semua itu dengan timbangan syariat dan hikmah. Pada akhirnya, kelompok yang ber-tasawuf dan yang tidak, semuanya ijtihad dalam upaya mentaati Allah. Semuanya punya risiko untuk, dan ditimbang dengan timbangan yang sama, atas kriteria: kesesuaian dengan kebenaran, tidak adanya ghurur atau fanatik kelompok, efektivitas memperbaiki murid dan pelayanannya pada umat secara luas.