Oleh Khoerullana
Terlepas dari formal tidaknya seorang warga negara Indonesia dalam menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, adalah karena adanya kebutuhan primer yang harus dijaga dan dilestarikan. Sebab ada keuntungan yang didapat bagi warga negara yang menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, ada nilai tambah yang tidak didapat masyarakat yang tak acuh dengan bahasa Indonesia.
Orang-orang dalam perusahaan yang biasanya orang-orang berpendidikan akan lebih menghargai masyarakat yang giat menggunakan bahasa Indonesia yang sesuai kaidah-kaidah EYD (Ejaan Yang Disempurnakan) . Mereka akan menyebutnya orang indonesia sejati (pure Indonesian). Kesannya pun akan berbeda dengan masyarakat yang menggunakan bahasa Indonesia secara acak-acakkan. Ada kesan tidak terpelajar! Logikanya orang yang salah menggunakan bahasa Indonesia disebabkan karena ketidaktahuan mereka, sementara orang yang berbehasa Indonesia dengan rapih, tersusun, dan tertib, karena mereka tahu. Jelas disinilah masyarakat Indonesia diuji, berapa perbandingan masyarakat terpelajar dengan yang tidak terpelajar? Lebih spesifik lagi, berapa perbandingan kaum terpelajar yang peduli dengan bahasa Indonesia dengan kaum terpelajar yang cuek dengan bahasa resminya sendiri?
Mari kita sebut sebagai pahlawan masyarakat yang benar-benar peduli dengan bahasanya sendiri. Bukan untuk maksud tidak jelas, justru mereka perlu dihargai agar mereka terus mengkomunikasikan bahasa Indonesia yang sebenarnya. Pahlawan-pahlawan bahasa Indonesia itu tidak segan-segan mengoreksi kata-kata yang keluar dari orang-orang di lingkungan sekitarnya kalau memang yang keluar adalah kata-kata yang salah. Siapapun itu yang mengatakannya, kalau salah ya perlu diperbaiki.
Bagaimana dengan para guru? Inilah bagian penting yang cukup disayangkan. Selama dia masih menjadi guru, tentunya dia sadar bahwa apa yang diucapkan dan dilakukannya sering ditiru oleh para siswanya, parahnya ucapan-ucapan yang salah menurut kaidah-kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar sering membekas di kepala para pelajar. Misalnya saja kata jadwal, masih saja ada yang meyakini bahwa kata jadual adalah kata baku dari jadwal. Itu terjadi sampai siswa itu menjadi guru. Sangat disesalkan bukan? Hanya karena salah membaca daftar kata baku dan kata tidak baku, dia harus menyebarkan kesalahan yang ia tidak sadari itu! Disinilah peran pelajar untuk aktif dalam mencari kebenaran ilmu-ilmu yang mereka pelajari di sekolah. Belajar otodidak adalah solusinya!
Adanya solusi-solusi praktis itu relatif adanya, tiap orang punya seninya sendiri, sehingga jika penulis merasa aman dengan hanya memperhatikan kolom kata baku saja tanpa harus menengok ke kolom kata tidak baku maka yang lain belum tentu menguasai dengan cara seperti itu.
Maraknay pembelajaran secara otodidak dipicu akan adanya sesuatu hal penting yang tidak didapat di sekolah, misalnya saja praktikum yang minim atau tidak mendetailnya suatu pelajaran yang para siswa sukai. Sebab bagaimanapun juga, sekolah terikat pada silabus dan materi-materi yang harus dipelajari, sehingga guru tidak punya cukup waktu untuk menjelaskan secara detail. Disinilah peran guru dalam mengolah materi pelajarannya secara kreatif, efektif, dan efisien. Memang sulit menemukan guru semcam itu, tetapi tiap sekolah pasti memilki guru yang masih menunjukkan geliatnya dalam usaha mencerdaskan anak. Biasanya pengorbanan mereka akan tampak, siswa pun cukup pandai dalam menilai mana guru yang oke atau modern dan mana guru yng kuno, ini bisa dilihat dari cara guru mengajar, apakah ia terpaku pada teks seperti dulu waktu si guru itu masih belajar atau sudah memakai laptop tiap kali pertemuan. Semua itu tergambar dengan jelas, jauh sekali perbedaannya!
Namun hal yang lebih menentukan adalah dari keseriusan guru itu sendiri dalam mengajarkan ilmunya. Karena apapun media pembelajarannya, jika gurunya sungguh-sungguh dan ingin mencerdasakan anak didiknya secara serius, maka keberhasilan dijamin akan ada ditangan. Kalau pun ada kegagalan, itu hanyalah batu sandungan kecil yang bisa dimasukkan ke dalam kantong “Proses menuju Sukses!”
Kalau begitu, bahasa Indonesia pun akan dapat bersinar lagi, kalau saja perbandingan antara pahlawan + guru dengan masyarakat awam + masyarakat yang cuek lebih berat pahlawan + guru dibandingkan masyarakat awam + masyarakat yang cuek. Hanya kalau sudah begini kondisinya, dimana bahasa Indonesia hanya sebagai bahasa saja, tanpa ada esensi lainnya. Tugas kita bersamalah selaku warga negara Indonesia, kita mulai dari yang terkecil sajalah dahulu, misalnya saja kita sudah mulai menggunakan kata baku sedikit demi sedikit secara konsisten dan terus merangkak ke arah yang lebih besar. Dan perubahan pun akan tampak dengan jelas. Itu perlu dibiasakan! Kebiasaan yang mantap akan meringankan beban. Ya, sudah tidak dianggap batu lagi kalau sudah terbiasa, bukan begitu?
Jika masalahnya seperti tadi, belajar sendiri saja! Buku Praktis Bahasa Indonesia 1 dan 2 yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa Depdiknas atau buku lainnya yang bisa dipakai sebagai referensi atau buku panduan dalam mempelajari bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Dan seharusnya mereka terkejut melihat buku bahasa Indonesia di perpustakaan sekolah masih bersih seperti bayi yang baru lahir. Memang kenyataannya fakultas bahasa Indonesia tidak kehilangan para peminat, tetapi mereka kurang memahami apa yang seharusnya dilakukan sebagai guru bahasa Indonesia melihat derajat bahasa Indonesia di bawah pelajaran eksak atau di bawah pelajaran-pelajaran yang di-UN-kan.
Sebagai siswa eksak, bahasa Indonesia terkesan seperti makanan ringan dibandingkan pelajaran lain yang di-UN-kan, hal ini terbukti saat UN digelar, mereka akan mengakhirkan atau memberi jatah sisa pada pelajaran bahasa Indonesia. Mereka lebih mengutamakan memberi porsi lebih pada pelajaran lain.
Wajar saja itu terjadi karena dari segi materi bahasa Indonesia berisi bacaan-bacaan yang tersusun dari huruf-huruf. Sementara pelajaran eksak tersusun dari rumus-rumus dan angka-angka yang kebanyakan harus dibiasakan dengan otretan.
Bukan bermaksud memburukkan bahasa Indonesia ataupun guru bahasa Indonesia, karena kalau berpikiran buruk, maka keburukanlah yang dihasilkan.
Ditelisik lebih jauh, bahasa indonesia seharusnya menjadi bahasa Internasional, bukan tidak mungkin itu terjadi. Karena tidak sedikit orang barat yang belajar bahasa Indonesia kalau pembaca tahu. Dan seharusnya itu bisa dijadikan sinyal menuju impian itu! Penulis yakin pembaca tidak percaya kalau bahasa Indonesia bisa dijadikan bahasa Internasional, minimal di Asia tenggara! Dan ketidakyakinan itulah yang menyebabkan bahasa Indonesia diam di tempat eh jalan di tempat.
Padahal, di luar negeri sana ada produk-produk bahasa Indonesia yang cukup berpengaruh dan tentunya cukup dikenal di dunia literasi dunia. Sebut saja novel-novel Pramoedya Ananta Tour yang sudah ditranslit ke beberapa bahasa asing, atau puisi-puisinya Ajip Rosidi yang juga sudah go internasional! Dan karya pengarang-pengarang lainnya yang tidak kalah luar biasa.
Ironi memang kalau melihat produk sastra indonesia di tanah airnya sendiri tidak cukup digemari, alasannya klasik : budaya baca yang rendah! Mereka lebih suka melihat pertunjukan teater tau film dari suatu novel daripada membaca langsung novelnya itu sendiri. Disini jelas bahasa Indonesia tidak cukup cerdas mengelola dunia literasi mereka sendiri. Penyebab lainnya yang bisa dijadikan tekanan mengapa konsumen buku di Indonesia belum mencapai klimaks adalah harga buku yang relatif mahal dan tidak cocok di saku-saku kaum miskin. Kalau pun ada yang murah, isi dan kualitasnya tidak best seller-best seller amat!
Kekayaan produk-produk bahasa Indonesia tidak bisa di ukur dengan apapun, karena itu sudah menjadi darah daging warga Indonesia dan menjadi ikon tersendiri di mata masyarakat dunia tentang Indonesia. Kesusastraan Indonesia yang berawal dari kebudayaan melayu dengan pengaruh-pengaruhnya dari kebudayaan asing melahirkan kebudayaan Indonesia yang unik dan tak ada duanya. Salah satu bentuk kebudayaan itu adalah kesusastraan.
Dari buku praktik bahasa Indonesia menyebutkan bahwa ada 3 aspek yang harus ada dalam karya sastra, yaitu keindahan, kejujuran, dan kebenaran. Jika ada karya sastra yang mengorbankan salah satu aspek ini, misalnya karena alasan komersial, maka sastra itu kurang baik.
Menganalisis kondisi sekarang, buku-buku sastra dijual dan dicetak-ulang dengan faktor utama karena keuntungan fiansial, maka jangan heran kalau pembaca menemukan novel Siti Nurbaya dengan kover yang lebih remaja. Selain bertujuan menarik minat para remaja untuk membaca karya sastra bermutu, tujuan lain agar orderan buku bisa kembali berkibar lewat karya satrawan-satrawan Indoensia kelas atas dengan tampilan anyar. Kalau yang seperti itu, tujuan utamanya kurang baik.
Masalahnya, masyarakat sering merasa dibodohi ketika isi buku yang telah dibelinya tidak sesuai harapan, alias garing. Karenanya masyarakat perlu tahu karya sastra yang bagaimana yang perlu dibeli. Dalam memilih karya sastra sebagai bahan bacaan, tentu kita harus selalu mengupayakan yang terbaik. Untuk itu, kita perlu mengetahui setidaknya tiga macam norma atau nilai yang menjadi cirinya, yaitu norma estetika, sastra, dan moral.
Norma Estetika
Pertama, karya itu mampu menghidupkan atau memperbarui pengetahuan pembaca, menuntunya melihat berbagai kenyataan kehidupan, dan memberikan orientasi baru terhadap apa yang dimiliki. Kedua, karya sastra itu mampu membangkitkan aspirasi pembaca untuk berpikir dan berbuat lebih banyak dan lebih baik bagi penyempurnaan kehidupannya. Ketiga, karya sastra itu mampu memperlihatkan peristiwa kebudayaan, sosial, keagamaan, atau politik masa lalu dalam kaitannya dengan peristiwa masa kini dan masa datang. Itulah sebabnya pengalaman (batin) yang diperoleh pembaca dari karya sastra yang dibacanya disebut pengalaman estetik.
Norma Sastra
Pertama, karya itu merefleksi kebenaran kehidupan manusia. Artinya, karya itu membekali pembaca dengan pengetahuan dan apresiasi yang mendalam tentang hakikat manusia dan kemanusiaan serta memperkaya wawasannya mengenai arti hidup dan kehidupan ini. Kedua, karya itu mempunyai daya hidup yang tinggi, yang senantiasa menarik bila dibaca kapan saja. Ketiga, karya itu menyuguhkan kenikmatan, kesenangan, dan keindahan karena strukturnya yang tersusun apik dan selaras.
Norma Moral
Kaya sastra disebut memilki norma moral apabila menyajikan, mendukung, dan menghargai nilai-nilai kehidupan yang berlaku. Nilai-keagamaan yang disajikan, misalnya, harus mampu memperkukuh kepercayaan pembaca terhadap agama yang dianutnya.
Berikut nilai-nilai (intisari) kehidupan yang terkandung dalam beberapa karya sastra:
Marah Rusli : “Memang kurang baik membuang yang lama karena mendapat yang baru. Tetapi ada di antara adat dan aturan lama itu, yang sesungguhnya baik pada zaman dahulu, tetapi kurang baik atau tak berguna lagi waktu sekarang ini. Adalah halnya seperti pakaian tatkala mula-mula dibeli, boleh dan baik dipakai, tetapi makin lama ia makin tua dan lapuk; akhirnya koyak-koyak, tak dapat dipergunakan lagi…. Demikian juga adat itu, bertukar-tukar menurut zaman. Walaupun tiada disengaja menukarnya, ia kan berganti juga; sebab tak ada yang tetap. Sekali air pasang, sekali tepian beralih….” (Siti Nurbaya, Bab XII)
Iwan Simatupang: ”Pada setiap bunuh diri terdapat dua kali ’korban’ dan dua kali perkataan ’terdakwa’. Si korban sekaligus membalas pembunuhan atas dirinya pada saat itu juga, dimana dia jadinya bertindak sebagai pembunuh. Tegasnya, sebagai sang terdakwa baru. Sedang si terdakwa sekaligus mengalami pembunuhan atas dirinya pada saat itu juga. Tegasnya, sang korban baru.” (Ziarah)
Nugroho Notosusanto: ”Di dalam hantaman-hantaman nasib dan dalam gelombang kebinatangan, inti daripada pribadi kemanusiaan bertunas, berkembang. Mengatasi pikiran, mengatasi egoisme, mengatasi moral. Berkorban adalah sifat manusia yang sangat membedakannya daripada hewan.” (Hujan Kepagian)
Demikianlah kesusastraan sebagai salah satu produk bahasa Indonesia. Nilai-nilai yang terkandung di dalam karya sastra, tak akan lepas dari filosofi-filosofi dan pengalaman para sastrawan. Begitu indahnya dunia, begitu tentramnya jiwa atau kemelut yang terkandung dalam hidup akan adanya pemikiran sastrawan yang seringkali menjadi tulisan. Kini tugas kitalah meneruskan apa yang mereka cita-citakan, menjunjung nilai-nilai moral dan memaparkan keonaran demi keonaran yang terjadi di masyarakat agar mereka bisa berkaca dan ikut berpikir serta mencari solusinya.
Akhirnya, satu kata mutiara yang penulis cantumkan disini hanya untuk memberi suatu kekuatan untuk terus berkarya yang dalam hal ini tentang menulis sebagai salah satu keahlian dari pelajaran bahasa indonesia.
Jika ada buku yang ingin kau baca, tapi buku itubelum ditulis, maka kaulahyang harus menulisnya.
-Toni Morison