Oleh Khoerullana
Saban minggu ibu-ibu Rumah Tangga itu keluar menuju masjid Jami’ di desanya, kerudungnya yang anggun bervariasi warna menambah elok penampilan mereka pagi ini. Tua-muda sama saja terkesan berwibawa. Mereka adalah jamaah masjid Ta’lim yang rutin mengikuti ceramah-ceramah keagamaan. Atau setiap jumat siang, mereka berkumpul untuk shalawatan yang sering popular dengan sebutan barjanji.Contoh lain, pemuda-pemuda lajang yang tergabung dalam IRMAS (Ikatan Remaja Masjid) aktif membantu pengadaan kegiatan-kegiatan keagamaan dan membantu pembangunan bangunan-bangunan agamis maupun sosialis. Tidak hanya itu, anak-anak yang setiap sore pergi mengaji di TPA (Tempat Pendidikan Anak-Anak) menambah syahdu keindahan budaya muslim ditengah-tengah kegersangan masyarakat. Walaupun demikian, tidak sedikit masyarakat yang benar-benar tidak punya identitas keislamannya (lenyapnya identitas jati diri ) alias tidak mengacuhkan budaya Islam. Setiap adzan mengalun merdu, mereka merasa terusik. TV selalu menyala dari Maghrib sampai larut malam. Anak-anak mereka tidak jauh berbeda dengan induknya. Emosi tak terkendali, kemiskinan menghantui para penganggur berpendidikan. Lantas apa yang bisa diharapkan dari hidup ? Ketika keegoisan menghalangi manusia bersilaturrahmi beberapa saat untuk mengisi kekosongan ruhaninya. Pertahanan iman mereka lemah saat masalah menghambat dan menerkam. Dengan mudahnya angin sepoi menghempaskan mereka ke jurang. Dan mati dalam keadaan cinta dunia yang berlebihan. Naudzubillah….
Tidak salah jika Eckhart Tolle, seorang guru spiritual mengatakan, “ Persoalan umat manusia berakar kuat di dalam pikiran itu sendiri. Atau bahkan, kesalahan identifikasi kita dengan pikiran.” Maksudnya setiap permasalahan yang menghinggapi seseorang terjadi karena belenggu-belenggu pikirannya sendiri, pikirannya bukan miliknya yang alami, melainkan pikiran yang sudah terkontaminasi dengan ambisi, ego, harapan, dan keinginan yang mengarah pada hal duniawi, kebendaan, materialistik, permisivisme (serba boleh), dan hedonisme. Begitulah kira-kira kesimpulan yang penulis dapatkan dari bukunya Eckhart Tolle yaitu,” Membaca Pikiran Mendulang Kekuatan Spiritual.”
Eckhart Tolle baru menemukannya di abad ke-21, padahal Allah sudah memberitahukan hal itu jauh-jauh hari lalu di dalam Al-Qur’an-Nya Yang Maha Benar. Allah memberitahukan bahwa keadaan manusia itu bergantung dari apa yang dipikirkannya. Manusia akan terus saja dibelenggu dalam ketidak-percayadirian-nya dan ketidak-berdayaan-nya menghadapi persaingan apabila dia masih memiliki anggapan lemah tentang dirinya.
Kelemahan mental yang menimpa sebagian besar masyarakat muslim cenderung menganggap dirinya tak berharga. Menyebabkan tidak berkembangnya potensi yang mereka miliki. Mereka gampang puas dengan keberhasilan jangka pendek dan merasa tidak yakin dengan jangka panjang. Namun yang lebih parah dari kelemahan mental dan matinya potensi adalah hati yank keras dan kasar. Kalau sudah begitu, peristiwa kematian tidak memberi pengaruh apapun, lebih cinta pada kesenangan duniawi dan lebih senang menunda kebaikan daripada melakukan kreativitas apapun untuk meningkatkan kualitas ibadah.
Ketiga permasalahn umat yang bersifat personal tadi saling berkaitan satu sama lain, tidak terjual terpisah. Bisa disimpulkan kalau masyarakat sekarang mengalami kondisi sakit jiwa parah. Perlu dicari obatnya segera.
Menurut WHO (World Health Organization), jiwa seseorang dikatakan sehat jika memiliki ciri sebagai berikut, yaitu : Bersikap positif pada diri sendiri dan dapat menyesuaikan diri secara baik dengan lingkungannya; Lebih puas mendapatkan sesuatu melalui proses perjuangan daripada instant; Lebih puas memberi daripada menerima serta hubungan yang saling menolong; Menerima kekecewaan untuk pelajaran yang akan datang; dan memiliki kasih sayang yang mengarahkan rasa permusuhan pada penyelesaian yang kreatif.
Seharusnya kita patut bersyukur karena Islam memiliki obat yang mujarab. Ada 2 paket yang perlu kita tempuh untuk menyembuhkan hati yang sakit, paket pertama yang berhubungan dengan kepekaan jiwa, berisi 3 kapsul, yaitu: Waspada pada pengawasan Allah; Mengingat kematian dan kehidupan sesudahnya dan; Membayangkan hari akhirat. Paket kedua terdiri dari 6 kapsul yaitu: Memperbanyak membaca Al-Qur’an dan mentadaburinya; Dzikrullah dengan hati, lisan, pikiran, dan perbuatan yang pasti akan mendapatkan jaminan ketenangan batin; Berperilaku sesuai dengan akhlak Rasulullah SAW agar mendapatkan kemuliaan di dunia dan akhirat; dan bergaul atau berteman dengan orang-orang sholeh; serta membiasakan diri dengan menangis karena takut akan azab Allah.
Satu kapsul yang akan penulis paparkan yaitu berteman dengan orang-orang shalih. Bagaimanapun keadaannya, seorang sahabat akan sangat berarti untuk selalu memberikan nasihat atau masukan yang membangun atau setidaknya men-support dan memberikan semangat saat jiwa benar-benar butuh itu. Jiwa kembali terisi energi positif dan menghindari kekosongan ruh yang berdampak negatif.kekuatan untuk menerjang segala rintangan dari syaitan bisa kita dapatkan dari ukhuwah ( ikatan persaudaraan) islamiyah.
Organisasi yang patut dijadikan contoh adalah organisasi yang dipimpin oleh Muhammmad bin Abdullah. Organisasinya yang bertujuan menegakkan kalimat Laa ilaha Ilallah itu berjuang mati-matian. Titik darah penghabisan bukanlah slogan semata, melainkan sebagai alat untuk membayar kemenangan hakiki dari Allah. Tidakkah kita berpikir, bahwa untuk mendapatkan ke-Ridha-an Allah tidak cukup hanya dengan puas berdzikir tiap pagi dan sore. Perjuangan yang panjang disertai pengorbanan yang tidak sedikit, bahkan nyawa pun harus rela dikorbankan. Selama 23 tahun Rasulullah menempuh perjalanan hidupnya hanya untuk tujuan mulia itu. Dia rela melepaskan napsu-napsu keduniawiannya yang tidak berharga. Dia rela disakiti kaum kafir, dilecehkan, dihina, hingga kaum kafir itu ingin membunuhnya. Sungguh meleset yang didapat kaum kafir itu, Rasulullah tetap menjalani hari-harinya dengan sabar dan penuh senyum keikhlasan. Baginya hal semacam itu bukan untuk ditakuti, melainkan harus ditebas dengan akhlak mulia. Bukankah Rasulallah diutus untuk menyempurnkan akhlak yang baik ?
Itu saja tidak akan cukup, lebih sempurna hati ini merasakan kenikmatan akhlak Rasulullah jika kita membaca Sirah Nabawi-nya. Ukhuwah yang dia ciptakan memberikan hasil yang membahagiakan. Hingga beberapa sahabatnya berpetualang dari satu negeri ke negeri lainnya hanya untuk bertemu Rasulullah dan meyakinkan hatinya bahwa itu benar-benar Rasulullah, Sang Nabi Terakhir.
Keimanan sejati yang merasuki jiwa-jiwa sahabatnya melahirkan pribadi-pribadi yang unggul dan mandiri. Kemandirian inilah yang nantinya menjadikan agama rahmatalli’alamin ini tersebar keseluruh penjuru dunia. Sungguh benar kalau ada yang mengatakan untuk mengubah dunia, hal pertama yang harus dilakukan adalah mengubah diri sendiri. Baik akhlak, pemikiran, dan hal-hal negatif lainnya yang perlu diluruskan kembali ke jalan yang mustaqim.
Organisasi lain yaitu Al-Ikhwan Al-Muslimun yang dipimpin oleh Hasan Al Banna. Organisasi yang menjunjung tinggi Al-Qur’an dan Al-Hadits ini tak kalah luar biasa perjuangannya. Mereka bangkit karena muak dengan kebanyakan saudara seimannya yang hanya duduk-duduk saja. Mereka memberontak terhadap budaya-budaya Yahudi dan Barat yang menggerogoti moral bangsanya. Tidak hanya itu, opini-opini nyasar alias ngaco dari rekan-rekan sesama muslim maupun pihak kafir mendera dari berbagai sudut. Tetapi semua itu bukanlah apa-apa dibandingkan apa yang mereka dapatkan. Dari sekian banyak keuntungan yang mereka peroleh, kemandirianlah yang akan penulis soroti. Bagaimana tidak kalau masyarakat kita terlalu mengandalkan orang-orang yang meledak-ledak dalam berorasi, orang-orang yang berakademik tinggi, dan orang-orang yang punya kecenderungan perfectionist di mata masyarakat umum. Mereka kurang bahkan tidak menyadari bahwa mereka punya kelebihan. Jadilah makhluk yang inferior (rendah diri) yang selalu bersembunyi di semak-semak ruang dan waktu. Hal seperti ini jelas bukanlah suatu kemandirian yang dimaksud, meskipun mereka menyelesaikan tugas-tugasnya seorang diri, tetap saja itu dia lakukan dengan kondisi nurani yang amburadul—banyak pikiran. Entah apa yang dipikirkannya itu.
Di sini organisasi menduduki peranan penting dalam meningkatkan kemandirian umat. Disamping ukhuwah tetap terjaga, organisasi biasanya memiliki visi-misi yang positif. Apalagi jika organisasi itu memberikan apa yang diinginkan oleh anggotanya. Proses pendidikan berorganisasi pun tak ketinggalan memberikan kontribusi penting untuk mem-profesional-kan umat dalam menunjang perekonomian mereka melalui karier yang oke.
Perbandingan orang yang belum pernah berorganisasi dengan yang sudah berpengalaman akan terlihat kontras perbedaanya, seperti hitam dan putih. Mulai bagaimana mereka berkomunikasi, me-menej waktu, me-menej emosi, hingga menetapaan planning-planning yang harus mereka lakukan.
Hal sejenis yang sering dilupakan oleh orang Indonesia adalah mereka suka membuat resolusi baru setiap pergantian tahun dan menelantarkan resolusi tahun sebelumnya begitu saja tanpa ada evaluasi ataupun tindak lanjut. Wajar saja kalau mereka kurang begitu berkembang dalam menyelesaikan persoalan. Karena mereka tidak mau ambil pusing merenovasi program yang gagal target pencapiannya.
Kemandirian seseorang yang pernah berorganisasi biasanya ditandai dengan munculnya organisasi yang baru didirikannya. Orang yang dulunya hanya sebagai jemaah atau seorang anggota organisasi tertentu yang belum dilirik orang. Tiba-tiba setelah cukup matang mereka mulai menunjukkan taringnya pada dunia. Sungguh perubahan yang memukau, bukan ?
Di dalam organisasi terdapat nilai-nilai ukhuwah atau persaudaraan yang cukup spesifik. Karena selain adanya tuntutan mengahasilkan produk atau karya tertentu, sisitem ukhuwah yang mereke terapkan lebih tertuju pada peningkatan kualitas SDM karyawannya. Sehingga tidak sedikit perusahaan-perusahaan yang yang mengadakan training-training yang kenyataannya harus dibayar mahal. Ini akan lebih merugikan apabila tak ada yang membekas setelah training itu usai. Andaikata membekas pun, itu biasanya tidak akan berlangsung lama sebelum training itu dilakukan secara kontinue.
Kreatifnya, perusahaan harus bisa membuat trainingnya sendiri, mengubah aturan-aturan konvensional yang terkesan baku dan membosankan, serta menjadikan Islam sebagai aturan yang ideal untuk menciptakan kedamaian diantara para pekerja. Bukankah umat Islam di Indonesia lebih dominan dibandingkan non-muslim ? Jadi tidak ada alasan bagi perusahaan untuk tidak memfasilitasi perusahaannya dengan masjid, Al-Qur’an, dan lain-lain, disamping tetap menghargai keyakinan karyawan non-muslim.
Ok-lah organisasi bisa dijadikan alternatif untuk membangun kemandirian umat. Lantas apa yang diharapakan umat ketika kemandirian umat tercapai ? Ya, kembali kepada niat masing-masing individu kembali kepada tujuan awal kita diciptakan, “Untuk apa kita diciptakan ?’, “Mampukah kita menjalankan amanat dari Allah untuk menjadi khalifah di muka bumi ini ?”. Tak perlu penulis jawab di sini, biar nurani yang menjawabnya.
Seorang umat membutuhkan sebuah gerakan dakwah yang terpadu dan menyodorkan solusi sistemis bagi permasalahan umat yang sudah demikian parah dan berlarut-larut. Bisa dibilang kembali kepada keutuhan Islam, yakni kembali pada pemahaman terhadap Islam secara integral dan komprehensif, bukan Islam yang parsial dan tambal sulam, Islam sebagai suatu sistem nilai yang mengatur hidup dan kehidupan manusia dalam segala aspeknya, dan bukan Islam yang dipahami sebatas simbol dan ritual peribadatan semata.
Sejak kemunculannya, Islam yang dibawa Rasulullah Muhammad SAW telah berumur lebih dari 14 abad. Sepanjang rentang waktu itu, Islam mengalami pasang surut peradaban. Dalam sebuah nubuatnya, Rasulullah pernah menengarai bahwa umat Islam setidaknya akan melalui 5 periode dalam perjalanannya hingga hari kiamat nanti; periode kenabian, periode kekhalifahan yang tegak di atas nilai-nilai kenabian, periode mulkan ‘adhdhan atau penguasa yang menggigit, periode mulkun jabariyyun atau penguasa yang menindas, dan terakhir sebelum datangnya kiamat umat ini sekali lagi akan Berjaya dengan kembali ke periode kekhalifahan yang tegak di atas nilai-nilai kenabian.
Demikianlah, kita hidup di periode mulkan jabariyyun dimana Islam tidak lagi tegak berdiri. Sekarang mata zahir kita menyaksikan sendiri bagaimana Negara-negara adidaya lagi kafir itu menyerang Negara-negara Islam dengan alasan pembantaian para teroris. Nyatanya mereka bunuhi anak-anak, wanita-wanita, dan kaum lainnya yang tidak bersalah. Mereka hanya mengada-ada !
Kejadian seperti itu akan terus berlangsung karena kiamat sudah sangat dekat. Tentu setelah Islam kembali berjaya pada masa pemerintahan Al-Mahdi dan dekat disini berbeda dengan dekatnya di dunia. Seperti apapun keadaan umat muslim dimasa yang akan datang, tidak jauh berbeda dengan apa yang ada sekarang. Kemandirian umat yang sudah tercapai harus benar-benar digalakkan untuk menciptakan kondisi umat yang mendukung dalam meraih kemenangan. Pertanyaannya adalah apakah kita mau menjadi bagian dari pasukan Islam itu atau hanya diam -duduk-duduk saja- dan hanya menonton ? Raihlah harapan dan mimpimu karena Hasan Al Banna mengatakan bahwa mimpi hari kemarin adalah kenyataan hari ini !
0 komentar:
Post a Comment