11 May 2011

Tacit Knowledge : Belajar Bersepeda Sebagai Proses Belajar Paling Sukses

Dikutip dari Pak Yanuar Nugroho (@yanuarnugroho) dan Pak Q. K. Dikara Barcah (@qk_dikara)
Dalam hierarki pengetahuan (knowledge hierarchy), tacit knowledge menempati urutan pra-logical, yaitu ia ada sebelum yang lainnya ada. Dalam pengetahuan selalu saja ada hal yang menjadi tidak terukur. Dalam Tacit Dimension (1967:4), dikatakan bahwa:

we can know more than we can tell


Dalam Oxford Advanced Learner's Dictionary disebutkan bahwa tacit merupakan that is suggested indirectly or understood, rather than said in words.


Sederhananya, tacit knowledge merupakan pengetahuan yang lebih terasa apabila dipraktikan. Kita bisa ambil contoh dalam pengetahuan bersepeda. Seseorang yang belajar sepeda akan lebih menguasai pengetahuan tentang bersepeda apabila ia sendiri belajar langsung dengan mengayuhnya. Hal ini berbeda apabila orang tersebut disuruh membaca manual bersepeda. Sebagus apapun manual tersebut, pengetahuan bersepeda tetaplah merupakan tacit knowledge.


Contoh lain kita bisa ambil dalam hal memasak. Andaikata ada 500 orang yang memasak spagethi dari suatu buku resep yang tersedia, akan dihasilkan 500 rasa spagheti yang berbeda. Mengapa demikian? Karena ada dimensi tacit knowledge yang mengiringi suatu resep maskan. Hal ini dibuktikan dengan embel-embel “secukupnya” : garam secukupnya, kecap secukupnya, mayonaise secukupnya. Untuk memeroleh takaran secukupnya ini hanya bisa diperoleh melalui tacit knowledge, yaitu melihat dan mempraktikan sendiri proses memasak tersebut. Proses trensfer of knowledge dari tacit knowledge sendiri bersifat sosialisasi dan tanpa terjadi adanya proses.


Dapatkan Pengetahuan Dikodifikasi?


Apakah pengetahuan dapat dikodifikasi?Sebelumnya kita harus merujuk sesuatu itu disebut pengetahuan. Misalkan ada subyek S dan objek O. Subjek S memiliki pengetahuan O dan dapat dikatakan pengetahuan apabila

  1. O bersifat benar

  2. S menyatakan bahwa O itu benar

  3. S memiliki justifikasi yang valid bahwa O itu benar

Justifikasi valid ini menuntut adanya metode pembuktian yang benar, bisa sesuai secara empiris ataupun secara sense umum.


Pengetahuan dapat dikodifikasi apabila sebagian besar orang yakin dengan tepat bahwa O bersifat benar.


Dalam tacit knowledge, pengetahuan yang ada bisa berbeda-beda tiap daerah. Mungkin saja kita katakan pedas secukupnya adalah tiga cabe rawit bagi orang Indonesia, sementara orang India menganggap itu berlebihan


#bikinlidahpanas



Oleh karenanya, tacit knowledge tak bisa dikodifikasi.


Bagaimana Cara Belajar yang Baik?


Bicara kemampuan bersepeda sebagai
tacit knowledge, saya teringat dengan model diagram belajar sukses dari bersepda. Bersepda merupakan proses belajar yang paling sukses karena meskipun sudah bertahun-tahun sudah meninggalkan sepeda, seseorang tidak akan pernah lupa dengan cara bersepeda karena kemampuan ini sudah mengendap dalam alam bawah sadar. OK kita akan melihat model diagram belajar ini.

Mari sama-sama kita membayangkan ketika kita belajar bersepeda ketika kita kecil. Kalau merasa tidak bisa membayangkan, kita ambil korban saja deh si Otong


Tahap 1


unconscious & incompetent


Tidak sadar & Tidak Bisa”


Ketika Otong lahir ke dunia, yang mana masih imut-imut seperti itu tentunya Otong awalnya tidak tahu bahwa ada dinamakan makhluk sepeda, bagaimana bentuknya, terbuat dari apa, untuk apa fungsinya dan lain sebagainya karena tidak tahu sama sekali tentulah kita tidak bisa mengendarainya. Hal ini jelas dong bro! Ini merupakan tahap pertama dari pembelajaran: Tidak Sadar dan Tidak Bisa.


Tahap 2


conscious & incompetent


Sadar & Tidak Bisa”


Kemudian, si Otong mulai mengenal si sepeda ini dari berbagai sumber. Bisa nonton TV, liat temennya, liat kakaknya atau liat di gudang. “Hmm, aneh sekali ya, besi beroda dua bisa berjalan seperti ini?”, gumam Otong. Nah, pada tahapan ini Otong sudah berada satu tahap lebih maju, yaitu dia sadar dengan eksistensi sepeda. Sedangkan dia tidak mampu menggunakannya.


Tahap 3


conscious & competent


Sadar & Bisa”


Godaan makhluk sepeda pun membuat Otong tak bisa menahan diri. Dalam benaknya muncul bayangan-bayangan indah bahwa sepeda itu bisa membawanya kemanapun ia pergi, bahwa sepeda itu bisa memuaskan hasrat bermain bebas untuknya dan bahwa sepeda itu sangat menyenangkan. Didorong oleh keinginan yang kuat dan visi ke depan yang jelas, Otong pun memaksakan diri berlatih sepeda. Jatuh bangun berdarah-darah adalah KONSEKUENSI LOGIS dari proses belajar sepeda tersebut. Namun, karena KEINGINAN BELAJAR yang LEBIH KUAT, hal tersebut bukan menjadi masalah berarti. Setiap pagi, setiap bangun dari tidur yang dipikirkan adalah BELAJAR SEPEDA! Akhirnya Otong pun bisa mengendarai sepeda.


Tahap 4


unconscious & competent


Tidak Sadar & Bisa”


Mungkin pembaca agak terheran dengan tahap ini. Tenang dulu, Otong kali ini setiap naik sepeda sudah tidak lagi memikirkan BAGAIMANA CARA naik sepeda, BAGAIMANA cara berbelok yang benar, tetapi Otong sudah memikirkan KE MANA sekarang kita bersepeda. Otong bersama teman sudah riuh dengan sepedanya, apaagi ayahnya sudah membelikan sepeda baru karena Otong sudah panda bersepeda. Pada tahap ini pengetahuan bersepeda Otong sudah mengendap di alam bawah sadar karena proses bersepeda yang BERULANG-ULANG sehingg menjadikannya HABIT. Hasilnya, kemampuan bersepeda ini tidak akan hilang meski duah puluhan tahun lamanya.


Belajar bersepeda sekali lagi merupakan proses belajar yang paling berhasil. Nah pertanyaannya, mengapa proses belajar kita di sekolah atau di pengajian atau di pesantren atau di kampus tidak seberhasil sebagaimana kita bersepeda? Lihatlah ternyata bahwa kita terlalu lama bolak-balik di antara tahap 2 atau tahap 3. Banyak hal yang bisa menyebabkan ini, tetapi yang sangat jelas adalah bahwa proses belajar tadi tidak diiringi KEINGINAN yang kuat dan pengaharapan yang tinggi bahwa belajar itu harus berdarah-darah, belajar itu harus berkorban, belajar itu harus capek. Anak yang belajar bersepeda tidak pernah memikirkan lututnya yang berdarah, ia hanya memikirkan kondisi saat ia sudah bisa bersepeda. Akhirnya keinginan ini memberikan efek luar biasa bahwa bersepeda menjadi habit dan masuk ke alam bawah sadar. Ingat kawan, ketika berbicara dengan diri sendiri untuk merefleksikan diri, dari 65.000 kali kita merefleksi diri, hanya 3%nya yang bersifat positif. Kebanyakan hanya pembicaraan “Ah, malas” “Ah, besok saja” “Dosennya kan baik” “Gak penting banget upacara hari Senin”, dan sugesti negatif lainnya.


So, tugas kita adalah BAGAIMANA membuat belajar itu menjadi proses yang menyenangkan. Melepaskan semua syarat-syarat kebahagiaan sesaat karena pada dasarnya manusia ingin bebas dari tanggung jawab, dan belajar itu adalah tanggung jawab.


Wallohu a'lam



0 komentar:

Hitung






Komentar

Tentang Blog Ini

Seorang pembelajar yang berharap tidak berhenti belajar, seorang hamba yang berharap tidak berhenti menghamba

Followers