Oleh: Ust. Priyo Djatmiko 27/01/17
Mainstream muslim sepertinya masih menolak teori evolusi. Jika masalah yang nyaris terang benderang saja seperti bumi bulat vs bumi datar saja bisa jadi kontroversi, apalagi soal teori evolusi yang sejarahnya lebih panjang dan jauh lebih kompleks, baik untuk memahami teori itu sendiri maupun konsekuensi dan implikasinya.
Untuk mengurai kontroversi, kita perlu jernih pada dua hal:
Pertama, definisi teori evolusi, yang memang jarang diklarifikasi dalam perdebatan. Definisi umum yang diacu dan dinyatakan kokoh oleh komunitas ilmiah, "evolusi adalah mungkinnya perubahan beberapa karakteristik pada satu spesies dalam rentang waktu/generasi yang lama, dan variasi itu dijelaskan secara empirik adalah hasil dari seleksi alam". Takrif ini menghimpun 2 (dua) rukun utama:
- perubahan karakteristik pada spesies yang perubahan itu hanya mungkin terjadi setelah melalui waktu yang lama, dan
- secara empiris disimpulkan variasi itu dihubungkan (disebabkan) dengan apa yang disebut sebagai "natural selection" (seleksi alam).
Kedua, mengklarifikasi wilayah debat, di mana titik debat tersebut, evolusi sebagai teori saintifik atau evolusi sebagai worldview atau ideologi yang merupakan inferensi sebagian orang? Evolusi sebagai worldview bukanlah teori saintifik tapi penafsiran atau perluasan dari wilayah kealaman ke wilayah sosial. Marx, misalnya, sangat menggunakan teori ini (pemahaman umum yang ia peroleh dari tulisan Darwin) untuk menjelaskan dialektika sosial. Hitler misalnya, mengunakan worldview evolusionis pada berbagai aksi destruksi sosialnya. Penafsiran ideologis ini bukan teori saintifik. Tak elok menyalahkan sisi saintifik dari penafsiran ideologis sebagian orang. Salahkan sains menggunakan prinsip sains yang sah.
Evolusi sbg teori saintifik pun berlapis-lapis. Ada wilayah yang secara observasi empirik tak terbantahkan yaitu adanya variasi spesies dan hubungan kekerabatan antar spesies yg dekat. Variasi dan "kekerabatan" ini diarahkan penyebabnya kepada natural selection atau seleksi alam. Ini penafsiran atau fakta? Ataukah ia penjelasan terkuat sejauh ini yang ada dibanding penjelasan lain yang sempat diajukan? Mungkinkah ada penjelasan empirik lain selain seleksi alam? Catatan, bagi orang berimanpun sebetulnya dalam konteks kita menyebutkan "apa penjelasan empiriknya" maka Tuhan bukanlah penjelasan empirik. Penjelasan empirik adalah penjelasan bagaimana cara Tuhan mewujudkannya di dunia, hukum apa yang Tuhan pakai, kira-kira begitu logika saintis (ini agak panjang kalau mau diurai dari sudut pandang filsafat kealaman, teologi Islam muslim mainstream / sunni Asy'ari sensitif dengan kata hukum Tuhan karena menganggap yang ada adalah 'adat, sesuatu yang repetitif bukan hukum yang kausalitatif)
Di dunia muslim, yang paling populer melawan teori evolusi adalah Harun Yahya. Kalau saya baca/lihat Harun Yahya, pertama, dia keukeuh pada apa yang disebut creationism theory yang sama dengan flat earth theory, yang sebetulnya merupakan teori gereja lama (tapi masih banyak yang meyakininya di kalangan konservatif Barat), yang tidak ada asalnya secara kokoh di literatur islam (silahkan CMIIW). Harun Yahya juga coba membenturkan evolusi dalam definisi saintifik tadi dengan keyakinan imaniyah tentang penciptaan manusia pertama (Adam) oleh Tuhan. Kedua, Harun Yahya keukeuh semua spesies diciptakan sama persis sesuai kondisi yang kita temui sekarang tanpa perubahan sama sekali dan variasi yang ada satu persatu diciptakan Tuhan sedari mula dan mengklaim penjelasan itu ada dalam Islam atau quran. Tapi saya tak menemukan, mana dalil nya dalam Islam atau Quran klaim tsb?
Islam kecuali khusus untuk manusia, tidak memastikan bahwa semua makhluk hidup di awal penciptaannya tidak mengalami perubahan. Islam juga tidak mengatakan yang dimaksud penciptaan itu semua makhluk hidup diciptakan satu per satu termasuk per satu-satu variasinya. Jika memang diyakini bahwa makhluk hidup bisa berubah dan perubahan itu menjadikan variasi, dan variasi itu terjadi di alam dunia bukan alam azali, itu tidak kontradiktif dengan keimanan kita bahwa seluruh makhluk hidup diciptakan Tuhan. Kita masih bisa mengatakan bahwa itu bentuk jalan yang dikehendaki Tuhan dalam menciptakan variasi makhluk hidup.
Terakhir bagaimana dengan manusia pertama? Dapatkah direkonsiliasi antara penciptaan Adam sebagai manusia pertama dan diciptakan dengan kondisi sempurna seperti sekarang dengan teori tersebut? Pada dasarnya teori evolusi menjelaskan tentang hal fisikal. Masih terbuka kemungkinan untuk dipahami, bahwa Adam diciptakan dalam kondisi sudah sempurna dalam arti penciptaannya itu unik, spesifik dan sempurnanya dari sisi ruhani kesadaran dan intelektual. Ini bisa diselaraskan dengan teks-teks yang berbicara makhluk sebelum manusia (Adam) di bumi yang sifat fisiknya disebutkan serupa manusia. Begitu juga pengertian begitu tak terlalu asing, kita dapat menemukan pemahaman manusia sempurna ruhaniyahnya dan hirarki wujudnya dengan makhluk lain yang tersebut di literatur sufi. Saya tidak memastikan, tapi kemungkinan itu ada, tidak secara tegas dinafikan dari dalil agama. Saya tidak memastikan, karena menurut saya saintis juga terlalu jauh menafsirkan kalau mau membawa ke wilayah genesis atau penciptaan pertama.
Saya ingat Hasan al Banna mengatakan dalam salah satu dari 20 prinsipnya:
"falan tasthadama haqiqatun 'ilmiyatun shahihatun bi qa'idatii syar'iyatin tsabitatin, wa yuawwalu addzhanniyyu minhuma liyattafiqa ma'al qath'iyyi". Tidak akan berbenturan hakikat ilmiah yang sahih dengan prinsip syariat yang permanen, dan kita hendaknya membawa yang nilai keilmuannya dzhanniy (sangkaan, tidak pasti) agar selaras dengan yang nilainya keilmuannya qath'iy (pasti, kokoh). Hasan Al Banna sudah benar, tidak semua yang datangnya dari wilayah agama pasti qath'iy (mutlak pasti), kadang ia penafsiran, dugaan, ijtihad. Dan Hasan al Banna mengakui bahwa wilayah ilmiah (sains) bisa menemukan sesuatu sampai pada tingkat qath'i, dan ketika pernyataan dari agama sifatnya dzhanniy, ia harus diselaraskan agar tidak menyalahi pernyataan dari sains yang qath'iy.
Bukan teori evolusinya yang ingin ditekankan di sini. Yang perlu ditekankan adalah logika bahts (pembahasannya)-nya. Kita harus mengukur suatu pernyataan ilmiah dan syar'i itu sampai di tingkat mana, qath'iy-kah atau dzhanniy saja. Untuk bisa mengukur kita harus mempelajarinya. Untuk tahu tingkat keyakinannya seberapa jauh, kita harus paham metode ilmiah, metode inferensi, teori tentang teori (nazhariyatul makrifah), bagaimana suatu komunitas ilmiah menerima sesuatu sebagai ilmiah, dan itu berarti belajar filsafat sains juga. Jangan masuk ke perdebatan kalau kita tak mengetahui dengan cukup. Bukankah kita sering kesal dengan penulis-penulis yang datang dari luar dengan sok tahunya mengklaim pernyataan agama tanpa aware dengan level ijmak-jumhur-khilaf-minoritasnya? Begitulah perasaan ilmuwan kalau kita terlalu percaya diri masuk dunia ilmiah tanpa aware dengan level-level ilmiah.
0 komentar:
Post a Comment