Oleh Fahmi Ahmar 03/03/2017
Negara Rasul adalah sesuatu yang dihuni manusia. Tentu mereka juga ada yang tersalah dan berdosa. Hanya Rasul yang maksum. Meski demikian, itu tetap negara Islam, di mana sistem Islam berlaku, untuk meminimalkan maksiat, dan bila perlu menghukum pelakunya.
Alhamdulillah, tulisan saya “80 Tahun
Dunia Menanti Khilafah” (Republika 10 Maret 2004) telah mendapat banyak
tanggapan. Selain yang langsung via email dan sms, Irfan Junaidi telah
menulis tanggapan berjudul “Jalan Menuju Khilafah” yang dimuat di
Republika 13 Maret 2004, sekalipun ada salah tulis nama saya di situ.
Beliau antara lain merasa bahwa istilah “negara khilafah” cukup
mengganjal. Hal ini karena: (1) konsep khilafah adalah konsep ilahiyah,
sedangkan negara selalu berjalan atas landasan akal manusia; (2) konsep
khilafah tak pernah dibatasi secara geografis. Di akhir tanggapannya,
Irfan menulis berbagai upaya menghadirkan kembali khilafah yang telah
dilakukan. Salah satunya adalah Wali al-Fatah, tokoh Hizbullah yang
telah membentuk “Jamaatul Muslimin” di Indonesia – yang sekalipun tak
dikenal dan disambut dingin – namun oleh pengikutnya telah dibaiat
sebagai khalifah.
Apa yang disampaikan Irfan adalah salah satu
pendapat yang intinya barangkali pada skeptisme “Benarkah dunia telah 80
tahun menanti khilafah?”.
Pengikut Wali al-Fatah, juga pengikut
Ahmadiyah, berpendapat, bahwa sekarang ini khilafah ada (jadi tak perlu
dinanti lagi), dan khalifahnya adalah pemimpin spiritual mereka. Mereka
menganjurkan semua orang berbaiat pada khalifah mereka itu. Bahkan untuk
itu telah tersedia sebuah nomor telepon hotline untuk baiat.
Sementara itu sebagian kaum Arab nasionalis tak setuju bahwa khilafah
runtuh 1924. Menurut mereka, khilafah telah tiada sejak Bagdad
dihancurkan Tartar tahun 1258. Alasannya, pasca dinasti Abbasiyah,
khalifah tidak lagi dari Quraisy, namun telah beralih ke Turki dari
dinasti Utsmani. Sedangkan ada sebuah hadits yang berbunyi:
“Sesungguhnya urusan khilafah itu ada pada Quraisy”.
Sebagian ummat Islam lain yang mendambakan negara sempurna juga tidak
setuju. Menurut mereka, khilafah hanya bertahan sampai dengan
terbunuhnya Khulafatur Rasyidin ke empat, Ali bin Abi Thalib. Setelah
itu adalah kerajaan-kerajaan monarki dengan penguasa absolut
turun-termurun yang diwarnai korupsi dan kezaliman.
Sebagian kaum
Syi’ah malah berpendapat, bahwa pasca Rasulullah, kaum muslimin telah
meninggalkan ajarannya. Alasannya, para shahabat saat itu tak
melaksanakan wasiat Nabi untuk menjadikan ‘Ali khalifah penggantinya.
Jadi negara Islam praktis hanya ada di masa Rasulullah.
Sedang
kaum sekuler akan mengatakan bahwa Nabi tidak pernah menjadi kepala
negara, juga tidak pernah mendirikan negara, apalagi negara Islam. Jadi
memori 80 tahun runtuhnya Khilafah itu tak berarti apa-apa, karena untuk
apa memperingati runtuhnya sesuatu yang tidak pernah berdiri? Kalaupun
khilafah itu pernah ada, itu tak lain hanyalah persekutuan spiritual
yang tidak pernah dibatasi geografis, mirip pendapat Irfan.
Sedang kaum orientalis mengakui bahwa Nabi memang kepala negara, namun
negara itu bukan negara Islam, melainkan negara sekuler, hanya kebetulan
waktu itu yang berkuasa muslim, sehingga bisa mewarnai sistem negara
itu dengan Islam. Alasannya, dalam piagam Madinah tercantum bahwa kaum
Yahudi boleh menggunakan aturan-aturan mereka sendiri.
Demikianlah
sejumlah pendapat di antara ummat, yang intinya skeptis pada pendapat
bahwa khilafah berakhir 80 tahun yang lalu. Karena itu mereka juga
skeptis untuk berkontribusi dalam proses penegakannya kembali.
Realita Empiris Negara Rasulullah
Apa sebenarnya entitas yang dipimpin oleh Rasul saat itu? Apakah RW,
kota, atau negara? Atau Rasul hanya sekedar pemimpin informal /
spiritual di dalam sebuah negara?
Fakta, pada masanya, Rasulullah
telah melakukan berbagai aktivitas, baik spiritual seperti memimpin
sholat maupun politis seperti mengirim dan menerima duta negara asing,
mengirim pasukan, melakukan perjanjian, mengangkat hakim, gubernur dan
panglima, menetapkan kebijakan publik, dan sebagainya. Apa ini bukan
aktivitas seorang kepala negara, sekalipun negara itu adalah negara
kota?
Fakta, di dunia dulu maupun kini ada negara-negara
berdimensi kecil. Kita mengenal negara kota seperti Monaco, Luxemburg,
atau Republik San Marino. Beberapa negara besar di masa kini, awalnya
juga hanya kota. Republik Indonesia bermula di Jakarta. Tanpa pengakuan
penguasa daerah-daerah lain atas proklamasi Soekarno-Hatta itu, RI tak
akan jadi sebesar ini. Kalaupun batas RI adalah ex Hindia Belanda, maka
Hindia Belanda juga dimulai dari Batavia, yang diperluas dengan politik
imperialisme selama 350 tahun.
Fakta, Madinah saat itu mirip
negara kota yang merdeka. Wilayah itu tak pernah ada di bawah dominasi
kekuasaan asing. Mekkah juga negara kota lainnya. Saat itu, ada sejumlah
negara yang lebih besar, bahkan adikuasa, seperti Romawi yang berkuasa
hingga Suriah, Jordania dan Afrika Utara; dan Persia di wilayah Iraq dan
Iran sekarang ini.
Masyarakat Madinah juga sebuah masyarakat
yang khas. Saat Rasulullah hijrah, Islam sudah menjadi pemikiran
(mafahim) dan perasaan (maqayis) dominan di Madinah, sekalipun belum
semua penduduknya masuk Islam. Populernya Islam di Madinah ini tak lain
adalah buah kerja keras Mush’ab bin Umair, shahabat yang dikirim
Rasulullah, atas permintaan 12 penduduk Madinah yang telah menghadap
Rasulullah.
Untuk menjadi masyarakat yang lengkap mereka tinggal
membutuhkan aturan (nizham) yang dominan. Aturan ini tentu harus
diterapkan seorang pemimpin yang memerintah mereka, dan mereka siap
melindungi dan membantu pemimpin itu. Kontrak sosial masyarakat Madinah
dengan pemimpin itu, yaitu Rasulullah, terjadi saat Baiat Aqabah-II.
Baiat itulah momentum berdirinya negara khilafah islam. Ini mirip
proklamasi 17–8-1945. Jadi negaranya (sebagai wilayah dan masyarakat)
memang sudah ada sebagai proses rasional, tapi Khilafah sebagai sistem
pemerintahan Islam, dituntun oleh wahyu. Dan sistem khilafah ini memang
berbeda dari sistem kerajaan atau republik. Dia sistem yang khas.
Ketika Rasul hijrah ke Madinah dan membuat piagam Madinah, piagam itu
lebih mirip sebuah Undang-Undang Pakta Kerjasama baik intra Madinah
maupun antara Madinah dengan suku-suku Yahudi di sekitarnya. UU ini
tetap mengacu kepada Islam, karena di banyak pasalnya ada kalimat
“dikembalikan kepada Allah dan Rasulnya”. Ini adalah kalimat yang
jelas-jelas tidak sekuler, tidak demokratis, namun juga tidak diktatur,
melainkan Islami.
Pada saat perjanjian Hudaibiyah, Rasul
sebenarnya justru mendapatkan pengakuan kedaulatan (de jure) dari negara
Makkah. Ini mirip 23 Agustus 1949 tatkala RI diakui oleh Kerajaan
Belanda. Jadi Piagam Madinah ataupun Perjanjian Hudaibiyah bukanlah
dalil untuk set-up sebuah negara, apalagi bila yang diinginkan adalah
gambaran bahwa negara Rasul tersebut kompromistik.
Negara Rasul adalah sesuatu yang dihuni manusia. Tentu mereka juga ada yang tersalah dan berdosa. Hanya Rasul yang maksum. Meski demikian, itu tetap negara Islam, di mana sistem Islam berlaku, untuk meminimalkan maksiat, dan bila perlu menghukum pelakunya.
Ketika Rasul wafat, para shahabat
senior yang bersamanya sejak tertindas di Makkah, justru tak segera
mengurus jenazahnya, melainkan sibuk mencari penggantinya. Hanya Ali dan
keluarga (sebagai keluarga dekat) yang memandikan dan mengkafaninya.
Tapi Ali juga menunda menyolatkan dan menguburkannya, hingga terpilih
Abu Bakar sebagai khalifah. Penundaan ini, apalagi untuk jenazah Rasul,
menunjukkan bahwa masalah Khilafah lebih urgen dari pengurusan jenazah.
Demikianlah para khulafaur Rasyidin menerapkan Islam di dalam negeri,
dan menyebarkannya ke seluruh dunia melalui dakwah dan jihad.
Ketika ‘Ali terbunuh, dan Daulah Umayyah berdiri, lalu tampak ada pola
seperti monarki, sesungguhnya itu suatu pelanggaran yang tidak
signifikan, tidak membuat bubarnya negara. Sistem Khilafah Islam tidak
hanya soal suksesi, namun mencakup politik secara keseluruhan, juga
ekonomi, hukum, pendidikan dsb. Mungkin mirip dengan trik Soeharto untuk
jadi Presiden selama 32 tahun: rekayasa golkar, pemilu dan MPR. Kita
tahu itu pelanggaran, namun RI tidak bubar karenanya.
Dinasti
Umayyah hanya menyalahgunakan salah satu metode penentuan khalifah,
yaitu nominasi dari khalifah sebelumnya. Namun secara umum, sistem
khilafah tetap berfungsi. Imam Abu Yusuf menegaskan bahwa ciri-ciri
negara Islam itu dua perkara: 1. Hukum yang berlaku di negara itu adalah
dari Islam semata. 2. Kekuatan yang melindungi penerapan hukum tersebut
semata-mata pada kaum muslimin, sekalipun mereka tidak mayoritas.
Fakta, dua syarat itu terpenuhi hingga tahun 1924. Dan fakta, banyak
prestasi peradaban Islam yang dinisbahkan ke era ini. Bagi bangsa-bangsa
di dunia, negara khilafah tetaplah satu-satunya representasi kaum
muslimin yang dihormati, disegani, ditakuti namun juga dimusuhi. Tidak
seperti sekarang ini, di mana kaum muslimin hanya dimusuhi, tapi tak
lagi disegani, dihormati, apalagi ditakuti.
Memang, ada kalanya
datang khalifah yang dhalim, atau aparat yang korup. Tapi masyarakat
tahu, itu adalah pelanggaran suatu hukum. Hukumnya sendiri digali dari
Islam. Sementara sekarang, ketika khilafah tidak ada lagi, hukum digali
tak hanya dari Islam, bahkan mayoritas hanya imitasi hukum-hukum warisan
penjajah kafir.
Kehancuran Bagdad 1258 oleh Tartar juga tidak
membubarkan khilafah. Di bagian-bagian lain negeri, sistem Islam tetap
jalan. Dan tentang khalifah yang tidak lagi Quraisy, diterangkan oleh
Ibnu Khaldun, bahwa Quraisy itu hanya syarat afdhaliyah dan kontekstual,
karena dahulu suku yang paling berpengaruh di jazirah Arab adalah
Quraisy, sehingga secara sosiologis, adanya khalifah yang Quraisy akan
mengurangi resistensi.
Dengan demikian jelaslah, bahwa negara
khilafah Islam memang pernah ada, didirikan Rasulullah sendiri, dan
telah berlangsung jauh hingga tahun 1924.
Adapun klaim pengikut
Wali al-Fatah atau Ahmadiyah bahwa mereka telah memiliki khalifah, tentu
saja bertentangan dengan konsep khilafah yang rajih (kuat), yang
menyatakan bahwa khalifah itu pemimpin baik spiritual maupun politis,
dan rakyatnya tak hanya pengikut gerakannya, melainkan semua orang,
muslim ataupun bukan, yang berada di wilayah kekuasaan negara itu dan
negeri-negeri lain yang telah menggabungkan diri padanya. Khalifah wajib
melindungi dan mengurus kebutuhan seluruh rakyatnya ini, tak hanya
pengikut gerakannya saja.
Maka khalifah ala Wali al-Fatah atau
Ahmadiyah yang jelas-jelas hanya bersifat spiritual dan eksklusif pada
jamaahnya, bukanlah khalifah yang sahih. Demikian juga para penguasa
negeri-negeri Islam, sekalipun menyatakan Islam agama negara, UUD-nya
adalah Qur’an, atau berbentuk Republik Islam, maka selama mereka hanya
membatasi diri untuk bangsa tertentu, mereka juga belum bisa disamakan
dengan khalifah.
Secara empiris, negara-negara di luar dunia
Islam pasca 1924 tak pernah lagi merasa berhadapan dengan sebuah negara
yang merepresentasikan ummat Islam sedunia. Mereka hanya berhadapan
satu-satu, dengan Iran, Saudi, Pakistan dan sebagainya. Mereka tidak
lagi mendapatkan kaum muslimin bersatu dalam suatu formasi ideologis.
Jadi memang, sudah 80 tahun ini dunia menanti khilafah.
Dan di tahun 2016 ini genap 92 tahun dunia menanti khilafah.
0 komentar:
Post a Comment