18 July 2010

Jamu Gendong : Tradisional, Pahit dan Perkasa

"Ddua ribbu", logat Jawanya begitu kentara pada penjaja jamu itu. Hmmm, pagi yang indah untuk minum "herbal" orang Indonesia. Di balik rasanya yang pahit, bisyari'ati terkandung manfaat yang begitu besar. Prasasti Madhawapura dari zaman Majapahit menyebutkan sudah adanya Acaraki, yaitu profesi 'tukang meracik jamu'. Bagiku, ini merupakan salah satu heritage yang mesti diabadikan secara juridistik akan warisan leluhur ini. Jangan sampai terulang lagi segala pencurian warisan budaya kita oleh bangsa lain.

Kembali ke cerita. Sang penjaja menawarkan "Pake pait gak". "Iya", lek, jamu pun lewat tenggorokan dan tak pelak pahit pun menjalar. Namun, aku sangat nyaman dan menikmati sekali kepahitan jamu tersebut.

Ada fenomena yang menarik yang bisa kita lihat dari penjaja jamu ini. Dari dulu hingga sekarang puing-puing ketradisionalan dalm bentuk personifikasi mungkin salah satunya pada penjaja. Entah kenapa dan bagaimana awalnya para penjaja itu menjadi "air tawar" di dalam "air laut". Mengapa? Seperti yang sudah kita ketahui sendiri ciri budaya itu memiliki manusia yang memakai nilai, norma, dan cara yang sama dengan beberapa pengusungnya. Hal ini berbeda sekali ketika berhadapan dengan para tukang jamu. Para penjaja ini bersikeras menggunakan pakaian tradisional sepanjang hari, dan mengapa harus perempuan yang masih bertahan? Aneh juga.

Aku juga sering membayangkan, betapa beratnya botol-botol yang harus dipikul dalam jarak berkilo-kilo meter yang menurutku sepertinya uang hasil jamunya pun tidak seberapa. Inilah salah satu contoh selain melahirkan sebagai bentuk keperkasaan seorang perempuan.

Walaupun pahit, seperti yang telah aku singgung, jamu memiliki khasiat yang baik bagi kesehatan, katanya. Seperti hidup ini. Kadang, tidak semua hal yang manis itu mampu membahagiakan kita, kita tahu bahwa yang pahit itu akan berakhir. Seperti jamu, ada minuman penutup yang manis yang dijajakan. Itulah tugas kita, bagaimana menutup semua cobaan, tantangan dan ujian di dunia dengan kemanisan di akhirat kelak. Pastikanlah kita meminum jamu pemanis, agar tidak terlanjur berlarut-larut pada kepahitan dunia yang menipu. Bahkan, kecantikan, kekayaan, dan kepintaran adalah kepahitan hidup jika kita tidak merendahkan diri dan tidak terbiasa ikut membantu meninggikan derajat kemanusiaan.

0 komentar:

Hitung






Komentar

Tentang Blog Ini

Seorang pembelajar yang berharap tidak berhenti belajar, seorang hamba yang berharap tidak berhenti menghamba

Followers