Oleh: Ust. Syamsuddin Arif, Direktur Eksekutif INSISTS Jakarta12/05/2017
Sebuah kesimpulan menarik telah dikemukakan oleh Bernard Lewis, guru
besar di Universitas Princeton, Amerika Serikat, bahwa salah satu ciri
yang membedakan agama Islam dengan agama Yahudi dan Kristen adalah
perhatian besar dan keterlibatan langsung yang ditunjukkannya terhadap
tata kelola negara dan pemerintahan, hukum, dan perundangan: “
The
religion of Islam, in contrast to both Judaism and Christianity, was
involved in the conduct of government and the enactment and enforcement
of law from the very beginning”, tulisnya dalam buku Islam: The Religion
and the People (New Jersey: Pearson, 2009), hlm. 81.
Dengan kata
lain, Islam adalah satu-satunya agama yang sangat peduli pada politik.
Namun, bukan politik sebagai tujuan, melainkan politik sebagai sarana
mencapai tujuan yang lebih tinggi, lebih agung, dan lebih mulia, yaitu
kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat. Itulah sebabnya Nabi Muhammad
berdakwah, berdagang, dan berperang. Pun para sahabat beliau yang
melihat kekuasaan politik sebagai amanah (
trust) dan fitnah (
test).
Simaklah pidato pelantikan mereka sebagai khalifah berikut ini.
Abu Bakar as-Shiddiq berkata, “Sesungguhnya aku telah dikalungi tanggung
jawab yang besar (
laqad qullidtu amran ‘aziman), padahal aku bukanlah
yang terbaik di antara kalian. Maka dukunglah aku jika tindakanku benar,
dan betulkan jika aku salah. Patuhilah aku selagi aku taat kepada Allah
dan Rasul-Nya. Namun, jika aku menyalahi perintah Allah, maka aku tidak
perlu kalian patuhi!” (Lihat: Ibn Sa‘d, at-Ṭabaqāt, ed. Iḥsān ‘Abbās,
cetakan Dār Ṣādir Beirut, 1957 -1960, jilid 3, hlm. 182-3).
Terlepas dari segala keterbatasan dan kesederhanaannya, apa yang telah
digariskan dan dijalankan oleh Rasulullah ataupun para sahabat
(khalifah-khalifah sesudahnya) merupakan konseptualisasi dan
implementasi dari apa yang dikehendaki Allah SWT. Dan inilah yang kita
maksud dengan ‘politik Islam’, dalam arti negara berpandukan agama dan
pemerintahan berasaskan hukum Tuhan pencipta jagad raya, langit dan
bumi, termasuk manusia. Kita boleh menyebutnya ‘al-madīnah al-fāḍilah’
(the virtuous polity) atau ‘as-siyāsah as-syar‘iyyah’ (state governance
based on Divine Law) —meminjam ungkapan al-Fārābī dan Ibn Taymiyyah.
Kajian 'Politik Islam'
Meskipun Islam dan politik telah menyatu sejak awal, di mana Nabi
Muhammad SAW bukan sekadar utusan Allah dan pemimpin agama, melainkan
juga pemimpin bangsa dan negara, sebagai 'leader' dan 'ruler', kajian
politik Islam secara ilmiah, teoritis, dan sistematis baru bermula pada
kurun kedua Hijriah. Secara umum, pemikiran politik Islam merupakan
sintesis dan amalgamasi dari konsep-konsep kepemimpinan yang dikenal
dalam masyarakat Arab pra-Islam dan ajaran Islam itu sendiri (yakni
al-Qur'an dan Sunnah) dengan tradisi bangsa-bangsa yang ditaklukkan,
seperti Syria (Romawi), Mesir, Persia, dan Mongol.
Sejauh ini,
karya pertama yang diketahui secara sistematis membahas ketatanegaraan
dari perspektif Islam adalah bab politik dari kitab as-Siyar al-Kabīr
yang ditulis oleh Muḥammad ibn al-Ḥasan as-Syaybānī (w. 189/804),
seorang ulama besar Irak abad kedua/sembilan. Ini diikuti oleh bagian
pertama (kitab as-Sulṭān) dari ‘Uyūn al-Akhbār karya Ibn Qutaybah (w.
276/885) dan bagian pertama dari kitab al-‘Iqd al-Farīd karya Ibn ‘Abdi
Rabbih.
Kajian dan pemikiran politik Islam dapat dipetakan dalam
tiga wilayah besar. Pertama, kajian tradisional-normatif, yakni
pembahasan konsep-konsep dan norma-norma perpolitikan yang diuraikan
oleh para ulama. Termasuk dalam kategori ini, tiga kitab yang kita sebut
di atas. Namun, sebenarnya wilayah ini pun masih bisa dipilah lagi
menjadi beberapa kategori: (i) ulama ahli telogi atau
mutakallimūn dari
golongan Ahlus Sunnah (al-Asy‘arī, al-Bāqillānī, al-Baghdādī) maupun
Mu‘tazilah (al-Jāḥiẓ dan al-Qāḍī ‘Abd al-Jabbār) yang masing-masing
menyediakan satu bab khusus dalam karyanya terhadap masalah
imamah atau
kepemimpinan, apakah ia wajib atau tidak, dengan proses pemilihan
ataukah penunjukan, dan sebagainya; (ii) ulama ahli hadis atau
muḥadditsūn (seperti Imam al-Bukhārī, Muslim, at-Tirmidzī) yang juga
menaruh perhatian terhadap hadis-hadis politik (contohnya ‘kitab
al-imārah’ dalam Ṣaḥīḥ Muslim).
Selanjutnya (iii) ada ulama ahli
hukum atau
fuqahā’ (al-Māwardī, al-Farrā’, al-Juwaynī) yang
masing-masing menulis buku khusus untuk mengupas fikih politik dan
pemerintahan; (iv) ulama pujangga atau udaba’ (Ibn al-Muqaffa’,
al-Jahsyiyārī, at-Tsa‘ālabī, at-Ṭarṭūsyī); (v) ulama ahli filsafat atau
falasifah (al-Fārābī, Ibn Sīnā, Ibn Rusyd) yang mewakili tradisi
pemikiran atau filsafat politik Yunani kuno (Plato dan Aristoteles).
Ciri khas dari kajian jenis ini adalah banyaknya aturan dan anjuran yang
perlu dipahami dan dilakukan oleh seorang pemimpin agar dihormati oleh
bawahannya, dicintai oleh rakyatnya, dan disegani oleh musuh-musuhnya.
Walaupun juga diselingi contoh-contoh kasus, kebanyakan merupakan
pernyataan-pernyataan induktif-normatif yang masih bisa dan perlu
dikukuhkan oleh penelitian empiris atau bahkan uji-coba lapangan.
Kedua, kajian tekstual-historis yang merupakan pendekatan para sarjana
Barat atau ahli ketimuran (orientalis). Politik Islam dikaji sebagai
pusaka ilmiah (
intellectual heritage) tak ubahnya seperti artifak kuno
dikaji oleh ahli arkeologi. itu masa lalu, sudah lama mati, dan kini
tinggal sejarah. Politik Islam sebagai aksi, proses, regulasi, ataupun
diskursus, semuanya menarik dikaji sebagai produk sejarah yang mungkin
masih relevan dan mungkin tak relevan sama sekali dengan situasi
sekarang ini. Kalau memang relevan, mengapa tak ada satupun negara Islam
saat ini yang mengacu padanya? Namun jika tidak relevan sama sekali,
lantas untuk apa semua itu dikaji? Jawaban para sarjana orientalis untuk
pertanyaan ini cukup beragam; dari sekadar memenuhi dahaga intelektual
dan memperlihatkan wawasan budaya, hingga untuk mendapatkan cermin bagi
merumuskan kebijakan luar negeri dalam hubungan dengan negara-negara
Islam.
Sebagai contoh pendekatan tekstual-historis ini adalah
kajian pemikiran politik Ibn Taymiyyah oleh Henri Laoust, kajian sistem
administrasi negara zaman Abbasiyah ole Ann Lambton, kajian naskah kitab
Ibn Rusyd yang menguraikan
Politeia (Respublica) Plato oleh Erwin
Rosenthal, kajian naskah kitab Ārā’ Ahl al-Madīnah al-Fāḍilah karya
al-Fārābī oleh Richard Walzer di Oxford, dan masih banyak lagi.
Pendekatan ala orientalis ini sebenarnya bermanfaat sekali untuk
mengenalkan kita pada khazanah pemikiran politik yang dimiliki umat
Islam. Akan tetapi di sisi lain, ia sering kali juga membawa orang
menerawang jauh di alam utopia. Akibatnya, timbul perasaan miris ketika
melihat kenyataan tidak seindah pengharapan.
Ketiga, kajian
sekuler-modernis yang mulai muncul sejak Dunia Islam dijajah dan
dikuasai oleh bangsa-bangsa Eropa. Pendekatan ini bertolak dari anggapan
atau bahkan keyakinan —yang sesungguhnya boleh jadi keliru – bahwa
ketidakmampuan umat Islam menghadapi kolonialisme Eropa disebabkan oleh
sistem politiknya yang lemah, dan ini dikarenakan oleh ajaran Islam yang
tidak mengenal pemisahan antara agama dan negara. Maka maraklah gagasan
sekularisasi sebagaimana dipopulerkan oleh Kemal Ataturk.
Tokoh-tokoh cendekiawan pun hanyut dalam arus ini. Dapat kita sebut
misalnya ‘Ali ‘Abd al-Raziq yang menulis buku
al-Islām wa Uṣūl al-Ḥukm
(1967), Khalid Muhammad Khalid, penulis Min Hunā Nabda’ dan
ad-Dīmuqrāṭiyyah Abadan (1953), ‘Abd al-Ghanī Sani yang menulis buku
al-Khilāfah wa Sulṭat al-Ummah (1924). Mereka ini tanpa berpikir panjang
menelan bulat-bulat aneka konsep dan sistem politik Barat modern,
seperti demokrasi dan sebagainya. Hanya dengan meniru sistem politik
Barat, negara-negara Islam bisa maju dan kuat, begitulah bayangan
mereka. Pendek kata, kelompok apologetik ini berupaya mencarikan
pembenaran terhadap sistem demokrasi dan konsep negara sekuler agar
dapat diterima dan diamalkan oleh umat Islam.
‘Islam Politik’
Jika politik Islam telah dipahami dan diamalkan berabad-abad lamanya ,
istilah ‘Islam politik’ terbilang baru. Para pengamat non-Muslim sengaja
menciptakan istilah ini guna menyudutkan dan melecehkannya. Menurut
mereka, ‘Islam politik’ adalah sikap dan prilaku politik umat Islam yang
didorong oleh keyakinan bahwa Islam mesti berperan di ruang publik dan
perlu mempengaruhi kebijakan politik masa kini. Istilah kontroversial
ini mereka pakai untuk membedakan antara sikap apatis atau pasif
sebagian orang Islam dengan sikap sebagian lainnya yang sangat aktif
berpolitik.
Ada tiga paradigma yang dianut oleh pengamat ataupun
pelaku ‘Islam politik’, yaitu paradigma pesimis radikal, paradigma
utopian radikal, dan paradigma optimis moderat.
Kita mulai
dengan yang pertama. Paradigma pesimis radikal diwakili oleh pengamat
politik semacam Oliver Roy, penulis buku 'The Failure of Political
Islam' (Kegagalan Islam Politik). Menurutnya, aktivis ‘Islam politik’
sebenarnya tidak atau kurang memahami Islam, hanya mengikuti syahwat
politik demi mengegolkan agenda-agenda mereka sendiri. Artinya, mereka
ini tanpa sadar mengkhianati umat Islam dan membelakangi para ulama
(anti-clerical). Roy menjuluki mereka neo-fundamentalis yang tidak sama
dengan kaum Islamis. Aktivis ‘Islam politik’ kalaupun mereka menang
pemilu dan berkuasa dapat dipastikan akan gagal menjalankan pemerintahan
yang adil dan berwibawa, sebaliknya justru bakal membunuh demokrasi,
menindas rakyat, menghancurkan ekonomi, dan merusak hubungan
internasional. Demikian ramalan suram dari Roy, yang diamini oleh dan
mempengaruhi banyak pengamat termasuk Graham E. Fuller dan Kikue
Hamayotsu.
Paradigma kedua yang utopian radikal bercita-cita
mendirikan sebuah negara Islam, dan bukan sekadar berjuang mewujudkan
aspirasi dan membela kepentingan umat dalam bingkai demokrasi negara
modern. Paradigma ini diwakili, antara lain, oleh Abu ‘l-A‘lā al-Mawdūdī
dan Sayyid Quṭb yang mengedepankan konsep negara bukan berdasarkan
kebangsaan atau nasionalisme, akan tetapi negara berdasarkan agama,
bukan berdasarkan kedaulatan rakyat atau demokrasi, akan tetapi
berdasarkan hukum Allah atau Syari`ah. Gagasan ini tentu saja dianggap
utopian karena amat sukar —untuk tidak mengatakan mustahil—
direalisasikan pada zaman sekarang ini kecuali dengan revolusi politik
yang menumbangkan pemerintahan yang sedang berjalan. Itulah sebabnya
gagasan ini dijuluki radikal, sebagaimana lazimnya kelompok revolusioner
disebut atau menyebut diri mereka for better or worse.
Paradigma
optimis moderat tidak sependapat dengan Oliver Roy. Bagi mereka, Islam
dan politik tidak perlu dipertentangkan. Agama dan negara tidak mesti
dipisahkan. Politik Islam bukan dongeng, melainkan pengalaman dan
pengamalan lebih dari seribu tahun lamanya. Dan, karena itu, ‘Islam
politik’ bukan utopia atau angan-angan belaka. Bagi orang-orang seperti
Mohammad Natsir, misalnya, Indonesia bukan negara sekuler. ‘Islam
politik’ tidak harus menempuh jalan revolusi. Sebaliknya, melalui
cara-cara yang konstitusional ‘Islam politik’ dapat dan mesti
berkompetisi dengan kelompok lain dalam NKRI untuk sama-sama merawat
negeri dengan semangat fastabiqul khayrāt (berlomba-lomba meraih
kebaikan) dan amar ma‘ruf nahi munkar (commanding good and prohibiting
evil).
[Source: Republika 19/1/2017 Page 18, ISLAMIA]