Toleransi
Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi
Pada tanggal 17 Nopember tahun 2010, saya diberi tugas Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia untuk mengikuti program Public Diplomacy Campaign ke Austria. Saya menyampaikan kuliah umum di dua universitas yaitu Universität Vienna dan Universität Salzburg.
Di Universität Vienna diadakan di Departement Kajian Ketimuran (Oriental Studies). Dihadiri oleh sekitar 50 orang diantaranya terdapat seorang mahasiswa dan mahasiswi berkebangsaan Arab. Temanya tentang moderasi dan toleransi. Saya menyampaikan toleransi umat Islam Indonesia terhadap kepelbagaian agama, termasuk terhadap pemeluk agama Kristen.
Seorang peserta bertanya, mengapa di Indonesia orang bisa lebih toleran tapi disini dan negara Eropa lainnya tidak. “Saya dan keluarga saya dan saya kira juga kebanyakan keluarga Austria disini tidak tahan bertetangga dengan keluarga Muslim”, lanjutnya. Saya terkejut mendengar pertanyaan dan pernyataan orang Barat yang tulus itu.
Agak lama saya berfikir, tapi kemudian saya ketemu jawabnya. “saya kira anda di Barat terlalu kaku berpegang pada faham sekulerisme sehingga tidak toleran pada agama. Apapun yang berbau agama anda tolak, apalagi kalau hal itu masuk kedalam ruang publik.
“Sesuatu yang tidak mungkin terjadi di Barat adalah masuknya agama ke ruang-ruang publik”, kata saya. Di Indonesia kami telah terbiasa mendengar seorang pendeta berceraham di TV publik dan toleran terhadap perayaan agama selain Islam di ruang publik. Kami selalu menyaksikan perayaan Natal di stadion atau tempat-tempat public yang disiarkan secara nasional oleh stasiun TV. Saya hanya menyatakan bahwa menjadi sekuler itu tidak membuat orang arif dan toleran. Sekuler malah bisa berarti eksklusif.
Universität Salzburg acaranya di handle oleh Fakultas Systematiche Theologie. Mahasiswa Pasca, dosen dan masyarakat umum yang berjumlah sekitar 100 orang menyimak kuliah umum yang bertema Democracy Islam Human Right. Kuliah saya berjudul Redefining Moderate Muslim, Appraising Religio-Political Thought of Indonesian Muslims.
Di acara dinner dengan para dosen saya utarakan problem liberalisasi pemikiran keagamaan yang kami alami di Indonesia. Disini saya sekali lagi juga terkejut. Ternyata para dosen itu mengetahui apa yang sedang terjadi di dunia Islam. Mereka bahkan merasakan hal yang sama. Saya bertanya apakah mereka setuju dengan faham-faham feminism dan kesetaraan gender, pluralism agama, liberalisasi pemikiran. Ternyata tidak.
Untuk mengetahui kebenaran pandangan mereka saya mencoba pancing dengan ide global theology yang diutarakan oleh John Hick. Ternyata salah seorang dosen systematic theology bernama Profesor Hans Joachim Sander sangat benci pada John Hick. Saya terkejut ketika dia mengatakan bahwa teori pluralisme John Hick itu tidak populer. Dan dalam Kristen idenya itu dianggap sudah usang. Pluralisme teologi itu, katanya adalah proyek Amerika.
Bahkan dia terus terang “Liberalisme itu omong kosong”. Ia juga sepakat ketika saya katakan bahwa semua agama sekarang ini sedang dipinggirkan dan bahkan ditindas. Alatnya adalah pluralisme, liberalisme, feminisme dan demokratisasi beragama. Mereka malah mengetahui nama-nama pemikir Islam yang liberal seperti Nasr Hamid dan Arkoun yang mengingkari otentisitas al-Quran.
Dari pertanyaan hadirin di Wienna jelas yang tidak toleran terhadap agama adalah masyarakat Barat sekuler. Tapi anehnya, yang kini dituduh eksklusif adalah orang-orang beragama. Cara pandang mereka masih dipengaruhi alam pikiran abad ke 16 dan 17, dimana sekte-sekte agama di Eropa waktu itu sering konflik. Sekte-sekte, atau agama-agama itu punya tuhannya sendiri-sendiri (teori geosentris) dan saling menyalahkan. Konflik pun bermuara pada pembunuhan.
Andrew Sullivan di The New York Times Magazine menggambarkan bahwa gara-gara perang salib, inquisisi dan perang agama Eropa abad 16 dan 17 berlumuran darah. Bahkan lebih banyak dibanding di dunia Islam. Tapi anehnya situasi itu dianggap terus terjadi hingga sekarang.
Yang jadi sample adalah peristiwa 11/9 yang sejatinya penuh misteri itu. Padahal konflik agama selama ini, jikapun ada, tidak sebesar konflik politik. Tidak sebesar perang teluk dan invasi AS ke Irak dan Afghanistan. Jumlah yang mati sia-sia pun lebih banyak konflik politik.
Untuk memojokkan agama Jack Nelson-Pallmeyer melacak kandungan al-Quran dan Bible. Ia lalu menulis buku berjudul “Is Religion Killing Us? Evidence in the Bible and the Quran”. Kesimpulannya menurutnya bahwa kedua kitab ini memerintahkan pembunuhan.
Padahal konflik antar agama itu sebenarnya bukan karena agama itu. Konflik yang sebenarnya justru antara agama karena dibenturkan dengan sekularisme. Peter Berger terus terang, sekularisme gagal dan diganti dengan pluralisme. Sikap eksklusif itu diganti menjadi sikap inklusif dan pluralis.
Secara teologis agama yang banyak itu, oleh John Hick, diteorikan menjadi bertuhan sama. Teologi agama-agama itu diperkirakan nantinya akan bersatu. Itulah teori global theology John Hick. Anehnya teori yang bermasalah ini ada pengikutnya, termasuk di Indonesia.
Setahun sebelumnya ketika saya berkunjung kembali ke Inggeris saya benar-benar melihat praktek pluralism. Di Leed, saya melewati sebuah gereja. Di depan gereja itu tertulis, “All race, all nation, all religion but one god”. Saya lalu segera menyimpulkan ini pasti penganut paham global theology. Dalam perjalanan saya dari Leed ke London saya kebetulan duduk berdampingan dengan seorang pendeta berkulit hitam. Saya lalu bertanya tentang tulisan gereja di Leed itu. Ternyata bagi dia itu benar “Nothing wrong with religious pluralism” katanya.
Ketika saya berkunjung ke Centre of Islam-Christian Relation, di Selly Oak College, Birmingham, disitu terpasang gambar Jesus tapi kepalanya seperti gambar dewa Wishnu dalam agama Hindu. Itu adalah wujud nyata dari pluralisme yang berupaya mencari kesamaan Tuhan agama-agama. Masalahnya, jika agama-agama itu memilik Tuhan yang sama, apalagi yang harus ditolerir.
0 komentar:
Post a Comment