Oleh: Ust. Priyo Djatmiko 21/05/2016 15:16
Saya khawatir kebiasaan mudah percaya, suka menyebarkan teori-teori konspirasi bahkan pikirannya tersibghah (tercelup, tenggelam) dalam cara berpikir konspiratif, itu akan jadi bid'ah fikriyah, bid'ah sulukiyah, bid'ah manhajiyah bahkan bid'ah aqaidiyah sebagian umat Islam. Ini dengan tidak atau belum mempertimbangkan dampak buruk tafarruq (perpecahan), fitnah (fitnah dalam bahasa indonesia atau haditsul ifki atau buhtan dalam bahasa Arab) utamanya ketika dijadikan senjata untuk menyerang lawan pemikiran, baik individu ke individu maupun kelompok ke kelompok. Tanpa mempertimbangkan itu pun sebetulnya bahaya kecanduan teori konspirasi sudah berbahaya sebab ia anti ilmu meski kadang menggunakan argumen setengah ilmu alias pseudo ilmiah. Selain anti ilmu ia juga berbahaya bagi mentalitas, menyebarkan mental korban, tidak berdaya dan korban tak berdaya seringkali justru meledak berlebihan dalam melawan seperti hewan yang terpojok oleh pemburu akan nekad melawan dengan cara apa saja yang instinktif bukan cara rasional.
Sebagian teman-teman mengajukan "makar" dalam Al Quran sebagai bukti pendukung adanya waqi (fakta) konspirasi dan atau teori konspirasi. Konspirasi memang mungkin ada dan beberapa ada, tapi itu lebih tepat di Al Quran sebagai "najwa"; bisik-bisik atau pembicaraan rahasia yang sifatnya sangat temporer, lokal dengan dampak terbatas. Teori konspirasi menuntut kita anti pengetahuan dan otoritasnya terhadap semua kejadian, fakta dan perkembangan. Berbeda dengan skeptisisme yang mendapat tempat dalam falsafah ilmu sebab skeptis bukan nihilisme, skeptis berbasis pada kritisisme yang punya basis, menghasilkan tawaquf (menunda kesimpulan, pending, tahu bahwa dirinya belum tahu), penganut konspirasi menyimpulkan yang berlawanan dan tidak melakukan pengujian baik yang ia yakini (konspirasi) maupun yang tidak ia yakini.
Jika mau dikaji tentang kosakata makar, dalam Quran secara bahasa, konteks dan terminologi, ia lebih dekat pada social engineering (rekayasa sosial). Orang lain melakukan social engineering, kita melakukan social engineering dan Allah meridhai milik orang beriman yang baik tujuannya. Social engineering lebih baik sebab ia lebih visioner, menuntut pemikiran intelektual dari individu muslim dan pemikiran kolektif dari umat, lebih berdaya, fastabiqul khayrat, lebih introspektif, lebih terbuka pada berbagai macam perkembangan ilmu sosial dan sains, lebih lurus secara manhaj dalam memahami sains, menghindarkan perpecahan yang tidak perlu dan tidak harus sebab ia bisa mengenali latar belakang peristiwa, memahami perencanaan orang lain tidak harus diletakkan pada moralitas "kafir" atau "jahat", tapi pada kepentingan dan keterpaksaan individu dalam kungkungan sistem dan karenanya kita bisa berdialog dengan lebih baik dengan mencari jalan win-win solution atau menguji etika etika pengambilan keputusan. Cukup jelas, saat ini umat Islam sangat lemah melakukan social engineering, sehingga kita menjadi objek dan tak punya andil terhadap perubahan dunia.
Lebih penting lagi, sebagian teori konspirasi yang laku beredar di kalangan muslim saat ini disuplai oleh polemik-polemik konspirasi dari kalangan religius fundamentalis di Barat khususnya Amerika, seperti teori flat earth, vaksinasi, fake moon landing dan lain sebagainya. Jangan-jangan ini tasyabbuh bil kuffar yang diingatkan nabi pada umatnya. Minimal gunakanlah teori dengan bijaksana, bahwa teori adalah teori. Silahkan didengar tapi ia perlu diuji. Agar kita, "alladzina yastami'unal qawla fayattabi'una ahsanah"
Komentar saya:
Konspirasi? Tidak dinafikan itu memang ada, contohnya adalah konspirasi bola lampu (Anda bisa cari sendiri). Tapi menyibukkan diri dengan secara gegabah terus menerus pada konspirasi, tidak sehat bagi perkembangan cara berpikir. Itu catatan penting kalau saja kita mau kembali membangun masyarakat yang jadi scientific society seperti khairul qurun-nya masa para shahabat, tabi'in dan tabi'it itba tabi'in.
0 komentar:
Post a Comment