Secara umum manusia modern memuja kemudaan, sebagai imbas dari ambisi dan keyakinan modernisme akan uncease unlimited progress (kemajuan yang takkan surut dan tak ada batas). Hal ini meski secara filsafati tak selalu disadari, di benak bawah sadar kita meyakini hal itu: kesedihan yang tak terelakkan bahwa kita beranjak tua dan perasaan insecure (merasa tidak nyaman) ketika pada taraf usia tertentu kita belum mencapai apa yang (menurut kita) mestinya tercapai. Orangtua dengan demikian adalah milik masa lalu, tidak cukup lincah diandalkan untuk mengubah dunia
Masyarakat tradisional -yang dicemooh modernisme sebagai masa
pramodern- yang mengutamakan keserasian, ketenangan dan menghayati cita
rasa estetika dalam kehidupan dibandingkan ambisi efisiensi dan
progress, sebaliknya memandang usia tua sebagai kekayaan. Yang tua
dihormati, mengarahkan tindakan apa yang bijak untuk menerima,
berinteraksi dan menghayati kenyataan eksternal, alih-alih berambisi
mengubah dan mengendalikannya
Yang ingin dikemukakan adalah betapa niscayanya ketidakbahagiaan di alam batin modernisme. Waktu tidak dapat berjalan mundur dan manusia tak bisa menjadi semakin muda. Anak-anak muda anak kandung modernisme yang sedari kecil dijanjikan "tidak ada mimpi yang mustahil"; "kamu bisa menjadi apa saja"; "tak ada seorangpun bisa menghalangi keinginanmu (termasuk norma, aturan dan tata nilai orang banyak)" mesti dikembalikan ke kenyataan, iya kita bisa menjadi apa saja, tapi kita tak bisa mendapatkan semuanya. Kita mesti sadar bahwa bahwa progress belum tentu kebajikan dan kita tidak mengukur kebajikan dengan maju tidaknya suatu nilai. Justru kita mengukur, memvalidasi kemajuan dengan kebajikan. Yang mula-mula harus diketahui adalah kebajikan, kebaikan.
Ust. Priyo Djatmiko 24/2/2017 17:07
Yang ingin dikemukakan adalah betapa niscayanya ketidakbahagiaan di alam batin modernisme. Waktu tidak dapat berjalan mundur dan manusia tak bisa menjadi semakin muda. Anak-anak muda anak kandung modernisme yang sedari kecil dijanjikan "tidak ada mimpi yang mustahil"; "kamu bisa menjadi apa saja"; "tak ada seorangpun bisa menghalangi keinginanmu (termasuk norma, aturan dan tata nilai orang banyak)" mesti dikembalikan ke kenyataan, iya kita bisa menjadi apa saja, tapi kita tak bisa mendapatkan semuanya. Kita mesti sadar bahwa bahwa progress belum tentu kebajikan dan kita tidak mengukur kebajikan dengan maju tidaknya suatu nilai. Justru kita mengukur, memvalidasi kemajuan dengan kebajikan. Yang mula-mula harus diketahui adalah kebajikan, kebaikan.
Ust. Priyo Djatmiko 24/2/2017 17:07
0 komentar:
Post a Comment