Oleh: Ust. Muhammad Abduh Negara 08/03/2017
1. Perbedaan pendapat di kalangan ulama adalah hal yang wajar, bukan sesuatu yang buruk, bahkan pada keadaan tertentu, ia merupakan rahmat dan keluasan bagi umat Islam.
2. Di antara penyebab terjadinya perbedaan pendapat di kalangan ulama: (a) perbedaan dalam menilai status hadits (shahih atau dhaif, dst), (b) perbedaan dalam memahami makna-makna yang terkandung dalam nash, (c) perbedaan dalam menilai kehujjahan sebagian sumber-sumber fiqih, semisal mashalih mursalah, syar'u man qablana, dll, (d) perbedaan dalam kaidah-kaidah ushul fiqih, dan sebab-sebab lainnya.
3. Tidak semua ikhtilaf itu diakui. Ada ikhtilaf yang terlarang, dan pelakunya (orang yang mengeluarkan pendapat yang berselisih ini) terkena dosa. Ikhtilaf terlarang jika: (a) Bertentangan dengan nash yang qath'i, baik tsubut maupun dilalahnya, (b) Bertentangan dengan ijma' yang pasti (bukan sekadar klaim ijma', (c) Yang berpendapat bukan orang yang layak berijtihad, (d) Yang berpendapat adalah mujtahid, namun ia tak bersungguh-sungguh dalam ijtihadnya.
4. Ada pula ikhtilaf yang pada dasarnya boleh (tidak terlarang seperti di poin 3), namun karena motivasi dan tujuannya buruk, akhirnya menjadi terlarang, yaitu: (a) Ikhtilaf itu dalam rangka memenuhi hasrat hawa nafsu (kebencian, menang-menangan, dll), bukan benar-benar untuk mencari kebenaran, (b) Ikhtilaf tersebut melahirkan permusuhan dan perpecahan di antara dua orang yang berselisih, bahkan memecah-belah umat Islam.
5. Dari poin 3 dan 4, bisa dipahami, tak semua pendapat yang dilontarkan oleh orang-orang saat ini, dianggap ikhtilaf yang diakui. Pendapat-pendapat nyeleneh semisal kebolehan liwath (homoseksual) dan semisalnya, jelas bukan ikhtilaf yang diakui.
6. Adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama, bukanlah alasan bagi kita untuk mengambil suka-suka pendapat mana saja yang ada, yang kira-kira paling enteng untuk dikerjakan, tanpa ada udzur (tatabbu' rukhash tanpa ada hajat yang dibenarkan).
7. Terkait poin 6, bagi orang yang memiliki kemampuan melakukan tarjih (memilih pendapat yang terkuat dari pendapat-pendapat yang ada, dengan standar ilmu syar'i yang memadai), silakan pilih pendapat yang menurut hasil kajiannya paling kuat.
8. Masih terkait poin 6, bagi yang tak memiliki kemampuan tarjih, silakan ikut pendapat ulama yang ia kenal kemasyhuran ilmunya, atau kewara'annya, atau ikuti mufti yang ada di tempatnya berada.
9. Setiap orang yang telah memilih salah satu pendapat dari pendapat-pendapat ulama yang ada, perlu menghormati pendapat ulama lain yang tidak ia ikuti, sekaligus menghormati orang lain yang mengikuti pendapat ulama lain tersebut. Tidak boleh bermusuhan dan berpecah-belah, hanya karena berbeda ulama yang diikuti.
10. Ikhtilaf ulama terjadi pada furu' aqidah maupun fiqih. Dalam fiqih, ikhtilaf ulama terjadi dalam bab ibadah, muamalah, bahkan siyasah (politik). Siapapun yang mengikuti pendapat sebagian ulama dalam persoalan-persoalan ini, perlu menghormati dan bersikap toleran terhadap pihak lain yang mengikuti pendapat yang berbeda.
11. Diskusi ilmiah, bagi yang mampu, dipersilakan untuk menentukan pendapat mana yang terkuat. Namun, diskusi ilmiah ini tempatnya di forum ilmiah, bukan di tempat umum, terlebih di hadapan kalangan umum yang tidak mengerti persoalan ini, yang bisa jadi malah membuat rusuh dan saling benci.
Sumber:
1. Al-Asas Fi Fiqhil Khilaf, karya Dr. Abu Umamah Nawwar bin Asy-Syali
2. Al-Khilaf Anwa'uhu wa Dhawabithuhu wa Kayfiyatut Ta'amul Ma'ahu, karya Hasan bin Hamid Al-'Ushaimi
3. Ushul Al-Fiqh Al-Islami, karya Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili
4. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu (Muqaddimah), karya Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhaili
5. Dan sumber-sumber lainnya
08 March 2017
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Hitung
Komentar
Get this Recent Comments Widget
Tentang Blog Ini
- rizmut
- Seorang pembelajar yang berharap tidak berhenti belajar, seorang hamba yang berharap tidak berhenti menghamba
0 komentar:
Post a Comment