08 March 2017

Mengikuti Al-Qur'an dan As-Sunnah, Mengikuti Pemahaman Para Salafus Shalih?



Oleh: Ust. Muhammad Abduh Negara


Saya sepakat dengan konsep ini: Mengikuti Al-Qur'an dan As-Sunnah, mengikuti pemahaman para salafus shalih.

Jika sekadar mengakui dan menerima konsep di atas, bisa disebut Salafi, maka iya, saya Salafi. (Tapi sayangnya, 'mereka' membuat banyak syarat lain, yang sebagiannya tak bisa saya penuhi).

Hanya saja, sebagaimana (yang saya pahami) dari pemahaman jumhur ulama, mengikuti pemahaman salafus shalih, bukan berarti menafikan seluruh pendapat ulama khalaf. Pendapat ulama khalaf, jika tidak bertentangan secara diametral dengan pemahaman salaf, tidak harus ditolak.

Karena itu, banyak ulama yang menerima konsep "ta'wil ayat sifat", bukan karena mereka mengabaikan pemahaman ulama salaf, namun karena: (1) mereka tak melihat pemahaman salaf dan khalaf bertentangan diametral; (2) beragamnya pendapat salaf tentang hal ini (paling tidak menurut klaim sebagian ulama).

Tentu juga, pada masail ijtihadiyyah, tidak perlu dibawa ke urusan klaim ahlus sunnah atau ahlul bid'ah. Ini hanya masalah shawab dan khatha'. Dalam hal ini, berlaku ketentuan "Pendapatku benar, tapi ada kemungkinan salah. Pendapat selainku salah, tapi ada kemungkinan benar.". Juga berlaku ungkapan sebagian ulama, "ikhtilaf (dalam persoalan ijtihad) di kalangan aimmah, itu merupakan rahmat (kasih sayang) dan kemudahan bagi umat."

Saya boleh berbeda pendapat dengan anda, tapi kita masih sama-sama muslim, bersaudara dalam iman dan Islam. Kehormatan anda harus saya jaga, sebagaimana anda juga harus menjaga kehormatan saya. Saya dan juga anda, bukanlah musuh sunnah yang harus diperangi. Kita sama-sama sedang berusaha mengikuti As-Sunnah, sesuai kadar pemahaman masing-masing. Terjadi perbedaan? Itu keniscayaan.

+++

Namun, kembali ke konsep awal, paham-paham yang jelas tidak bersumber dari Al-Qur'an dan As-Sunnah, juga bertentangan dengan manhaj beragama para ulama salaf, juga ulama khalaf, tidak akan kita terima.

Karena itu, paham sekuler, yang menyatakan agama hanya boleh 'bermain' di tempat ibadah, sedangkan di kantor, pasar, dan di tempat-tempat lainnya, jangan bawa-bawa agama, ini jelas tertolak.

Demikian pula, paham yang menyatakan ada seorang mukallaf yang boleh meninggalkan kewajiban-kewajiban Syariah, karena telah mencapai maqam tertentu, ini juga tak bisa diterima.

Wallahu a'lam.

0 komentar:

Hitung






Komentar

Tentang Blog Ini

Seorang pembelajar yang berharap tidak berhenti belajar, seorang hamba yang berharap tidak berhenti menghamba

Followers