03 March 2017

Pasca Utsmani

Oleh: Ismail Al Alam

Jika mengacu pada penanggalan Masehi, kita hari ini (3/3) hidup setelah 93 tahun keruntuhan Kekhalifahan Turki Utsmaniyah. Kelompok Turki Muda yang dipimpin Kemal Attaturk mengubah Turki menjadi negara sekular dengan mencontoh Prancis. Dalam bahasa Ahmet T. Kuru, sekularisme Prancis bersifat asertif, yang sangat membenci segala pelembagaan dan simbol agama. Ketika itu diterapkan di Turki, yang terjadi bukan cuma penyingkiran urusan agama pada wiayah umum ke wilayah pribadi, namun juga penghadangan terhadap simbol-simbol Islam. Penggunaan jilbab, pembacaan Qur’an, dan kumandang azan dalam Bahasa Arab dilarang oleh negara.

Peristiwa ini menjadi pukulan meyakitkan bagi umat Islam. Dalam sejarah Islam, tak pernah ada kekalahan politik berbentuk hilangnya lembaga bernama khilafah, sekali pun sering terjadi pasang surut hubungan khilafah (sebagai pusat) dan kesultanan-kesultanan (sebagai daerah) dalam masa lalu, juga dualisme kepemimpinan. “Komunitas terbayang” di benak umat Islam masa lalu seperti sudah melekat pada batas-batas kekuasaan khalifah.
Meski demikian, apakah Islam sebagai agama peradaban sudah usai kejayaannya? Sebagian mengiyakan pandangan itu. Untuk membangkitkannya kembali, bagi mereka, adalah dengan meraih kejayaan politik yang sekurang-kurangnya sama dengan khilafah, baik mutu atau wilayah cakupannya. Para orientalis menyebut mereka sebagai “kaum revivalis”, karena cita-cita mereka untuk membangkitkan (revival) Islam secara politis. John L. Esposito menyebut keyakinan mereka tentang Islam berdasarkan din wa ad-daulah, “agama dan negara”, sehingga yang satu menjadi lengkap dengan keberadaan yang lain.
Namun terdapat sekelompok umat Islam yang justru mengambil jalan seperti Turki Muda: mengambil model negara Barat seperti demokrasi liberal atau sosialisme untuk diterapkan pada wilayahnya, demi apa yang mereka anggap “kemajuan bangsa-bangsa Arab”. Dalam perjalanan sejarah, mereka meraih lebih banyak hasil dan kuasa, sehingga dengan leluasa memberangus rongrongan “kaum revivalis” (untuk menyebut dua saja yang terkenal: Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir) dengan cara represif. Di Jazirah Arab, nasib aktivis “kaum revivalis” sering berakhir di liang kubur sebagai korban pembasmian oleh negara. Meski tujuannya untuk menyurutkan langkah mereka, tindakan itu justru memberi tenaga baru bagi penyebaran gagasan tentang ketertindasan, dan cukup ampuh sebagai bahan perekrutan bahkan di luar wilayah-wilayah itu, seperti di Indonesia. Solidaritas yang terbentuk oleh wacana ini, pada akhirnya, adalah solidaritas internasionalisme kalangan muslim.

Quintan Wicktorowicz dan beberapa ilmuwan sosial Barat lainnya pada tahun 2006 menerbitkan Islamic Activism: A Social Movement Theory Approach. Buku ini adalah kumpulan penelitian mereka terhadap gerakan-gerakan “revivalis” tersebut. Dalam simpulan para penulis yang rata-rata sarjana Barat dengan kemahiran ilmu-ilmu sosial, gerakan-gerakan “Islam revivalis” banyak mengalami perubahan dalam kurun setengah abad terakhir. Mereka mengubah arah perjuangan, dari gerakan politik yang berorientasi pada kekuasaan ke gerakan sosial yang berorientasi mempengaruhi kekuasaan. Hal ini terjadi karena perubahan struktur kesempatan politik yang membuat mereka harus berkompromi dengan penguasa dan gagasan-gagasan modern (demokrasi, HAM, dan sebagainya.) jika masih ingin bertahan hidup. Mereka banyak melakukan mobilisasi masyarakat dengan isu bersama (tentang politik lokal, nasional, dan global), kaderisasi di kampus-kampus sekuler terutama di jurusan sains alam dan teknik, bantuan sosial, perluasan jaringan, dan sebagainya.

Apa yang membuat perjuangan mereka kian menyusut dan berubah arah? Penelitian seorang sosiolog dari Kent University, Asif Bayat, di Iran, Turki, dan Mesir menunjukkan ketakmampuan mereka dalam menghadapi isu-isu etika sosial hasil pemikiran mutakhir para filsuf dan teoritisi Barat yang banyak dirujuk negara, seperti pluralisme, multikulturalisme, feminisme, dan sebagainya. Dengan segala keterbatasan yang ada, mereka “berusaha kompromi” dengan itu semua, untuk sekedar “bertahan hidup.” Dalam berbagai contoh, Bayat bahkan menunjukkan hal tersebut sudah berhasil, seperti posislamisme di Turki (dan kini Tunisia-pen) dan gerakan perempuan di Iran.

Apa hikmah dari ini semua? Islam memang mempunyai syariat tersendiri tentang politik, namun politik -yang berarti kekuasaan- dalam Islam adalah penjamin bagi berlangsungnya syari’ah. Tanpa kekuasaan, seorang muslim dapat menjalankan syari’at bagi dirinya sendiri selama ia memiliki ilmu tentang itu dan mengenali batas kewajibannya sebagai insan. Kewajiban menuntut ilmu, sebagai hal utama, bagi setiap muslim dimulai sejak dalam buaian ayah-ibu sampai ke liang lahat. Hal ini dapat terlaksana, meski tentu dengan berbagai penyesuaian, sekalipun suasana politik di tempat tinggalnya dikuasai oleh tirani. Dengan ilmu yang benar yang berdasarkan cara pandang Islam terhadap wujud, perjuangan politik, kesejahteraan ekonomi, kemajuan teknologi, dan sebagainya dapat diperjuangkan. Filsuf muslim terbesar abad ini, Syed Muhammad Naquib Al-Attas, tidak setuju jika kekalahan politik adalah ukurn bagi kekalahan peradaban Islam. Baginya, peradaban Islam seperti pohon yang memiliki akar yang kuat dan hidup di segala cuaca. Jadi, meski pohon kadang rampak dan kadang meranggas, yang menjadikannya sejati adalah akarnya. Kemunduran peradaban Islam justru dimulai ketika kaum muslim meninggalkan akarnya, pandangan hidupnya, lalu kebingungan di tengah zaman.

Contoh kecil peralihan “Islamis/revivalis” ke “posislamis” di atas adalah bukti pentingnya mengawal pergerakan yang ada dengan gagasan besar, yang diraih dari penelusuran dan pengembangan konsep-konsep Islam tentang politik. Ketika struktur kesempatan politik berubah menjadi lebih kondusif bagi kaum pergerakan Islam, tantangan selanjutnya adalah kesiapan menerima gagasan politik modern seperti kebangsaan, HAM, dan sebagainya dengan pandangan yang benar. Banyak kaum posislamis, karena tidak membekali diri dengan hal tersebut, justru menjadi kebingungan dan terseret dengan gagasan sekular tentang konsep-konsep di atas. Sebagian lagi merasa terancam degan bahaya pemikiran di luar Islam, sehingga sumber daya yang ada lebih banyak disalurkan untuk menyebarkan perasaan keterancaman itu. Peristiwa semacam itu adalah bukti pentingnya gerakan keilmuan, di samping gerakan sosial yang berkembang kian pesat.

Kita butuh orang-orang yang ikhlas untuk memperjuangkan gerakan itu, menempuh segala kesusahan dan kelelahan namun saling menguatkan. Apapun hasilnya, tugas kita hanyalah berusaha, dan Allah selalu Maha Menentukan. Sejarah peradaban-peradaban umat manusia lebih sering mengingat nama para ilmuwannya ketimbang nama politisinya. Wallahu a’lam.

0 komentar:

Hitung






Komentar

Tentang Blog Ini

Seorang pembelajar yang berharap tidak berhenti belajar, seorang hamba yang berharap tidak berhenti menghamba

Followers