Oleh: Ismail Al Alam
Jika mengacu pada penanggalan Masehi, kita hari ini (3/3) hidup
setelah 93 tahun keruntuhan Kekhalifahan Turki Utsmaniyah. Kelompok
Turki Muda yang dipimpin Kemal Attaturk mengubah Turki menjadi negara
sekular dengan mencontoh Prancis. Dalam bahasa Ahmet T. Kuru,
sekularisme Prancis bersifat asertif, yang sangat membenci segala
pelembagaan dan simbol agama. Ketika itu diterapkan di Turki, yang
terjadi bukan cuma penyingkiran urusan agama pada wiayah umum ke wilayah
pribadi, namun juga penghadangan terhadap simbol-simbol Islam.
Penggunaan jilbab, pembacaan Qur’an, dan kumandang azan dalam Bahasa
Arab dilarang oleh negara.
Peristiwa ini menjadi pukulan meyakitkan bagi umat Islam. Dalam
sejarah Islam, tak pernah ada kekalahan politik berbentuk hilangnya
lembaga bernama khilafah, sekali pun sering terjadi pasang surut
hubungan khilafah (sebagai pusat) dan kesultanan-kesultanan (sebagai
daerah) dalam masa lalu, juga dualisme kepemimpinan. “Komunitas
terbayang” di benak umat Islam masa lalu seperti sudah melekat pada
batas-batas kekuasaan khalifah.
Meski demikian, apakah Islam sebagai agama peradaban sudah usai
kejayaannya? Sebagian mengiyakan pandangan itu. Untuk membangkitkannya
kembali, bagi mereka, adalah dengan meraih kejayaan politik yang
sekurang-kurangnya sama dengan khilafah, baik mutu atau wilayah
cakupannya. Para orientalis menyebut mereka sebagai “kaum revivalis”,
karena cita-cita mereka untuk membangkitkan (revival) Islam secara politis. John L. Esposito menyebut keyakinan mereka tentang Islam berdasarkan din wa ad-daulah, “agama dan negara”, sehingga yang satu menjadi lengkap dengan keberadaan yang lain.
Namun terdapat sekelompok umat Islam yang justru mengambil jalan
seperti Turki Muda: mengambil model negara Barat seperti demokrasi
liberal atau sosialisme untuk diterapkan pada wilayahnya, demi apa yang
mereka anggap “kemajuan bangsa-bangsa Arab”. Dalam perjalanan sejarah,
mereka meraih lebih banyak hasil dan kuasa, sehingga dengan leluasa
memberangus rongrongan “kaum revivalis” (untuk menyebut dua saja yang
terkenal: Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir) dengan cara represif. Di
Jazirah Arab, nasib aktivis “kaum revivalis” sering berakhir di liang
kubur sebagai korban pembasmian oleh negara. Meski tujuannya untuk
menyurutkan langkah mereka, tindakan itu justru memberi tenaga baru bagi
penyebaran gagasan tentang ketertindasan, dan cukup ampuh sebagai bahan
perekrutan bahkan di luar wilayah-wilayah itu, seperti di Indonesia.
Solidaritas yang terbentuk oleh wacana ini, pada akhirnya, adalah
solidaritas internasionalisme kalangan muslim.
Quintan Wicktorowicz dan beberapa ilmuwan sosial Barat lainnya pada tahun 2006 menerbitkan Islamic Activism: A Social Movement Theory Approach.
Buku ini adalah kumpulan penelitian mereka terhadap gerakan-gerakan
“revivalis” tersebut. Dalam simpulan para penulis yang rata-rata sarjana
Barat dengan kemahiran ilmu-ilmu sosial, gerakan-gerakan “Islam
revivalis” banyak mengalami perubahan dalam kurun setengah abad
terakhir. Mereka mengubah arah perjuangan, dari gerakan politik yang
berorientasi pada kekuasaan ke gerakan sosial yang berorientasi
mempengaruhi kekuasaan. Hal ini terjadi karena perubahan struktur
kesempatan politik yang membuat mereka harus berkompromi dengan penguasa
dan gagasan-gagasan modern (demokrasi, HAM, dan sebagainya.) jika masih
ingin bertahan hidup. Mereka banyak melakukan mobilisasi masyarakat
dengan isu bersama (tentang politik lokal, nasional, dan global),
kaderisasi di kampus-kampus sekuler terutama di jurusan sains alam dan
teknik, bantuan sosial, perluasan jaringan, dan sebagainya.
Apa yang membuat perjuangan mereka kian menyusut dan berubah arah?
Penelitian seorang sosiolog dari Kent University, Asif Bayat, di Iran,
Turki, dan Mesir menunjukkan ketakmampuan mereka dalam menghadapi
isu-isu etika sosial hasil pemikiran mutakhir para filsuf dan teoritisi
Barat yang banyak dirujuk negara, seperti pluralisme, multikulturalisme,
feminisme, dan sebagainya. Dengan segala keterbatasan yang ada, mereka
“berusaha kompromi” dengan itu semua, untuk sekedar “bertahan hidup.”
Dalam berbagai contoh, Bayat bahkan menunjukkan hal tersebut sudah
berhasil, seperti posislamisme di Turki (dan kini Tunisia-pen) dan
gerakan perempuan di Iran.
Apa hikmah dari ini semua? Islam memang mempunyai syariat tersendiri
tentang politik, namun politik -yang berarti kekuasaan- dalam Islam
adalah penjamin bagi berlangsungnya syari’ah. Tanpa kekuasaan, seorang
muslim dapat menjalankan syari’at bagi dirinya sendiri selama ia
memiliki ilmu tentang itu dan mengenali batas kewajibannya sebagai
insan. Kewajiban menuntut ilmu, sebagai hal utama, bagi setiap muslim
dimulai sejak dalam buaian ayah-ibu sampai ke liang lahat. Hal ini dapat
terlaksana, meski tentu dengan berbagai penyesuaian, sekalipun suasana
politik di tempat tinggalnya dikuasai oleh tirani. Dengan ilmu yang
benar yang berdasarkan cara pandang Islam terhadap wujud, perjuangan
politik, kesejahteraan ekonomi, kemajuan teknologi, dan sebagainya dapat
diperjuangkan. Filsuf muslim terbesar abad ini, Syed Muhammad Naquib
Al-Attas, tidak setuju jika kekalahan politik adalah ukurn bagi
kekalahan peradaban Islam. Baginya, peradaban Islam seperti pohon yang
memiliki akar yang kuat dan hidup di segala cuaca. Jadi, meski pohon
kadang rampak dan kadang meranggas, yang menjadikannya sejati adalah
akarnya. Kemunduran peradaban Islam justru dimulai ketika kaum muslim
meninggalkan akarnya, pandangan hidupnya, lalu kebingungan di tengah
zaman.
Contoh kecil peralihan “Islamis/revivalis” ke “posislamis” di atas
adalah bukti pentingnya mengawal pergerakan yang ada dengan gagasan
besar, yang diraih dari penelusuran dan pengembangan konsep-konsep Islam
tentang politik. Ketika struktur kesempatan politik berubah menjadi
lebih kondusif bagi kaum pergerakan Islam, tantangan selanjutnya adalah
kesiapan menerima gagasan politik modern seperti kebangsaan, HAM, dan
sebagainya dengan pandangan yang benar. Banyak kaum posislamis, karena
tidak membekali diri dengan hal tersebut, justru menjadi kebingungan dan
terseret dengan gagasan sekular tentang konsep-konsep di atas. Sebagian
lagi merasa terancam degan bahaya pemikiran di luar Islam, sehingga
sumber daya yang ada lebih banyak disalurkan untuk menyebarkan perasaan
keterancaman itu. Peristiwa semacam itu adalah bukti pentingnya gerakan
keilmuan, di samping gerakan sosial yang berkembang kian pesat.
Kita butuh orang-orang yang ikhlas untuk memperjuangkan gerakan itu,
menempuh segala kesusahan dan kelelahan namun saling menguatkan. Apapun
hasilnya, tugas kita hanyalah berusaha, dan Allah selalu Maha
Menentukan. Sejarah peradaban-peradaban umat manusia lebih sering
mengingat nama para ilmuwannya ketimbang nama politisinya. Wallahu a’lam.
03 March 2017
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Hitung
Komentar
Get this Recent Comments Widget
Tentang Blog Ini
- rizmut
- Seorang pembelajar yang berharap tidak berhenti belajar, seorang hamba yang berharap tidak berhenti menghamba
0 komentar:
Post a Comment